Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Antara Sunah dan Bid'ah
Ahad, 31 Desember 2017 | 15:00 WIB
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sebagian besar umat Islam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Peringatan itu diadakan kadang tidak persis tepat di tanggal dan bulan kelahirannya. Banyak mereka yang mengadakan bahkan sebulan atau dua bulan setelah dari hari kelahirannya. Sementara sebagian Muslim lainnya mempersoalkan peringatan maulid yang menurut mereka tidak memiliki landasan hukum dalam Islam. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Saiful Huda/Kalimantan Selatan).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Diskusi umat Islam terkait peringatan maulid hingga kini belum berhenti. Sebagian orang mempermasalahkan dasar peringatan maulid sehingga bagi sebagian orang peringatan maulid merupakan perkara bid’ah, suatu amalan yang tidak pernah ada di masa Rasulullah dan bersifat tercela.
Sebagian ulama memandang bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai bentuk syukur terhadap Allah. Ibadah sebagai rasa syukur kepada Allah atas sesuatu kegembiraan menemukan landasannya sehingga peringatan maulid Nabi Muhammad SAW adalah sunah sebagai keterangan berikut ini:
Artinya, “Syekh Ibnu Hajar melakukan istinbath amaliyah maulid pada landasan di dalam sunah, yaitu riwayat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Rasulullah SAW tiba di Kota Madinah dan mendapati masyarakat Yahudi berpuasa Asyura. Ketika Rasulullah SAW menanyakan masalah ini, mereka menjawab, ‘Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir‘aun’ dan menyelamatkan Nabi Musa AS. Kami berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah,’” (Lihat Sayyid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz III, halaman 414-).
Sebagian ulama, Syekh Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, mencoba menjelaskan lebih jernih masalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Sebelum bicara lebih jauh soal vonis terhadap maulid dalam timbangan syariat Islam, Sayyid Muhammad Alwi menjelaskan hal paling mendasar perihal ini. hal ini dimaksudkan agar diskusi tidak melebar ke luar masalah yang dibicarakan.
Menurut Sayyid Muhammad Alwi, pokok masalah dalam diskusi soal peringatan maulid ini sebenarnya sederhana. Pertama, yang harus dijawab terlebih dahulu adalah status apa yang kita kenakan untuk peringatan maulid. Apakah peringatan maulid itu ibadah atau adat/tradisi? Ini pertanyaan fundamental yang perlu dijawab terlebih dahulu. Dari pertanyaan ini, kita–menurutnya–dapat membahas masalah dengan klir.
Sayyid Muhammad Alwi mengatakan bahwa peringatan maulid itu bersumber dari tradisi yang dilakukan umat Islam turun temurun. Oleh karena hanya tradisi, maka peringatan maulid tidak bisa divonis sebagai bid‘ah. Pasalnya, dalam kajian Islam sesuatu yang bisa divonis sebagai sebuah bid‘ah atau sunah adalah amal ibadah, bukan amal tradisi atau adat sebagaimana keterangan Sayyid Muhammad Alwi berikut ini:
Artinya, “Kami sudah sering menulis perihal mauled nabi. Kami telah membicarakan ini berkali-kali di radio dan forum terbuka dengan penjelasan yang kami pahami atas maulid nabi. Kami mengatakan, sebagaimana yang sudah-sudah– bahwa forum yang diadakan untuk memperingati kelahiran nabi tidak lain adalah masalah adat atau tradisi saja dan bukan ibadah sama sekali. Ini akidah yang kami yakini dan agama Allah yang kami peluk. Silakan siapa saja boleh membayangkan pertemuan ini karena kecenderungan manusia itu tidak lain mau benar sendiri dan apa yang dibayangkan olehnya. Di setiap peringatan, pertemuan, dan kesempatan, kami mengatakan bahwa pertemuan untuk peringatan maulid dengan rangkaian acara seperti ini adalah masalah adat atau tradisi, bukan ibadah. Apakah harus ada lagi pengingkaran atau penolakan atas masalah ini? tetapi musibah terbesar adalah gagal paham. Oleh karena itu Imam As-Syafi’i berkata, ‘Kalau menghadapi debat dengan orang alim cendekia, aku selalu menang. Tetapi kalau debat menghadapi orang bodoh, aku kalah,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 339-340).
Sayyid Muhammad Alwi mengatakan bahwa dalam membahas maulid perbedaan antara ibadah dan adat/tradisi ini harus diperjelas dulu di awal. Kalau tidak, maka diskusi akan melebar ke luar substansi persoalan. Siapa bicara apa saja dan siapa saja dapat berbicara apa. Padahal perbedaan antara ibadah dan adat/tradisi adalah masalah sepele yang santri junior sekalipun dapat memahaminya dengan mudah.
Artinya, “Santri paling junior sekalipun dapat membedakan kedudukan atau hakikat tradisi dan ibadah. Kalau ada orang mengatakan, ‘Peringatan maulid itu adalah ibadah yang disyariatkan cara pelaksanaannya.’ Kami akan bertanya, ‘Mana dalilnya?’ kalau orang itu mengatakan bahwa peringatan maulid adalah hanya tradisi, maka kami mengatakan, ‘Silakan, lakukan sesukamu.’ Bahaya dan bala yang kita khawatirkan adalah ‘pakaian’ ibadah yang dikenakan untuk perbuatan bid‘ah yang tidak disyariatkan, tetapi hasil ijtihad manusia. Ini justru tidak diridhai Allah, yang kita perangi dan waspadai,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 340).
Dari keterangan ini Sayyid Muhammad Alwi sekapat bahwa segala bentuk bidah harus dihapus karena tidak sesuai dengan syariat. Tetapi apakah peringatan maulid adalah bid’ah, di sini Sayyid Muhammad Alwi tidak sepakat. Baginya, peringatan maulid hanya adat/tradisi belaka sehingga berada di luar vonis sunah atau bid‘ah.
Meskipun hanya tradisi, Sayyid Muhammad Alwi menganjurkan umat Islam untuk terus mengadakan peringatan maulid karena acara itu mengandung kalimat-kalimat thayyibah, sifat-sifat terpuji Rasulaullah SAW, nasihat-nasihat, keberkahan, dan faidah lainnya.
Hemat kami, uraian Sayyid Muhammad Alwi cukup klir. Untuk mengurai persoalan yang tidak kunjung selesai didiskusikan umat Islam, ia memetakan terlebih dahulu peringatan maulid ke dalam sunah atau adat. Dari situ, kajian bergerak fokus pada persoalan. Dengan pemetaan masalah di awal, ia mengantisipasi diskusi bertele-tele dan diskusi di luar substansi masalah yang justru membuat rumit persoalan.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menata Pola Hidup Positif Pasca-Ramadhan
2
Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?
3
Khutbah Jumat: Meraih Pahala Berlimpah dengan Puasa Syawal
4
Khutbah Jumat: Syawal, Menjalin Silaturahmi dan Memperkokoh Persatuan Bangsa
5
Hukum Mengulang Akad Nikah karena Grogi
6
Tellasan Topak, Tradisi Perayaan Lebaran Ketupat di Madura pada 8 Syawal
Terkini
Lihat Semua