Syariah

Hukum Profesi Broker dalam Perdagangan Berjangka Komoditi

Sen, 26 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Hukum Profesi Broker dalam Perdagangan Berjangka Komoditi

Menurut mazhab Syafi’i, profesi broker ini harus dipandang selaku pedagang tak langsung. Dasar akad yang mungkin ada dua: wakalah atau jual beli.

Transaksi menurut hukum Islam pada dasarnya ada 2, yaitu: transaksi langsung dan transaksi tidak langsung. Transaksi langsung ditandai dengan bertemunya penjual dan pembeli, atau antara investor dan perusahaan penyelenggara usaha, secara langsung di majelis akad tanpa adanya wasilah (perantara).

 

Adapun transaksi tidak langsung adalah transaksi yang ditandai dengan adanya pihak yang menengahi (menjadi wasilah) antara penjual dan pembeli, atau antara investor dan perusahaan penyelenggara jasa atau usaha. Pihak yang berperan selaku penengah inilah kemudian dalam istilah modern saat ini sering disebut sebagai broker. Alhasil, profesi ini sudah banyak dipahami oleh masyarakat dan umum terjadi dalam muamalah, baik muamalah tradisional maupun muamalah modern berbasis media saat ini.

 

Nah, karena berperan selaku penengah terjadinya transaksi inilah, maka dalam Islam, posisi profesi broker ini dapat diperinci sebagai 2, yaitu:

 

  1. Ia menempati posisi sebagai wakil dari pihak mu’ayyan (tertentu). Oleh karenanya pula, gaji broker ditetapkan sebagai hanya boleh dari salah satu pihak yang mengangkatnya menjadi wakil. Tidak boleh baginya menerima komisi dari 2 pihak yang diperantarai sekaligus, yaitu dari pembeli dan dari pihak penjual, atau dari investor dan sekaligus dari perusahaan tempat menanam modal.
     
  2. Ia sendiri berlaku sebagai seorang pedagang, yang menawarkan dagangan pedagang lainnya yang pemilik aset (harta dagangan). Alhasil, lewat perdagangan ini, ia mendapat untung dari aset yang ia perantai menjualnya. Umumnya pedagang ini dikenal dengan istilah samsarah (makelar).

 

Dalam tulisan ini, penulis ingin melihat profesi broker ini dari sudut pandang mazhab Syafi’i.

 

Karena di dalam mazhab Syafi’i, tidak mengenal adanya akad samsarah (makelaran), maka itu berarti kita harus memandang profesi broker ini sebagai pihak yang berperan sebagai pedagang tak langsung.

 

Apakah ada beda antara posisi broker dipandang sebagai pedagang tak langsung dan dipandang sebagai profesi makelar? Jawabnya, sudah pasti ada titik bedanya. Di mana letak perbedaan itu, mari kita simak dalam kajian ini!

 

Broker sebagai Pedagang Tak Langsung

Dalam mazhab Syafi’i, salah satu syarat bahwa barang boleh dijualbelikan adalah barang tersebut harus merupakan milik sendiri. Boleh bagi seorang pedagang menjual barang milik orang lain, namun ada syarat yang harus dipenuhi.

 

Beberapa ketentuan yang berlaku atas profesi broker dalam Mazhab Syafi’i, adalah sebagai berikut:

 

Pertama, broker merupakan wakil dari pemilik barang sebenarnya (muwakkil) untuk menjualkan atau membeli barang sesuai dengan yang diamanahkan. Alhasil broker merupakan pemegang amanah (al-wakil aminun fi wukkila fihi). Akadnya dinamakan akad wakalah. Jual belinya dinamakan dengan istilah jual beli berbasis amanah (kepercayaan) (bai’ amanah).

 

Dalam konteks ini, broker tidak boleh membuat harga sendiri, sebab harga merupakan bandrol dari pedagang asli.

 

Keuntungan dari hasil penjualan adalah mutlak menjadi milik pihak yang mengangkatnya sebagai wakil (broker).

 

Status barang yang diperdagangkan atau dibeli, adalah milik pihak yang mengangkatnya sebagai wakil.

 

Upah broker diperoleh hanya dari satu pihak yang bertransaksi dan diperantarainya, yaitu pihak yang mengangkatnya sebagai wakil. Broker tidak boleh mengambil upah dari dua-duanya.

 

Tranksaksi antara trader dan broker dalam konteks ini, merupakan transaksi jenis spot.

 

Bagaimana bila broker merupakan wakil investor (trader) atau perusahan efek yang memperdagangkan “efek” dalam rumpun jual beli muthlaq (bai’ muthlaq)?

 

Dalam konteks jual beli muthlaq, pihak broker diperkenankan oleh penjual atau investor untuk menetapkan harga jual atau harga beli sendiri terhadap “efek” yang diperdagangkan.

 

Kondisi seperti ini sebenarnya rawan terjadinya praktik idz’an, yang ditandai oleh sikap semena-menanya broker dalam menetapkan harga jual atau beli efek. Akibatnya, pihak investor (trader) bisa mengalami kerugian.

 

Alhasil, praktik profesi broker semacam ini, sebaiknya dihindari dalam rangka saddu al-dzariah, yaitu mencegah potensi negatif yang bisa timbul berupa kerugian investor dan perusahaan efek, meskipun pada dasarnya mengangkat wakil dalam jual beli muthlaq adalah boleh.

 

Ciri khas dari wakil jual beli muthlaq ini, adalah (1) laba hasil penjualan atau pembelian bisa ditentukan sendiri oleh broker, (2) investor dan perusahaan efek hanya sebagai penerima jasa, (3) pendapatan broker diperoleh dari laba penjualan atau pembelian barang yang kemudian dijual kepada trader, (4) broker masih bisa memungut biaya kepada trader atau investor yang diwakilinya.

 

Kedua, barang yang dijual atau dibeli oleh broker merupakan barang yang diutangkan oleh pemilik asli ke broker. Namun, karena utang itu mensyaratkan pembayarannya dengan uang secara tunda, maka akad tersebut dikenal dengan istilah jual beli secara tempo (bai bi al-ajal).

 

Dalam konteks ini, status barang yang dijual adalah barang milik broker itu sendiri. Dengan demikian, akad yang terjadi antara trader dan broker, merupakan akad jual beli secara langsung (tunai) di majelis akad, namun salah satu harga atau barang, masih menunggu penyerahannya kemudian (tempo).

 

Dalam pasar berjangka, akad semacam ini dikenal sebagai akad swap dan feature.

 

Feature terjadi pada transaksi penyerahan harga dulu, efek yang diperdagangkan atau dijual, akan diserahkan kemudian.

 

Sementara swap, terjadi pada transaksi dengan pola penyerahan “efek” dulu, sementara harganya diserahkan kemudian.

 

Keduanya adala sah secara syariat, sebab keberadaan efek yang diperdagangkan, merupakan yang bisa dijamin (fi al-dzimmah) pengadaannya.

 

Laba dari keuntungan transaksi yang terjadi antara trader dan broker, merupakan milik dari broker sepenuhnya. Dan laba ini merupakan sumber pendapatan broker.

 

Dalam konteks ini, pihak broker sudah tidak boleh lagi memungut ujrah (upah) dari pihak investor atau perusahaan lain yang “efek”-nya sudah ia beli.

 

Ketiga, barang yang dijual atau dibeli oleh broker, merupakan barang yang statusnya bisa diadakan (fi al-dzimmah) oleh broker sesuai dengan pesanan trader.

 

Dalam konteks ini, akad yang terjadi antara broker dan trader adalah akad bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah (jual beli efek yang bisa disifati dan ada dalam tanggungan). Pemesanan efek dilakukan dengan menggunakan akad salam (pesan).

 

Syarat yang wajib dipenuhi, adalah:

  1. Pihak trader harus menyerahkan harga kepada broker secara tunai di majelis akad.
  2. Volume efek yang dibeli atau dijual secara pesan, juga ditentukan saat di majelis akad itu.
  3. Harga yang berlaku adalah harga saat akad itu terjadi, dan bukan saat efek itu diserahkan..

 

Dalam bingkai pasar berjangka, akad jual beli pola ketiga ini dikenal dengan istilah forward. Hukum asalnya adalah boleh karena adanya hajat, selagi tidak ada unsur riba, niat gharar (spekulatif) dan maisir (judi).

 

Ciri dari adanya praktik riba, gharar dan maisir adalah tidak adanya kesepakatan harga dan volume efek, saat di majelis akad.

 

Alhasil, profesi broker dalam tiga kategori transaksi di atas, hukumnya adalah boleh dalam bingkai mazhab Syafi’i, selagi tidak ada illat larangan jual beli yang diterjang.

 

Broker sebagai Makelar

Memandang profesi broker sebagai makelar, maka sama artinya dengan mendudukkan pihak dengan profesi tersebut selaku yang disewa jasanya oleh dua pihak, yaitu: oleh pembeli, dan sekaligus oleh pedagang. Alhasil, akadnya adalah akad ijarah (sewa jasa).

 

Karena jasanya merupakan yang diperankan oleh kedua pihak yang bertransaksi, maka gaji yang diterima oleh broker (makelar) ini juga bisa dari dua pihak, yaitu dari pembeli sekaligus dari pedagang. Alhasil, penghasilannya merupakan yang ganda.

 

Karena sumber penghasilannya bisa dari dua pihak ini, para ulama dari kalangan Malikiyah memperselisihkannya. Namun, pendapat yang kuat menyatakan bahwa penghasilan ganda itu bisa diterima oleh broker, dengan catatan bahwa ‘urf (adat yang masyhur) yang berlaku di wilayah tempatnya beraktivitas membolehkan pengambilan gaji dari dua pihak yang berakad.

 

Sudah barang tentu, permasalahan kemudian adalah menukik pada bagaimana cara mengetahui ‘urf tersebut?

 

Untuk konteks Indonesia, memang ada praktik yang sudah menjadi kelaziman di kalangan petani, bahwa kinerja makelar bisa diupah melalui dua pihak, yaitu pihak pedagang sekaligus pihak petani.

 

Namun permasalahannya, adalah bagaimana jika adat pengupahan ganda terhadap jasa broker ini diberlakukan dalam konteks pasar berjangka? Di sini peran penerapan maslahatu al-mursalah itu dibutuhkan. Bukankah Mazhab Maliki merupakan yang paling konsisten dengan kaidah maslahatu al-mursalah ini?

 

Artinya, bila konsepsi maslahatu al-mursalah benar-benar diberlakukan, maka penerjemahannya dalam praktik terhadap profesi broker adalah menjadi semacam ini:
 

  1. Jika terdapat maslahah muhaqqaqah, yaitu bila dengan penetapan upah ganda tersebut ternyata ada maslahat yang nyata dan terukur yang bisa diketahui, maka boleh memberlakukan upah ganda bagi broker.
  2. Akan tetapi, jika ternyata penetapan upah ganda itu justru membawa mudlarat (kerugian) bagi salah satu pihak yang bertransaksi, maka secara tidak langsung kebijakan upah wajib dikembalikan kepada pihak yang membutuhkan jasa broker, yaitu pedagang. Alhasil, broker menjadi tidak boleh menarik upah dari investor (trader).

 

Kesimpulan Hukum Profesi Broker

Profesi broker merupakan profesi perantara dan penengah transaksi. Menurut mazhab Syafi’i, profesi broker ini harus dipandang selaku pedagang tak langsung, sehingga akad yang terjadi ada 2 kemungkinan, yaitu (1) akad wakalah atau (2) akad jual beli. Jadi, broker bisa diartikan sebagai pedagang.

 

Alhasil, akad yang terjadi antara broker dan trader atau perusahaan efek adalah bisa masuk dalam rumpun bai’ bi al-ajal, atau bai’ salam. Keduanya meniscayakan barang yang dijual terdiri dari harta yang diketahui karakteristiknya (syaiin maushuf fi al-dzimmah).

 

Berprofesi selaku broker adalah boleh, dengan catatan transaksi wajib mengikuti ketentuan akad wakalah (spot), akad bai’ salam (feature dan forward), atau akad bai bi al-ajal (swap). Ketentuan upah menyesuaikan dengan jenis akad dasarnya, yaitu wakalah bi al-ujrah (pengangkatan wakil yang diberi upah) atau laba jual beli.

 

Akad wakalah bi al-ujrah meniscayakan sumber upah dari pihak yang mengangkat broker selaku wakil. Jadi, upah hanya berasal dari satu pihak investor saja, atau dari pedagang efek saja..

 

Adapun bila profesi broker dipandang sebagai makelar, maka meniscayakan akad yang dijadikan dasar bangunan adalah akad ijarah.

 

Seiring broker dalam konteks ini, juga meniscayakan adanya dua pihak yang menyuruh, maka broker bisa mendapatkan upah dari kedua pihak. Ketentuan pengupahan ini selanjutnya ditimbang menurut konsep kemaslahatannya berdasar urf yang berlaku.

 

Jika menurut ‘urf ada maslahah muhaqqaq (maslahat nyata) yang terjadi lewat pengupahan ganda itu, maka pengupahan model ini boleh diterapkan. Hal sebaliknya berlaku jika ternyata pengupahan ganda justru berbuah mudlarat bagi kedua pihak, maka praktik itu bisa ditiadakan, sehingga upah wajib dari salah satu pihak yang menyuruh, yaitu pedagang efek.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim