Khilafiyah Ulama Soal Memperlama Sujud atau Berdiri di Shalat Malam
NU Online ยท Rabu, 7 Juni 2017 | 06:04 WIB
Perkenalkan nama saya Saifuddin, kelahiran Jakarta. Yang ingin saya tanyakan mengenai shalat malam, mana yang harus diperlama atau diperpanjang, berdiri atau sujud? Saya pernah mendengar sekilas dari teman saya, ada perbedaan para ulama dalam hal ini. Saya mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu โalaikum wr. wb. (Saifuddin/Jakarta)
Jawaban
Assalamu โalaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa shalat sunah malam adalah shalat sunah yang memang dilakukan pada malam hari, seperti tarawih dan tahajud.
Sedangkan mengenai persoalan perbedaan para ulama mengenai memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam, maka sepanjang yang kami ketahui memang ada perbedaan para ulama. Setidaknya ada tiga pandangan yang bisa diketengahkan. Hal ini mengacu pada keterangan yang dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi Syarah Shahih Muslim-nya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, โKondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya, perbanyaklah doa.โ
Pesan penting yang terkandung hadits ini adalah bahwa saat sujud merupakan kondisi paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Oleh karena itu hadits tersebut dijadikan salah satu dalil oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan dari semua rukun shalat lainnya.
Artinya, โSabda Nabi SAW, โKondisi paling dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah pada saat ia sujud. Karenanya perbanyaklah doa.โ Maksud sabda Nabi ini adalah saat paling dekatnya seorang hamba dengan rahmat dan karunia-Nya. Sabda ini memuat pesan anjuran penting untuk berdoa ketika sujud. Di samping itu juga merupakan dalil yang digunakan oleh para ulama yang menyatakan bahwa sujud itu lebih utama dibanding berdiri dan semua rukun shalat,โ (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim Ibnil Hajjaj, Beirut, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, cet kedua, 1392 H, juz IV, halaman 200).
Menurut An-Nawawi, ternyata dalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa memperpanjang sujud dan memperbanyak rukuk dengan memperbanyak jumlah rakaat itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi, Al-Baghawi dari sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan demikian adalah Ibnu Umar RA.
Artinya, โDalam masalah ini terdapat tiga pandangan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa mempanjang sujud dan memperbanyak ruku itu lebih utama. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Al-Baghawi serta sekelompok para ulama. Di antara mereka yang berpandangan lebih utama memanjangkan sujud adalah Ibnu Umar RA,โ (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200).
Pandangan kedua menyatakan bahwa memperpanjang berdiri lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir yang terdapat dalam Shahih Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW, โShalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.โ Apa yang dimaksud โqunutโ dalam hadits ini adalah berdiri. Pandangan ini dianut oleh Madzhab Syafiโi dan sekelompok ulama.
Argumentasi rasional yang diajukan untuk mendukung pandangan ini adalah karena zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat tentunya lebih utama karena mengacu pada praktik (al-manqul) Rasulullah SAW, yaitu beliau lebih memperpanjang durasi berdiri daripada memperlama sujud.
Artinya, โKedua, pandangan dari Madzhab Syafiโi dan sekelompok para ulama yang menyatakan bahwa memanjangkan berdiri itu lebih utama karena didasarkan pada hadits riwayat Jabir RA dalam Shahih Muslim yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, โShalat yang paling utama adalah yang panjang qunutnya.โ Yang dimaksud โqunutโ dalam konteks ini adalah berdiri. Zikir dalam berdiri adalah membaca ayat, dan dalam sujud adalah membaca tasbih. Sedangkan membaca ayat itu lebih utama karena sesuai dengan yang diriwayatkan (al-manqul) dari Nabi SAW di mana beliau memperlama berdiri lebih banyak daripada sujud,โ (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200).
Pandangan ketiga lebih memilih untuk menyamakan sujud dan berdiri. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bersikap abstain (tawaqquf) dan tidak memberikan memberikan komentar dalam masalah ini. Demikian sebagaimana keterangan yang dikemukakan An-Nawawi.
Artinya, โPendapat ketiga menyatakan bahwa keduanya (berdiri dan sujud) adalah sama. Dalam konteks ini imam Ahmad bin Hanbal tidak memberikan komentar (bersikap tawaqquf) dan tidak mengambil putusan apapun,โ (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200).
Dari ketiga pandangan tersebut, ternyata ada pandangan berbeda yang diketengahkan An-Nawawi, yaitu pandangan Ibnu Rahawaih. Menurut Ibnu Rahawaih, jika siang hari, maka memperbanyak ruku dan sujud (memperbanyak jumlah rakaat) itu lebih utama.
Adapun jika malam hari maka lebih utama memanjangkan berdiri kecuali bagi orang yang memilik wazhifah menyelesaikan satu juz Al-Quran, maka lebih utama baginya memperbanyak rakaat dan cukup menyelesaikan satu juz dibagi ke beberapa rakaat. Karena dengan ini ia bisa memperoleh dua hal sekaligus, yaitu membaca satu juz Al-Quran yang menjadi wazhifahnya sekaligus memperbanyak rakaat.
Artinya, โMenurut Ibnu Rahawaih, kalau shalat di siang hari maka memperbanyak ruku dan sujud itu lebih utama. Sedangkan pada malam hari maka memperpanjang berdiri itu lebih utama, kecuali bagi orang yang memiliki beban untuk menyelesaikan satu juz Al-Quran dalam satu malam, maka ia lebih untuk memperbanyak rukuk dan sujud. Sebab, ia membaca juz yang menjadi bagiannya dan memperoleh keuntungan dengan banyaknya ruku dan sujud,โ (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200-201).
Menurut At-Tirmidzi, pandangan Ibnu Rahawaih itu mengacu pada riwayat yang menggambarkan bahwa sifat shalat malam Rasulullah SAW adalah memanjangkan berdiri. Sedangkan shalat siangnya tidak digambarkan beliau memanjangkan berdiri sebagaimana shalat malamnya. Demikian yang kami pahami dari keterangan berikut ini.
Artinya, โMenurut At-Tirmidzi apa yang dikemukakan Ibnu Rahawaih ini karena mereka menyifati shalat malamnya Nabi SAW dengan panjang berdirinya, berbeda dengan shalat siangnya. Wallahu aโlam,โ (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, juz IV, halaman 200).
Demikian perbedaan pandangan para ulama mengenai soal memanjangkan berdiri atau sujud dalam shalat malam. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu โalaikum wr. wb.
(Mahbub Maafi Ramdlan)
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
3
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
6
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
Terkini
Lihat Semua