Syariah

Asuransi Syariah Terkait Rumah Ibadah Agama Lain

Ahad, 8 Agustus 2021 | 12:00 WIB

Asuransi Syariah Terkait Rumah Ibadah Agama Lain

Ulama berbeda pendapat soal asunransi syariah terkait rumah ibadah agama lain.

Indonesia merupakan negara damai, dan dibangun atas dasar kesepakatan bersama antarwarga negaranya, tanpa memandang suku bangsa, ras, atau agamanya. Ikatan tersebut semula tertuang dalam Piagam Jakarta. Selanjutnya, isi dari Piagam Jakarta ini diubah menjadi Pancasila yang secara resmi dibakukan dalam Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 sendiri merupakan aturan pelaksana dari Pancasila yang berisikan panduan umum hidup bernegara.

 

Di dalam UUD 1945, Pasal 33 disebutkan bahwa perekenomian negara disusun atas usaha bersama. Dengan demikian, perekonomian Indonesia merupakan perekonomian koperasi/syirkah. Ciri utama dari sistem koperasi ini adalah: (1) adanya pihak yang melakukan kesepakatan bersama untuk melakukan sebuah usaha, (2) masing-masing pihak melakukan urun modal, dan (3) untung-rugi ditanggung bersama.

 

Karena perekonomian disusun atas usaha bersama dan puncaknya adalah untuk negara, maka setiap badan usaha yang didirikan dan menjadi hajat hidup orang banyak, meniscayakan orientasinya harus bisa mencakup seluruh elemen masyarakat. Misalnya, Bank Syariah. Kendati bank tersebut didirikan dengan banyak landasan yang digali dan diterbitkan berangkat dari nushush al-syariah, namun bank tersebut mau tidak mau harus menerima kepesertaan warga negara Indonesia non-Muslim.

 

Tidak berhentii di situ, lembaga yang mengatasnamakan syariah, asalkan ia menangani hajat hidup orang banyak maka lembaga itu juga harus bisa mencakup kepesertaan masyarakat lainnya, secara umum (jama’iy). Jika tidak, maka hal itu bertentangan dengan sendi dasar dari negara ini sendiri, yaitu perekonomian yang disusun atas usaha bersama dan demi kepentingan bersama.

 

***

 

Persoalannya, Indonesia adalah negara yang dihuni oleh Muslim dan non-Muslim. Secara syara’, sebagian tindakan yang dilakukan karena menolong sesuatu yang bertentangan dengan syara’ masuk kategori tindak kemaksiatan.

 

Akan tetapi, penilaian sebuah perbuatan dipandang sebagai kemaksiatan atau bukan, terkadang tidak berhenti pada melihat sisi dhahir perbuatan itu saja, melainkan juga melihat maksud atau tujuan. Karena, setiap perbuatan dalam syara’ bergantung pada tujuan itu dikaitkan (al-umur bimaqashidiha). Jika perbuatan itu dikaitkan pada terjadinya kemaksiatan, maka maksiatlah perbuatan itu. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan unsur lain yang dibolehkan oleh syara’, maka hukum perbuatan itu adalah boleh pula secara syara’. Contoh praktisnya adalah beberapa kasus praktik ijarah (sewa jasa) dengan objek pekerjaan rumah ibadah.

 

***

 

Adat kebiasaan masyarakat kita adalah saling tolong-menolong antarsesama, dan ini sudah berlaku sejak dulu dan berlangsung turun-menurun. Dalam praktiknya, apabila ada tetangga baik Muslim maupun non-Muslim memiliki gawe (kerepotan), maka tetangga yang berada di sekitar secara otomatis datang membantu tanpa diperintah oleh siapa pun. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang diakui sebagai kebenaran umum, bahwa siapa yang suka menolong, maka akan ditolong.

 

Demikian halnya, ketika ada sebuah bangunan yang terbakar, maka secara otomatis tetangga kanan kiri juga membantu untuk memadamkan, tanpa memandang apakah ini bangunan tempat ibadah atau bukan. Sebagian ulama berpendapat, tindakan spontan warga itu bukan termasuk kemaksiatan sebab dilakukan atas dasar rasa kemanusiaan. Sebagian pendapat lain menganggapnya masuk kategori i’anah ala al-kufrri (menolong kekufuran), sebab bangunan tersebut merupakan tempat ibadah agama lain dan digunakan untuk melakukan syiar kekufuran. Jika pendapat pertama menekankan substansi moral relasi antarmanusia maka pendapat kedua lebih pada penilaian aspek fisik (dhahir).

 

Dari kedua pandangan itu, secara tidak langsung ada dua kepentingan yang saling bertentangan (ta’arrudl). Masing-masing kuat secara syara’. Lalu pandangan mana yang sebaiknya diambil?

 

Sulthanu al-Ulama’ Al-Izz ibn Abdissalam (w. 660 H), menjelaskan:

 

قَدْ يَجُوزُ الإعانَةُ عَلى المَعْصِيَةِ لا لِكَوْنِها مَعْصِيَةً بَلْ لِكَوْنِها وسِيلَةً إلى تَحْصِيلِ المَصْلَحَةِ الرّاجِحَةِ وكَذَلِكَ إذا حَصَلَ بِالإعانَةِ مَصْلَحَةٌ تَرْبُو عَلى مَصْلَحَةِ تَفْوِيتِ المَفْسَدَةِ كَما، تُبْذَلُ الأمْوالُ فِي فِدى الأسْرى الأحْرارِ المُسْلِمِينَ مِن أيْدِي الكَفَرَةِ والفَجَرَةِ

 

“Kadang-kadang menolong kemaksiatan adalah dibolehkan bukan karena fisik yang ditolong, melainkan karena pertolongan itu bisa menjadi wasilah bagi terjadinya kemaslahatan yang lebih besar. Hal yang sama juga berlaku, apabila dengan pertolongan itu justru lahir kemaslahatan lain berupa hilangnya mafsadah. Misalnya, penyerahan harta kepada pemimpin kafir untuk menebus orang-orang merdeka dari kalangan Muslim yang menjadi tawanan orang kafir atau orang fajir.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam li al-’Izz ibn Abdi al-Salam, juz 1, h. 87).

 

Pada dasarnya menyerahkan harta kepada pemerintah kafir adalah bagian dari tindakan suap (risywah). Melakukan suap adalah bagian dari kemaksiatan, secara dhahirnya. Akan tetapi, bila suap itu justru dapat menyelamatkan para tawanan Muslim yang terzalimi, maka hukum suap tersebut menjadi boleh sebab kemaslahatan yang lebih unggul daripada dosa suap itu sendiri.

 

Jika konteks di atas kita bawa ke konteks penyelamatan tempat ibadah agama lain yang sedang terbakar, maka secara dhahir, tindakan penyelamatan itu merupakan bagian dari i’anah ‘ala al-kufri. Mengapa? Sebab, bagi penganut pendapat ini, bagaimanapun juga, tempat ibadah adalah bagian dari tempat untuk melakukan ta’abbud (penyembahan). Di tempat itu pula dididik anak-anak generasi mereka untuk mendalami agama mereka. Secara syara’, i’anah ‘ala al-kufri adalah bagian dari kekufuran, dan pelakunya terancam riddah (murtad). Jika untuk penyelamatan terhadap tempat ibadah saja sudah dipandang sebagai i’anah ala al-kufri, lantas bagaimana dengan membangunnya? Imam al-Qarafi (w. 684 H) menjelaskan, bahwa:

 

وقَدْ قالَ الشَّيْخُ أبُو الحَسَنِ الأشْعَرِيُّ-إنّ بِناءَ الكَنائِسِ كُفْرٌ إذا بَناها مُسْلِمٌ ويَكُونُ رِدَّةً فِي حَقِّهِ لِاسْتِلْزامِهِ إرادَةَ الكُفْرِ

 

"Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa sesungguhnya membangun kanisah/rumah ibadah agama lain (bagi seorang Muslim) adalah bagian dari kekufuran, dirinya terancam sebagai murtad dalam haknya disebabkan keterikatannya dia dengan kekufuran.(Anwari al-Buruq fi Anwa’i al-Furuq li al-Qarafi, juz 4, h. 264).

 

Alhasil, perbuatan di atas secara dhahirnya termasuk dosa dan dilarang. Namun, apakah ini termasuk dosa secara dunia ataukah secara akhirat? Di sini ada penjelasan menarik dari pernyataan Syekh Abu al-Hasan Al-Asy’ari di atas yang datang dari Ibnu Al-Syath di dalam kitab Hasyiyah Ibn Al-Syath, atau yang dikenal sebagai kitab Idrar al-Syuruq ‘ala Anwai al-Furuq. Beliau menyampaikan sebagai berikut:

 

قُلْت مَعْنى قَوْلِ الأشْعَرِيِّ إنّ بِناءَ الكَنائِسِ كُفْرٌ أيْ فِي الحُكْمِ الدُّنْيَوِيِّ، وأمّا الأُخْرَوِيُّ فَبِحَسَبِ النِّيَّةِ واَللَّهُ تَعالى أعْلَمُ

 

"Pendapatku: makna dari yang disampaikan oleh Imam Al-Asy’ari bahwa membangun kanisah adalah bagian dari kekufuran (dalam hukum duniawi). Adapun secara ukhrawi, maka hal itu bergantung pada niat pelakunya. Wallahu ta’ala a’lam.” (Idrar al-Syuruq ‘ala Anwai al-Furuq li Ibn al-Syath, juz 4, h. 264).

 

Apa yang disampaikan oleh Ibn Al-Syath ini tampaknya ada kesesuaian dengan pola pembacaan sebagaimana yang disampaikan oleh peneliti di atas, yaitu secara dhahir, pertolongan tersebut adalah kemaksiatan dan seolah merupakan i’anah ‘ala al-kufr, namun secara bathin adalah karena faktor lain, yaitu sisi kemanusiaan.

 

Dari sisi dhahir, memang benar bahwa tindakan itu adalah bagian dari i’anah ala al-kufri atau setidaknya merupakan i’anah ‘ala al-ma’ashi. Alhasil, pelakunya berdosa secara hukum duniawi. Akan tetapi, secara batin, tindakan tersebut berangkat dari rasa kemanusiaan. Karena faktor kemanusiaan inilah maka tindakan tersebut dibolehkan.

 

Dalam konteks penjagaan rumah ibadah agama lain karena faktor adanya kerusakan fisik bangunan, beberapa teks turats menyebutkan hukum kebolehan bagi pemeluk agama lain melakukan renovasi rumah ibadahnya. Pemerintah Muslim juga dibolehkan untuk membantu. Meskipun demikian, terkait dengan batasan tata cara penyerahan bantuan ini oleh pemerintah atau lembaga yang mewakilinya ini, oleh para fuqaha diperdebatkan.

 

Perdebatan ini disinggung oleh Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H) dalam karyanya Nihayatu al-Mathlab fi Dirayati al-Madzhab, juz 18, h. 50. Di dalam kitab ini, beliau menyampaikan hal sebagai berikut:

 

فقد قال الأصحاب: إذا استرمّت الكنائس، فلا يمنعون من مرمّتها؛ فإنهم لو منعوا من ذلك، لتهدمت الكنائس. ثم اختلف الأصحاب بعد ذلك: فقال قائلون: ينبغي أن يعمروا الكنائس بحيث لا يظهر للمسلمين ما يفعلون؛ فإن إظهار العمارة منهم تربيةٌ (٢) منهم للكنائس قريبة من الاستحداث. وقال آخرون: لهم إظهار العمارة، وهو الأصح.

 

"Sebagian dari para ulama pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketika pihak kanisah meminta perenovasian bangunan, maka permintaan itu tidak boleh dilarang. Karena andaikata mereka pernah dilarang, maka pastilah kanisah-kanisah yang ada sudah dihancurkan (sejak dulu). Berangkat dari sini, terjadi khilaf di kalangan para ulama itu. Sebagian ada yang berpendapat: “Seyogianya, tindakan membolehkan pembangunan kanisah tersebut dilakukan dengan tidak diketahui oleh kaum Muslimin lainnya. Alasannya, membiarkan tindakan itu diketahui oleh Muslimin adalah ibarat jadi pendidikan buat mereka dan menjadi sarana melakukan pendekatan lainnya untuk meminta pendirian tempat ibadah yang baru.” Para ashab yang lain juga berpendapat: “Boleh untuk ditampakkan ke kaum Muslimin.” Dan ini adalah pendapat yang paling shahih.

 

Sekilas dari apa yang disampaikan oleh Syekh Juwaini (w. 478 H) di atas, hukum mengabulkan permintaan renovasi/klaim renovasi tempat ibadah agama lain adalah bisa diperinci sebagai berikut:

 

Pertama, hukumnya adalah dilarang secara mutlak. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha dengan landasan syiar kekufuran.

 

Kedua, hukumnya adalah boleh secara mutlak, dengan landasan syara’ bahwa sejak dulu, tempat-tempat ibadah agama lain yang sudah ada tidak dihancurkan oleh Allah (baca QS al-Hajj: 40).

 

Ketiga, hukumnya boleh dengan batasan penyampaiannya tidak diketahui oleh Muslim lainnya. Sebab, pengabulan dengan kebebasan diketahui oleh Muslim lainnya, adalah ibarat pendidikan bagi Muslim lainnya, dan sekaligus merupakan bagian dari syiar kekufuran. Kiranya, pendapat ketiga ini mengambil pengertian dhahir dari syiar kekufuran, di mana batasan dari syiar adalah didengarnya apa yang disyiarkan, dan diketahui oleh pihak lain.

 

Baca juga:

 

***

 

Berbagai pendapat dari fuqaha ini selanjutnya bila diterapkan dalam konsep lembaga asuransi syariah di negara kita Indonesia, tampaknya pendapat kedua dan ketiga merupakan yang paling relevan untuk diikuti, sebab Indonesia adalah dar al-mu’ahadah wa al-syahadah, di mana warga negaranya antara satu sama lain memiliki kesetaraan dalam hukum dan kebebasan. Oleh karena itu, memberikan peluang kepesertaan kepada pemeluk agama lain dalam konteks asuransi syariah dengan objek rumah ibadah, adalah sebuah keniscayaan, sebab tujuan utama dari lembaga asuransi ini adalah menggantikan asuransi konvensional.

 

Lebih lanjut, konteks tidak menampakkan syiar kekufuran juga bisa dipenuhi melalui asuransi syariah. Ketentuan menyembunyikan informasi tentang pencairan dana tabarru’ ke member lain sesama pemegang polis yang terlibat, secara tidak langsung juga menjadi sebuah keniscayaan dan mudah dilakukan. Alhasil, pengertian syiar kekufuran itu sendiri bisa diminimalisasi sebagaimana konsep yang disampaikan oleh Syekh Juwaini rahimahullah ta’ala.

 

Sudah barang tentu, solusi ini tidak bisa diambil secara sepihak, melainkan harus digariskan di bawah sebuah aturan main. Aturan main itu sendiri juga meniscayakan keterlibatan pemerintah, sebab bagaimana juga hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf (kebijakan hakim (pemerintah) dapat menjadi solusi sengketa.

 

Di sisi lain, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

 

الإسْلامُ والسُّلْطانُ أخَوانِ تَوْأمٌ، لا يَصْلُحُ واحِدٌ مِنهُما إلّا بِصاحِبِهِ، فالإسْلامُ أُسُّ والسُّلْطانِ حارِسٌ، وما لا أُسَّ لَهُ مُنْهَدِمٌ، وما لا حارِسَ لَهُ ضائِعٌ

 

"Islam dan kekuasaan adalah ibarat saudara kembar. Masing-masing tidak akan mencapai kemaslahatan tanpa kemaslahatan di pihak lainnya. Islam ibarat fondasi, dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki fondasi maka mudah dirobohkan, dan sesuatu yang tak berpenjaga maka sia-sia (hilang kemanfaatannya).” (Fadlilatu al-’Adilaini mina al-Wulati li Abi Nu’aim, juz 1, h. 153).

 

Diriwayatkan dengan sanad dari Sahabat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu. Beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang apa itu kekuasaan (sulthan). Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

هُوَ ظِلُّ اللّٰهِ فِي الأرْضِ، فَإنْ أحْسَنُوا فَلَهُمُ الأجْرُ وعَلَيْكُمُ الشُّكْرُ، وإنْ أساءُوا فَعَلَيْكُمُ الصَّبْرُ وعَلَيْهِمُ الإصْرُ، لا تَحْمِلَنَّكُمْ إساءَتُهُ عَلى أنْ تَخْرُجُوا مِن طاعَتِهِ، فَإنَّ الذُّلَّ فِي طاعَةِ اللَّهِ خَيْرٌ مِن خُلُودٍ فِي النّارِ، لَوْلاهُمْ ما صَلَحَ النّاسُ

 

"Kekuasaan itu adalah naungannya Allah di muka bumi. Jika mereka berbuat baik maka mereka mendapat fahala, dan kalian wajib berterimakasih kepadanya. Jika mereka berbuat buruk maka bersabarlah. Jangan kalian terbawa untuk berlaku buruk terhadapnya dengan jalan keluar dari kepatuhan. Karena sesungguhnya hina namun ada dalam ketaatan terhadap Allah adalah lebih baik dibanding mulia namun di dalam neraka. Andaikata tiada mereka, maka tidak akan baik pula masyarakat.” (Fadlilatu al-’Adilaini mina al-Wulati li Abi Nu’aim, juz 1, halaman 153). Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim