Bahtsul Masail

Sahkah Shalat sembari Menahan Buang Air Besar?

Sab, 23 Desember 2023 | 18:00 WIB

Sahkah Shalat sembari Menahan Buang Air Besar?

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Assalamualaikum Yth. Redaksi NU Online, perkenalkan saya dengan Ahmad Syukri, dari Banten. Saya dalam beberapa kesempatan ketika hendak melaksanakan shalat, sambil menahan kentut dan buang air besar. Yang jadi pertanyaan saya, apakah sah shalat dalam keadaan menahan air besar? Dan bagaimana hukumnya? [Ahmad Syukri, Banten]
 

Jawaban

 

Wa’alaikumussalam Wr Wb, saudara penanya kami ucapkan terimakasih atas pertanyaan yang Anda kirimkan ke redaksi NU Online. Shalat merupakan ibadah penting bagi umat Islam. Di saat menjalankannya, kekhusyukan menjadi aspek utama yang seyogianya ditunaikan oleh orang yang shalat. Namun, terkadang kita dihadapkan pada situasi di mana keinginan buang air besar muncul saat waktu shalat tiba. 

 

Lantas dalam kondisi menahan air besar dan juga kentut, bagaimana hukum shalatnya? Apakah sah atau tidak?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, Syekh Zainuddin Al-Malibari, dalam kitab Fathul Muin, halaman 32, bahwa menjalankan shalat sambil menahan buang air besar hukumnya makruh. Sejatinya, menahan apapun ketika shalat, baik itu menahan kentut, kencing, kantuk, dan lainnya, maka hukumnya adalah makruh. Alasan kemakruhan ini karena tindakan menahan buang air besar, dapat mengganggu kekhusyukan shalat. 

 

وكره صلاة بمدافعة حدث كبول وغائط وريح للخبر الآتي ولأنها تخل بالخشوع بل قال جمع: إن ذهب بها بطلت. ويسن له تفريغ نفسه قبل الصلاة وإن فاتت الجماعة وليس له الخروج من الفرض إذا طرأت له فيه ولا تأخيره إذا ضاق وقته والعبرة في كراهة ذلك بوجودها عند التحرم. وينبغي أن يلحق به ما لو عرضت له قبل التحرم فزالت وعلم من عادته أنها تعود إليه في الصلاة

 

Artinya: “Dimakruhkan shalat sambil menahan hajat seperti kencing, buang air besar, dan kentut, berdasarkan hadits berikut dan karena hal itu dapat mengganggu kekhusyukan. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat yang dilakukan sambil menahan hajat menjadi batal.” 

 

Disunnahkan untuk mengosongkan diri sebelum shalat, meskipun harus ketinggalan shalat berjamaah. Tidak boleh keluar dari shalat fardhu jika hajat itu muncul di dalamnya, dan tidak boleh menunda shalat jika waktunya sudah sempit. Yang menjadi patokan dalam kemakruhan hal itu adalah keberadaan hajat saat takbiratul ihram.”

 

Seharusnya dikategorikan sebagai makruh juga jika hajat itu muncul sebelum takbiratul ihram, kemudian hilang, tetapi diketahui dari kebiasaannya bahwa hajat itu akan kembali lagi saat shalat.” [Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin [Beirut; Dar Ibnu Hazm, tt], halaman 32. 

 

Meski tidak membatalkan shalat, menahan buang air besar dapat mengurangi kekhusyukan dan mengganggu konsentrasi kita dalam ibadah. Pikiran akan terpecah antara shalat dan keinginan untuk buang air, sehingga sulit mencapai kondisi optimal dalam bermunajat kepada Allah SWT. 

 

Adapun dalil yang menjadi landasan terkait bahwa menahan kentut dianggap sebagai perbuatan yang makruh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari Sayidah Aisyah. Hadis ini menjadi salah satu dasar hukum yang digunakan oleh para ulama untuk menetapkan kemakruhan menahan kentut. Rasulullah SAW bersabda;

 

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

 

Artinya: "Tidak ada shalat ketika hadirnya makanan, dan tidak ada shalat juga dalam keadaan seseorang itu menahan diri dari buang air kecil dan besar."

 

Menanggapi hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Syarah an-Nawawi ala Muslim, Juz V, halaman 208, bahwa hadits tersebut menjelaskan tentang makruhnya shalat dalam tiga kondisi. Pertama, shalat di hadapan makanan yang ingin dimakan. Makruh ini karena akan menyibukkan hati dengan memikirkan makanan, sehingga kekhusyukan dalam shalat akan berkurang.

 

Kedua, shalat juga dimakruhkan ketika sedang menahan dua najis, yaitu kencing dan buang air besar. Makruh ini karena akan membuat seseorang tidak bisa berkonsentrasi dalam shalat. Ketiga, shalat ketika sedang melakukan hal-hal yang serupa dengan dua hal di atas, yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyukan, seperti menahan kentut.

 

Simak penjelasan Imam Nawawi berikut ini;

 

وفي رواية : لا صلاة بحضرة طعام ، ولا وهو يدافعه الأخبثان في هذه الأحاديث كراهة الصلاة بحضرة الطعام الذي يريد [ ص: 209 ] أكله ، لما فيه من اشتغال القلب به ، وذهاب كمال الخشوع ، وكراهتها مع مدافعة الأخبثين وهما : البول والغائط ، ويلحق بهذا ما كان في معناه يشغل القلب ويذهب كمال الخشوع ، وهذه الكراهة عند جمهور أصحابنا وغيرهم إذا صلى كذلك وفي الوقت سعة ، فإذا ضاق بحيث لو أكل أو تطهر خرج وقت الصلاة صلى على حاله محافظة على حرمة الوقت ، ولا يجوز تأخيرها

 

Artinya: “Dalam suatu riwayat, disebutkan; ‘Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak pula ketika sedang menahan dua najis’. Dalam hadits-hadits ini, dimakruhkan shalat di hadapan makanan yang ingin dimakan, karena akan menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyukan yang sempurna. Hal ini juga makruh dilakukan ketika sedang menahan dua najis, yaitu kencing dan buang air besar. Makruh ini juga berlaku untuk hal-hal yang serupa, yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyukan.”

 

Makruh ini menurut jumhur ulama dari kalangan Mazhab Syafi'iyah, termasuk ulama lainnya, jika seseorang shalat dalam kondisi demikian dan waktu shalat masih luas. Namun, jika waktu shalat sudah sempit, sehingga jika ia makan atau bersuci, waktu shalat akan habis, maka ia boleh shalat dalam kondisinya saat itu, demi menjaga kehormatan waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat.” (Imam Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, [Saudi Arabia, Dar al-Khair, 1996], Juz V, halaman 208.)

 

Saudara penanya, terkait pertanyaan yang diajukan, sebagai kesimpulan bahwa shalat dalam keadaan menahan buang air besar adalah tetap sah, namun hal demikian dihukumi makruh sebab dapat mengganggu khusyuk dalam shalat. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Tafsir, Tinggal di Ciputat.