Nikah/Keluarga

Pentingnya Pencatatan Donor ASI untuk Cegah Nikah Batal karena Sepersusuan

NU Online  ·  Sabtu, 2 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Pentingnya Pencatatan Donor ASI untuk Cegah Nikah Batal karena Sepersusuan

Ilustrasi bank ASI. Sumber: Canva/NU Online.

Kemampuan produksi air susu ibu (ASI) setiap wanita berbeda-beda. Sebagian wanita mampu memberikan ASI yang berlebih, sebagian lain mengalami kekurangan produksi. Karena keterbatasan yang ada, bayi disusukan kepada wanita lain yang bersedia menyusui. Dewasa ini, muncul bank ASI yang menyediakan air susu dari berbagai donatur.


Dalam Islam, persusuan antara seorang anak dengan seorang wanita, baik ibu kandung maupun bukan, menimbulkan hubungan yang menjadikan mereka haram untuk dinikahi. Bukan hanya wanita yang menyusui yang tidak boleh dinikahi, tetapi juga beberapa anggota keluarganya.


Al-Qurtubi memberikan perincian, siapa saja yang menjadi mahram ketika terjadi proses radha'ah. Berikut perinciannya:


فَإِذَا أَرْضَعَتِ الْمَرْأَةُ طِفْلًا حَرُمَتْ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا أُمُّهُ، وَبِنْتُهَا لِأَنَّهَا أُخْتُهُ، وَأُخْتُهَا لِأَنَّهَا خَالَتُهُ، وَأُمُّهَا لِأَنَّهَا جَدَّتُهُ، وَبِنْتُ زَوْجِهَا صَاحِبُ اللَّبَنِ لِأَنَّهَا أُخْتُهُ، وَأُخْتُهُ لِأَنَّهَا عَمَّتُهُ، وَأُمُّهُ لِأَنَّهَا جَدَّتُهُ، وَبَنَاتُ بَنِيهَا وَبَنَاتِهَا لِأَنَّهُنَّ بَنَاتُ إِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ


Artinya, “Apabila seorang wanita menyusui seorang anak, maka wanita itu menjadi haram dinikahi oleh anak tersebut karena statusnya berubah menjadi ibu susuan. Putri dari wanita itu juga haram dinikahi karena ia adalah saudara susuan. Saudari dari wanita tersebut pun menjadi haram karena kedudukannya sebagai bibi susuan dari pihak ibu. Ibu dari wanita itu juga haram karena ia menjadi nenek susuan. Demikian pula, putri dari suami wanita tersebut yang merupakan pemilik air susu haram dinikahi karena statusnya sebagai saudara susuan. Saudara perempuan dari suami wanita tersebut juga haram karena ia menjadi bibi susuan dari pihak ayah, dan ibunya suami pun haram karena merupakan nenek susuan. Selain itu, anak-anak perempuan dari anak laki-laki maupun anak perempuan wanita itu juga haram dinikahi karena mereka adalah keponakan susuan dari saudara-saudaranya.” (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Dar Mishriyah: 1964], Juz 5,  halaman 109).


Segala larangan antara lawan jenis, seperti bersentuhan, berduaan, atau berkumpul tanpa penghalang, juga berlaku bagi mereka yang terikat hubungan radha'ah (persusuan). Seorang anak yang telah disusui, ketika dewasa, haram menikahi ibu susunya beserta kerabat tertentu, sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung, nenek, bibi, saudara, atau keponakan sendiri.


Hubungan kekerabatan akibat radha'ah dikelompokkan bersama bentuk kekerabatan baru lainnya seperti mushaharah (hubungan karena pernikahan, misalnya menantu dan mertua). Berbeda dengan hubungan nasab karena kelahiran yang terjadi sejak lahir, radha'ah dan mushaharah adalah keterikatan yang muncul melalui proses baru.


Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, hubungan mahram akibat persusuan muncul karena air susu yang diminum bayi ikut membentuk daging dan tulangnya.


عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رَضَاعَ اِلاَّ مَا اَنْشَزَ اْلعَظْمَ وَ اَنْبَتَ اللَّحْمَ

 

Artinya, “Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak ada penyusuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging'.” (HR. Abu Dawud)


Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili, seorang anak yang mendapatkan asupan air susu ibu (ASI), baik dari ibu kandung maupun wanita lain, tubuhnya akan terbentuk dan tumbuh dari nutrisi yang berasal dari air susu tersebut. Jika seorang bayi meminum ASI dari wanita A, maka nutrisi ASI itu ikut menyusun pertumbuhan jasmani bayi, termasuk struktur tubuh dan tulangnya.


Dengan demikian, ASI berperan sebagai bagian dari unsur pembentuk fisik bayi, sehingga secara syar’i menimbulkan hubungan mahram antara bayi dan wanita yang menyusuinya. Wanita tersebut pun dipandang sebagai ibu persusuan bagi bayi tersebut, karena secara hakikat bayi itu menjadi bagian dari dirinya dalam proses pertumbuhan. (Al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 6640).


Dalam beberapa kasus, seorang pria menikahi seorang wanita, namun di tengah perjalanan pernikahan, mereka baru mengetahui bahwa ternyata mereka adalah saudara sepersusuan. Karena memiliki hubungan persusuan yang menyebabkan larangan menikah, pernikahan mereka pun batal dan mereka terpaksa berpisah.


Kejadian seperti ini tidak jarang terjadi. Karena itu, perlu ada langkah preventif agar seseorang sejak awal mengetahui siapa saja saudara sepersusuannya, guna mencegah terjadinya pernikahan yang rusak di kemudian hari.


Pencatatan Sebagai Solusi

Untuk mencegah dampak hukum dari persusuan terhadap pernikahan di masa depan, pencatatan dan identifikasi mahram menjadi solusi penting. Setiap kali seorang bayi menyusu pada wanita selain ibu kandungnya, pihak-pihak yang menjadi mahram karena persusuan sebaiknya dicatat sebagai langkah antisipasi.


Dalam praktiknya, penyusuan tidak selalu dilakukan oleh satu wanita. Ada kalanya produksi ASI terhambat dan digantikan oleh wanita lain, bahkan lebih dari lima orang. Hal ini memperluas ikatan mahram dan menambah potensi kerancuan nasab, termasuk dalam konteks bank ASI. Karena itu, pencatatan sistematis menjadi kebutuhan jangka panjang.


Al-Qurthubi menyatakan bahwa segala sesuatu yang boleh diberikan secara sukarela, dianjurkan untuk dicatat. Maka, air susu yang didonorkan sebaiknya disertai pencatatan, demi menghindari masalah di kemudian hari.


لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَدَبَ إِلَى الْكِتَابِ فِيمَا لِلْمَرْءِ أَنْ يَهَبَهُ وَيَتْرُكَهُ بِإِجْمَاعٍ، فَنَدْبُهُ إِنَّمَا هُوَ عَلَى جِهَةِ الْحَيْطَةِ لِلنَّاسِ


Artinya, “Karena Allah Ta‘ala telah menganjurkan untuk menuliskan (akad atau transaksi) terhadap sesuatu yang boleh bagi seseorang untuk memberikannya (sebagai hibah) atau meninggalkannya, menurut ijma‘ (kesepakatan para ulama). Maka, anjuran Allah itu bertujuan sebagai bentuk kehati-hatian (perlindungan) bagi manusia.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz III/halaman 383)


Al-Qur’an juga memberikan pedoman penting terkait pencatatan, seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 yang memerintahkan pencatatan utang piutang. Pencatatan ini berfungsi sebagai bukti sah dan langkah preventif untuk menghindari sengketa di kemudian hari.


Demikian pula dalam konteks persusuan, pencatatan dan identifikasi mahram menjadi langkah praktis untuk mencegah pernikahan yang tidak sah. Dengan mencatat siapa saja yang menjadi mahram karena ikatan radha’ah, risiko pernikahan antar saudara sepersusuan dapat dihindari. Ini bentuk kehati-hatian yang sejalan dengan semangat syariat. Wallahu a‘lam.


Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin.