Bahtsul Masail

Mudik, Bolehkah Shalat Jama’ Qashar di Kampung Halaman?

Kam, 20 Februari 2020 | 13:00 WIB

Mudik, Bolehkah Shalat Jama’ Qashar di Kampung Halaman?

Dua istilah yang penting dipahami dalam soal ini adalah "muqim" dan "mustauthin".

Assalamu‘alaikum wr. wb. Redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya merasa bingung saat berada di kampung halaman (Lumajang). Misal, saya menikah dengan orang Surabaya, lalu tinggal di rumah sang istri. Menjelang lebaran, saya dan istri saya mudik ke kampung halaman di Lumajang. Bagaimanakah hukum shalat jama’-qashar saat berada di kampung halaman? Apakah status saya adalah sebagai musafir atau masih disebut sebagai mustauthin. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Madani/Lumajang)

 

Jawaban:

Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Terima kasih atas pertanyaannya semoga saudara penanya diberikan keistiqamahan dalam menjalankan ibadahnya. Amin.

 

Dalam menjawab pertanyaan yang saudara tanyakan, kita perlu memahami terlabih dahulu pengertian masing-masing dari dua istilah yang sangat berkaitan dengan jawaban pertanyaan saudara. Yakni muqim dan mustauthin. Sebab jika ternyata kampung halaman seseorang tetap distatuskan sebagai tempat tinggal meskipun setelah pindah rumah, maka ia berstatus sebagai mustauthin. Namun jika ternyata tidak, maka ia menetap di kampung halaman hanya berstatus muqim. Lantas manakah dari dua kemungkinan tersebut yang dibenarkan secara fiqih?

 

Untuk menjawabnya mari kita simak pengertian dari kedua istilah ini:

 

ضابط المقيم هو الذي نوى الإقامة في بلد أربعة أيام فأكثر غير يومي الدخول والخروج وفي نيته الرجوع لوطنه ولو بعد زمن طويل. ضابط المستوطن هو الذي لا يظعن {لا يسافر} صيفا ولا شتاء إلا لحاجة

 

“Batasan seseorang disebut muqim adalah orang yang niat menetap di suatu tempat selama masa empat hari atau lebih, selain hari ketika dia sampai dan hari ketika dia pulang, serta terdapat niatan untuk kembali lagi di tempat tinggalnya, meskipun setelah jeda waktu yang lama. Batasan seseorang disebut mustauthin adalah orang yang (menetap di suatu tempat) tidak bepergian, baik di musim panas ataupun di musim dingin, kecuali ada hajat” (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, at-Taqrirat as-Sadidah, hal. 324).

 

Berdasarkan pengertian di atas, sebenarnya mustauthin lebih menitikberatkan pada tempat tinggal saat ini daripada kampung halaman yang dahulu pernah dijadikan tempat tinggal. Sehingga ketika seseorang memutuskan untuk berpindah tempat tinggal di suatu tempat yang baru dan berencana tidak kembali tinggal di tempat yang awal, maka ia hanya dapat disebut mustauthin di tempat tinggalnya yang baru, tidak pada tempat tinggalnya yang awal. Kesmipulan ini berdasarkan referensi dari kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj:

 

والمستوطن هنا من ( لا يظعن شتاء ولا صيفا إلا لحاجة ) كتجارة وزيارة فلا تنعقد بغير المتوطن كمن أقام على عزم عوده إلى وطنه بعد مدة ولو طويلة كالمتفقهة والتجار. وأفهم قوله على عزم عوده أن من عزم على عدم العود انعقدت منه لأنها صارت وطنه

 

“Yang dimaksud Mustauthin pada bab ini (Shalat Jum’at) adalah orang yang tidak bepergian baik pada musim dingin ataupun musim panas kecuali karena suatu hajat. Seperti berdagang dan ziarah. Maka orang yang tidak menetap permanen tidak dapat mengesahkan shalat jum’at, seperti orang yang menetap di suatu tempat dengan rencana akan kembali ke tempat tinggalnya setelah jeda waktu, meskipun jeda waktu yang lama. Seperti orang yang menuntut ilmu dan pedagang.

 

Ucapan “Berencana akan kembali” memberikan pemahaman bahwa orang yang bertekad tidak kembali (ke kampung halaman), maka ia dapat mengesahkan shalat jum’at (di tempat yang baru), sebab tempat tersebut telah menjadi tempat tinggalnya” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, Hal. 39-40)

 

Jika kesimpulan ini diterapkan dalam pertanyaan saudara penanya. maka dapat dipastikan bahwa ketika saudara penanya memutuskan untuk ikut istri tinggal di Kota Surabaya, penanya tidak berniat untuk kembali lagi tinggal di kampung halaman yang dalam hal ini adalah Kota Lumajang. Ketika memang demikian adanya, maka penanya hanya berstatus mustauthin ketika berada di rumah surabaya. Sedangkan ketika berkunjung ke lumajang, penanya hanya berstatus muqim.

 

Berbeda halnya ketika saudara penanya dalam hati kecilnya memiliki niatan pada suatu hari nanti akan kembali lagi tinggal menetap di kampung halaman yang berada di Kota Lumajang, maka dalam keadaan demikian, saudara penanya tetap berstatus mustauthin di kampung halaman dan berstatus muqim selama berada di Kota Surabaya, meskipun dalam jangka waktu yang sangat lama.

 

Ketika berstatus sebagai orang yang muqim di suatu tempat, maka seseorang sudah tidak boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika keperluannya (hajat) di tempat tersebut lebih dari empat hari (tanpa menghitung hari saat ia datang dan saat ia pulang). Berbeda halnya ketika keperluannya selesai kurang dari empat hari, maka ia tetap boleh untuk menjama’ dan mengqashar shalatnya, selama tidak sampai melewati empat hari dan selama ia tidak niat iqamah (menetap/tinggal) di tempat tersebut. (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116).

 

Demikian penjelasan singkat tentang pertanyaan saudara, semoga tercerahkan. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember