Syariah

Investasi Deposito dan Hadiah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Sel, 17 Januari 2023 | 05:00 WIB

Investasi Deposito dan Hadiah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Ilustrasi: Uang rupiah (Freepik)

Suatu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menawarkan dua alternatif investasi produk deposito kepada nasabahnya. Pertama, produk deposito dengan nisbah bagi hasil 50% pengelola, dan 50% pemodal. Kedua, produk deposito dengan nisbah bagi hasil 95% pengelola, dan 5% pemodal. Untuk deposito produk kedua ini, pihak LKS menjanjikan kepada pihak investor hadiah sepeda motor baru yang diserahkan di awal. Syarat yang harus dipenuhi bagi nasabah yang ikut program ini, adalah ia harus mendepositokan uangnya sebesar 100 juta rupiah dengan kontrak modal selama 2 tahun.


Problemnya adalah, apakah tawaran investasi deposito dengan opsi kedua ini boleh secara syara’?


Untuk mengurai masalah di atas, kiranya ada 2 elemen yang penting untuk dipertegas, yaitu:

  1. keberadaan akad qiradh yang menyertai produk deposito dengan nisbah bagi hasil 95% : 5%; dan
  2. status hadiah sepeda motor untuk diberlakukan sebagai layaknya hadiah dalam fiqih.


 

Akad Qiradh

Di dalam akad qiradh, uang yang diserahkan oleh rabbul mal (investor/nasabah) kepada ‘amil (pengelola/LKS) berstatus sebagai ra’sul mal (modal). Apabila status ra'sul mal ini berubah menjadi fasid (rusak) maka otomatis akad qiradh-nya akan berbalik menjadi akad qardh


Bagaimana pemodelan fiqih dari rusaknya akad ini?


Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab rusaknya akad qiradh sehingga berubah menjadi qardh adalah apabila imbalan investor telah ditetapkan nilainya di muka oleh mudharib (‘amil), seperti: 10% per juta modalnya atau 10 juta rupiah per 100 juta modalnya. 


Menilik dari hal ini, sepeda motor adalah bagian yang dijanjikan oleh LKS di muka. Itu sebabnya, sepeda tidak berlaku sebagai layaknya hadiah, melainkan menjadi bagian dari imbalan yang telah ditentukan besarannya, akibat akad penyerahan uang dengan jumlah tertentu oleh nasabah kepada LKS. Mari simak pendekatan landasan berikut ini.


ولَوْ قالَ اقْتَرِضْ لِي مِائَةً ولَك عَشَرَةٌ لَزِمَتْهُ العَشَرَةُ لِأنَّها جِعالَةٌ


Artinya, “Jika seseorang berkata: “Carikan aku hutangan sebesar 100 dirham dan untukmu 10 dirham, maka wajib baginya menyerahkan uang 10 dirham tersebut, karena hal itu termasuk akad ju’alah.”


Ibarat di atas dapat berlaku apabila uang yang diminta mencarikan tersebut adalah milik pihak lain, dan bukan milik orang yang diperintah. 


إنْ كانَ فِي الِاقْتِراضِ كُلْفَةٌ تُقابَلُ بِمالٍ فَراجِعْهُ فَإنْ كانَ المِائَةُ مِن مالِ المَأْمُورِ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا


Artinya, “Jika di dalam mencarikan utangan tersebut terdapat kinerja (kulfah) yang sebanding dengan harta, maka ini dapat dijadikan dasar pengesahan. Namun, apabila uang sebesar 100 dirham itu merupakan milik pihak yang diperintah (ma’mur) itu sendiri, maka baginya tidak berhak imbalan apapun.”


Sudah barang tentu, dalam kasus deposito, maka pihak yang berlaku sebagai yang diperintahkan adalah nasabah. Jadi, harta yang diserahkan kepada LKS, adalah harta nasabah itu sendiri. Alhasil, nasabah tidak berhak menerima hadiah apapun dari LKS karena alasan tersebut. Jika pihak nasabah tetap memaksa meminta, maka status uang yang diserahkan akan berubah menjadi qardh (utang). Dengan demikian, sepeda itu berubah statusnya menjadi manfaat dari qardh sehingga memenuhi kaidah riba qardhi.


Dengan kata lain, janji pemberian hadiah sepeda di awal akad qiradh itu telah disepakati, seolah sama kedudukannya dengan ujrah ('iwadh) atas penyewaan uang oleh investor kepada pengelola. 


ولَو شَرط أن يلبس الثَّوْب الَّذِي يَشْتَرِيهِ فسد لِأنَّهُ داخل فِي العِوَض ما لَيْسَ من الرِّبْح وقِياسه أنه لَو اشْترط عَلَيْهِ أن ينْفق من رَأس المال أنه لا يَصح وهَذا النَّوْع كثير الوُقُوع


Artinya, "Andaikata disyaratkan bahwa baju yang dibeli dengan modal itu bisa dipergunakan oleh 'amil, maka hal itu dapat merusak akad sebab syarat tersebut termasuk bagian dari 'iwadh (imbalan) di luar keuntungan. Hal yang sama juga berlaku, apabila pihak 'amil meminta syarat dibolehkannya mengambil nafkah dari ra’sul mal, maka hal tersebut tidak sah. Pola semacam ini seringkali terjadi di masyarakat." (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], juz I, halaman 289).


Sebagaimana hal di atas berlaku untuk ‘amil, maka hal yang sama tentu saja juga berlaku atas investor. Jika investor meminta atau dijanjikan adanya hadiah akibat penyerahan uang, maka hadiah itu dapat diartikan sebagai manfaat penyerahan uang, sehingga termasuk riba.

 


Daya Tarik Hadiah

Pasalnya, nisbah bagi hasil yang diakadi dalam kontrak qiradh ini adalah 95% : 5%. Sementara itu, sepeda tidak masuk dalam bagian akad. Hanya saja, sepeda motor itu turut dijadikan daya tarik promo produk deposito. 
 

Untuk menjawab hal ini, mari simak penjelasan berikut.
 

Di mata nasabah, tertariknya ia mengikuti produk deposito kedua, sudah pasti karena faktor pertimbangan terhadap hadiah, dan bukan karena motif bagi hasil 95% : 5%. Sebab, bagi hasil ini terbilang kecil. Karena kecilnya nisbah bagi hasil, maka sepeda menjadi satu-satunya alasan untuk ikut. Alhasil, sepeda berubah kedudukannya selaku instrumen pengelabuan (ighra’)
 

إغْرَاء ... يُحَاوِلُ إغْرَاءهُ بِالْمَالِ
 

Artinya: “Ighra’ adalah mengalihkan orientasi seseorang dengan suatu harta.” (Mu’jamul Ma’ani)


Namun Ada pengecualian, yaitu bila pihak LKS tidak menjanjikan hadiah tersebut. LKS hanya fokus pada promo deposito dengan nisbah bagi hasil 95% : 5% yang ditawarkan bersama-sama dengan produk deposito lain dengan nisbah bagi hasil 50:50. Mungkin, pihak LKS cukup dengan memperkenalkan sebagai produk deposito istimewa.


Apabila langkah ini dilakukan oleh LKS, maka nasabah yang mengambil produk deposito istimewa tersebut (95:5) tidak bisa disebut sebagai yang tertarik pada hadiah, melainkan semata-mata tertarik pada investasi dan bagi hasilnya. Adanya hadiah yang diberikan kemudian oleh LKS tanpa syarat kepada nasabah yang ikut program, menjadikan hadiah tersebut dapat berlaku sah sebagai hadiah. 


Alhasil, uang yang diserahkan oleh nasabah ke LKS untuk produk deposito ini tidak berstatus sebagai utang, buah dari akad qardh, melainkan tetap pada basic qiradhnya dengan nisbah bagi hasil yang disepakati sebesar 95% : 5%.

 


Simpulan

Sahnya pengadaan produk deposito berhadiah pada LKS, dalam hemat penulis, hanya sah apabila hadiah tersebut tidak dicantumkan dalam klausul akad kontrak deposito (qiradh). Yang harus tampil dalam klausul akad adalah qiradh dengan nisbah bagi hasilnya 95% dan 5%. Wallahu a'lam.


 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur