Syariah

Contoh Akad Mudharabah pada Kerja Sama Jual Beli Buku

Sab, 28 September 2019 | 15:30 WIB

Contoh Akad Mudharabah pada Kerja Sama Jual Beli Buku

Asas dari akad mudharabah adalah kerja sama dan tolong menolong antara pemilik modal dan pengelola modal. (Ilustrasi: NU Online)

Pada tulisan terdahulu kita sudah mengkaji mengenai akad mudharabah yang rusak akibat adanya pembatasan oleh pemilik modal kepada pengelola (mudharib). Dalam tulisan itu juga disebutkan contoh penerapannya, misalnya pada akad jual beli buku yang berasal dari penerbit. 
 
Kronologi akad diawali dengan kesepakatan antara penerbit dan penjual buku, bahwa dari setiap buku yang dijual, penjual akan menerima bagian 20 persen dari harga jual yang ditentukan oleh penerbit. Seluruh modal buku berasal dari penerbit dan penjual hanya berperan selaku yang menyediakan tempat/lapak tempat menjual buku. Apakah akad semacam ini sudah bisa disebut sebagai akad mudharabah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelaah terlebih dulu terkait dengan unsur-unsur yang dipergunakan dan diperankan dalam akad. Menurut mazhab Hanbali, modal mudharabah disyaratkan harus berupa nuqud (emas dan perak lantakan) dan tidak boleh berupa barang materiil (urudlu al-tijarah) atau berupa fulus (mata uang)
 
أن يكون رأس المال ذهبا أو فضة مضروبين مختومين بختم الملك فلا تصح إذا كان رأس المال قطع ذهب أو فضة لم تضرب كما لا تصح إذا كان فلوسا ( عملة من غير الذهب والفضة ) كالنحاس ونحوه سواء كانت رائحة يتعامل بها أو كاسدة
 
Artinya: “Modal mudharabah harus berupa emas atau perak lantakan yang diberi stempel kepemilikan. Oleh karena itu tidak sah melakukan mudharabah dengan modal berupa emas dan perak yang bukan lantakan sebagaimana juga tidak sah modal itu dirupakan fulus (sebuah instrumen selain emas dan perak) seperti mata uang logam dan yang semisal, baik yang memiliki nilai bahan laku dijual atau tidak” (Abdurahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-Arba’ati, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: juz 3/36).
 
Dengan melihat unsur modal ini, maka konsep di atas, menurut kalangan Hanabilah tidak masuk dalam kategori akad mudharabah, disebabkan karena jenis modalnya tidak berupa emas lantakan. 
 
Menurut mazhab Hanafi, akad semacam ini sudah terhitung akad mudharabah sebab seluruh modal berasal dari penerbit dan terjadi serah terima modal antara pemodal dan pengelola, sementara pengelola mengulurkan potensi yang dimilikinya dalam menjual barang. Singkatnya, penerbit mengulurkan modal, sementara pengelola mengulurkan jah (potensi). 
 
Dalam fiqih Hanafiyah, apabila salah satu pihak yang bermitra mengulurkan potensi yang dimilikinya, maka akad yang dijalin oleh keduanya disebut dengan syirkah jah. Namun, jika jah (potensi) itu berasal dari keduanya, maka relasi kemitraan disebut sebagai syirkah wujuh. Pembagian hasilnya, disebutnya sebagai mudharabah (bagi hasil).
 
ومن أصحابنا من جعل شركة الجاه النوع الأول إذا كان الجاه لأحدهما ، وشركة الوجوه إذا كان الجاه لهما
 
Artinya: “Sebagian dari sahabat kita, ada pihak yang menyebutnya sebagai syirkatu al-jah (kelompok pertama) khususnya bila jah (potensi) itu dimiliki oleh salah satu dari kedua pihak yang menjalin kemitraan, dan disebut syirkah wujuh, bila potensi (jah) muncul dari kedua pihak secara bersamaan” (Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab li al-Syairazi, Jedah: Maktabah al-Irsyad, tt.: 14/65).
 
Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa akad seperti ini lebih pasnya masuk kelompok akad kemitraan dengan dasar keduanya dibangun atas relasi kemitraan. Menurut  Syafiiyah, syirkah semacam merupakan akad kemitraan yang bathil. 
 
Ada pembedaan dari kalangan Syafi’iyah mengenai dua akad kemitraan berbasis potensi (jah). Pertama disebut syirkah wujuh, dan kedua disebut syirkah jah. Karena keduanya memiliki basis akad syirkah, maka keduanya juga bersekutu dalam ribhun (laba) yang didapat. Untuk itu, secara garis besar, pasti ada perbedaan dari keduanya dalam pola bagi hasilnya. 
 
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh adalah akad kemitraan yang mana antara kedua pihak yang berserikat sama-sama mengeluarkan modal berupa jah (potensi).
 
Ada satu catatan dari Abu Hanifah, bahwa dalam syirkah wujuh wajib berlaku ketentuan sebagaimana akad syirkah ‘inan (serikat modal dengan jenis modal yang sama, misalnya: modal dalam bentuk uang rupiah). Kalangan Hanafiyah menyatakan: 
 
فوجب أن يكون منهما ما يصح كشركة العنان
 
Artinya: “Wajib berlaku bagi kedua pihak yang berserikat segala ketentuan yang sah dalam syirkah ‘inan” (Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab li al-Syairazi, Jedah: Maktabah al-Irsyad, tt.: 14/65).
 
Dalam ibarat ini, kalangan Hanafiyah mengqiyaskan sahnya syirkah wujuh dengan syirkah ‘inan. Artinya: masing-masing pihak tetap wajib memiliki, mengulurkan dan memberikan modal yang sama jenisnya. 
 
Sebagai misal, jika pihak penerbit mengeluarkan buku, pihak pemodal juga menitipkan buku. Kedua buku digabungkan, kemudian hasil dari penjualan dibagi menurut nisbah harga buku secara umum dari berlaku bagi keduanya. Ini dalam konteks syirkah wujuh. Karena keduanya sama-sama memiliki potensi. Dengan demikian, yang dijual oleh pengelola ada dua, yaitu: 
 
1. Buku milik dia sendiri (karenanya dia dianggap sebagai memiliki jah secara mu’’tabar)
2. Buku milik penerbit (karenanya pula dia dianggap sebagai memiliki jah yang mu’tabar)
 
Bagi hasil dilakukan dengan mengambil untung dari buku penjual sendiri yang labanya untuk dirinya sendiri, sementara untuk buku penerbit, dia bisa mengambil untung sesuai yang disepakati antara penerbit dan penjual. Garis besarnya, dalam syirkah wujuh, keberadaan yang membawa penjual bisa dibilang sebagai memiliki potensi (jah) adalah dipandang mutlak. Seumpama orang ingin buka toko, namun barang dagangannya belum lengkap, ia harus punya toko terlebih dahulu dan produk yang dijual, sebelum ada supplier yang menitipkan barang kepadanya. 
 
Bagaimana bila terjadi kerugian? Kerugian yang berlaku atas barang yang sebelumnya dimiliki oleh penjual, sudah pasti menjadi tanggung jawab penjual. Sementara itu, untuk barang yang dimiliki oleh pemodal, maka kerugian ditanggung secara bersama-sama antara penjual dan pemodal. Perhitungan bagi untung rugi semacam oleh kalangan Syafiiyah dipandang sebagai fasidah (rusak). Harusnya, yang berlaku adalah akad wadi’ah saja (akad titip jual). Penjual digaji mengikut barang yang berhasil dijual dan dibagi menurut nisbah yang sudah disepakati. Untuk barang lain yang belum laku, atau rusak yang bukan akibat kesalahan penjual, merupakan tanggung jawab dari penitip (mudi’).
 
Syirkah Jah
Bagaimana dengan syirkah jah? Berbeda dengan syirkah wujuh, dalam syirkah jah, potensi (jah) itu hanya datang dari salah satu pihak. Penjual hanya memiliki kemampuan menjual, sementara pihak penerbit hanya memiliki produk. Penyerahan produk oleh penerbit kepada penjual merupakan bentuk amanah. Karena merupakan amanah, maka akad yang berlaku adalah akad wadi’ah. Penjual berperan sebagai orang yang dittipjualkan, sementara pihak pemodal berperan selaku yang menitipjualkan. 
 
Dalam konteks Syafi’iyah, kedudukan penjual dalam kondisi terakhir berlaku sebagai orang yang mendapatkan amanah wakil untuk menjualkan. Sementara pihak pemodal, berperan selaku orang yang mewakiljualkan (muwakkil). 
 
Perbedaan konsekuensi hukum antara memakai konsepsi Hanafiyah dan Syafiiyah, bila menggunakan konsepsi Hanafiyah, maka seandainya terjadi kerugian, pihak penjual turut serta menanggung kerugian itu. Konsekuensi itu lahir mengingat keduanya menjalin relasi kemitraan, yang mana untung rugi ditanggung bersama. Sementara itu, hal ini tidak terjadi bila mengikut konsepsi Syafiiyah. 
 
Dalam konsepsi Syafiiyah, wakil berperan selaku yang menjalankan harta dagangannya sesuai dengan petunjuk dan arahan muwakkil, maka baginya tetap berlaku mendapat ujrah (upah) dari jasanya menjadi wakil. Untung atau rugi hasil pengelolaan, tidak mempengaruhi hak wakil dalam ujrah itu. 
 
Sebaliknya, bila terjadi laba, menurut kalangan Hanafiyah, maka pihak yang menjual dan pemodal berserikat dalam keuntungan yang didapat. Dengan demikian, penghasilan penjual bisa fluktuatif. Namun, hal ini tidak terjadi jika mengikut konsepsi Syafiiyah, karena hak wakil hanya mendapat ujrah yang bersifat flat (tetap). Mau untung atau rugi, asal wakil berjalan sesuai dengan rel yang digariskan, ia tetap mendapatkan hak ujrah (upah).
 
Karena Hanafiyah menganggapnya sebagai sah, maka  teknik pembagian hasil mengikuti prinsip akad mudharabah, atau berdasar kesepakatan yang dibangun. Sementara itu tidak dengan kalangan Syafiiyah. Akad yang terjalin adalah akad ijarah sehingga wajib dibagi mengikuti prinsip ijarah (sewa jasa). 
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur