Syariah

Kredit Beragun Aset dan Salah Persepsi Nasabah

Sab, 16 Januari 2021 | 13:00 WIB

Kredit Beragun Aset dan Salah Persepsi Nasabah

Menempatkan adanya pembiayaan melalui kredit beragun aset sebagai sebuah praktik utang secara murni adalah sebuah pendapat yang tanpa dasar. Mengapa?

Sebenarnya masalah yang kita kaji kali ini merupakan masalah klasik, karena hampir semua lembaga keuangan, baik konvensional maupun syariah juga mengalaminya. Sebagian dari masalah ini sudah kita singgung di tulisan terdahulu tentang gadai motor dan mobil sebagai objek kredit beragun aset.

 

Dalam kesempatan ini, kita akan coba lebih menukik lagi pada persoalan riil yang dihadapi sejumlah lembaga keuangan, baik bank maupun non-perbankan. Pentingnya untuk kita tahu adalah supaya kita sadar dengan akad dan risiko mengambil akad. Buahnya, kita paham bagaimana seharusnya kita bertindak dan berlaku dalam akad.

 

Sebab, mayoritas masyarakat kita, tidak melihat dulu keberadaan akad tersebut bagaimana ia dibangun dan apa konteksnya. Ironisnya, beberapa pihak langsung mematok begitu saja sebagai riba sehingga haram, dan tanpa ba bi bu langsung menggebuki semua jenis lembaga keuangan dengan tuduhan telah melakukan praktik riba. Kemudian muncullah kampanye “hijrah dari perbankan, hijrah dari riba,” dan lain sebagainya.

 

Tentu ini adalah sebuah bagian dari praktik serampangan dan gegabah, tanpa melihat dulu bagaimana praktik itu dilakukan. Di sini, mari kita kaji, dan Anda bisa melakukan kontra produktif terhadap tulisan ini jika Anda pandang ada yang perlu diluruskan dalam akadnya.

 

Masalah Persepsi Nasabah terhadap Agunan Pembiayaan Murabahah

Jika Anda berselancar di dunia maya, coba ketikkan kata kunci persepsi nasabah terhadap agunan kredit! Dari situ, Anda akan disuguhkan berbagai hasil riset ilmiah yang menjelaskan mengenai persepsi tersebut. Coba Anda klik salah satu dari link itu dan Anda baca!

 

Dari situ, Anda akan menemukan: “ternyata dari kesekian hasil riset melaporkan bahwa para nasabah pembiayaan ini masih menganggap jika aset yang diagunkan tersebut masih merupakan “hak milik” mereka sendiri.” Bagaimanapun juga, persepsi ini merupakan sebuah kesalahan fatal yang bisa menyebabkan:

  1. Kekeliruan fatal dalam memandang status barang yang diagunkan, dan
  2. Kekeliruan fatal dalam menempatkan status hukum cicilan pembiayaan
  3. Kekeliruan fatal dalam memandang secara umum adanya praktik pembiayaan murabahah

 

Bagaimanapun juga, dalam setiap produk pembiayaan berbasis murabahah, maka meniscayakan adanya mekanisme jual beli di dalamnya. Tanpa adanya mekanisme jual beli, maka tidak ada murabahah. Murabahah sendiri secara leksikal maknanya adalah jual beli dengan berbagi keuntungan.

 

 

Apa keuntungannya lembaga keuangan? Jawabnya adalah sudah pasti ia mendapat laba (ribhun) dari hasil jual beli tersebut. Lantas, bagaimana dengan nasabah? Nasabah diuntungkan dalam mendapatkan dana tunai (kontan).

 

Jadi, mekanisme penyaluran produk murabahah adalah sudah pasti meniscayakan penyaluran pembiayaan itu dilakukan dengan jalan:

 

Pertama, menjadikan objek agunan sebagai yang harus bisa “ditakar” untuk menyalurkan pembiayaan. Alhasil, biaya yang disalurkan dalam pembiayaan, secara otomatis merupakan harga dari barang yang diagunkan, sebagaimana layaknya jual beli. Bahkan dalam proses penyalurannya, ada tawar menawar antara nilai harga barang dengan besarnya dana pembiayaan yang akan disalurkan.

 

Jika agunan itu hanya memiliki kekuatan harga jual sebesar 10 juta, maka pihak nasabah tidak bisa mengajukan kredit sebesar 20 juta. Mengapa? Sebab, jika lembaga keuangan tetap menyalurkan dana sebesar 20 juta, maka bila terjadi kasus kredit macet, kemacetan ini adalah buah dari kesalahan petugas survey di lapangan. Bahkan bisa jadi itu merupakan tindakan kontraproduktif murni petugas sehingga bisa menimbulkan kerugian pada lembaga.

 

Kedua, dalam kasus apabila besaran dana pembiayaan yang diajukan nasabah berukuran lebih kecil dari harga riil barang agunan, maka skema pembiayaan yang diambil adalah bukan skema jual beli murabahah, melainkan skema gadai (rahn).

 

Jadi, dengan berbekal dua mekanisme penyaluran pembiayaan di atas, maka praktik pembiayaan di lembaga keuangan memiliki dua basis akad yang berbeda. Akad pada kasus pertama adalah akad jual beli. Sementara akad pada kasus kedua adalah akad rahn (gadai). Dengan demikian, risiko yang diterima nasabah dari kedua skema pembiayaan itu juga berbeda. Mari kita telusuri secara detail!

 

Risiko Akad Murabahah pada Produk Pembiayaan Perbankan

Jika seorang nasabah mengambil produk pembiayaan murabahah, maka itu artinya bahwa barang yang dijadikan agunan pembiayaan, sifatnya adalah sudah dibeli oleh pihak lembaga pembiayaan.

 

Suatu misal, Anda mengajukan pembiayaan di lembaga keuangan, baik konvensional maupun syariah, lalu Anda mengajukan motor untuk dijadikan agunan (jaminan), dan besaran biaya yang Anda ajukan adalah sesuai dengan besaran harga agunan Anda, maka dalam konteks ini, kedudukan dari barang agunan itu bisa dibaca menurut dua konsep perbankan yang ada, yaitu: (1) versi bank konvensional, dan (2) versi bank syariah

 

Pertama, versi bank konvensional

Menurut versi bank konvensional, agunan ini dapat diartikan menurut 2 wajah pendapat, yaitu sebagai (1) barang yang sudah dibeli oleh bank secara akad jual beli, dan (2) barang tersebut merupakan jaminan dari akad gadai (rahn). Dalam menghadapi kondisi semacam ini, syariat mewajibkan adanya khiyar terhadap akad yang dilakukan, yakni: apakah pembiayaan itu dilalui dengan akad jual beli, ataukah dilakukan secara gadai. Masing-masing berbeda terhadap risiko hukum yang mengiringinya.

 

Bila barang agunan dipandang sebagai yang sudah dibeli oleh bank

Apabila agunan itu dimasukkan ke dalam kelompok jenis barang yang sudah dibeli oleh bank atau pegadaian, maka status barang agunan secara tidak langsung adalah sudah menjadi milik sempurna dari bank yang mengucurkan pembiayaan.

 

Persoalannya kemudian adalah di mana letak penegasan akad jual beli itu? Kapan hal itu terjadi?

Jawaban pertanyaan inilah yang sulit untuk dicari ketegasannya, sebab dalam praktiknya, memang seolah tidak ada akad yang dilakukan secara sharih (jelas) dan menyatakan jual beli. Para peneliti muamalah dunia perbankan hanya berangkat dari indikasi-indikasi (madhinnah) yang ada saja. Yang paling urgen dari madhinnah ini adalah: (1) ada penyerahan uang, dan (2) pengucuran uang itu disesuaikan dengan kemampuan harga jual barang agunan. Namun, jika kita berhenti pada 2 aspek ini, keduanya masih menunjukkan riwayat pengertian yang musytarak antara jual beli dan gadai. Alhasil belum ada ketegasan secara pasti.

 

Untuk itulah perlu dicari faktor penguat lainnya. Salah satu contohnya adalah keberadaan bukti surat kepemilikan yang ada di tangan perbankan. Dalam kasus umum, kepemilikan minimal seseorang terhadap keberadaan suatu aset adalah ditunjukkan lewat surat bukti penguasaan aset. Misalnya, bukti penguasaan atas suatu saham adalah selalu dikaitkan dengan dikuasainya bukti surat saham. Hal yang sama juga berlaku atas kendaraan. Siapa yang menyimpan bukti kepemilikan tersebut, maka dialah pemiliknya. Faktor penguat lainnya adalah dengan dikuasainya Surat Kepemilikan Kendaraan Bermotor oleh bank, pihak yang menguasai barang tidak bisa dengan leluasa melakukan penjualan terhadap barang yang diagunkan. Andaikata bisa dijual pun hargannya tidak sebagaimana normalnya barang yang memiliki bukti kepemilikan. Ini menandakan, bahwa sifat kepemilikan harta agunan oleh nasabah merupakan kepemilikan yang lemah (milkun dlaif).

 

Alhasil, berangkat dari sini, maka kaidah yang berlaku adalah kaidah yang menyatakan tentang urf, bahwa pihak yang menguasai bukti kepemilikan adalah yang berhak atas barang. Di sisi lain, rahn sendiri merupakan cabang dari akad utang (qardl) dan qardl merupakan cabang dari akad jual beli. Itu sebabnya, ada ulama yang menyatakan bahwa gadai pada dasarnya merupakan akad bai’ bi al-wafa, yaitu jual beli dengan janji kelak akan ditebus lagi. Jadi, dengan keberadaan ini, maka akad pengagunan aset tersebut lebih diunggulkan pada kecondongan di akad jual belinya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang menegaskan “al-tsabit bi al-’urfi ka al-tsabiti bi al-nash.” (Tradisi (kepemilikan) yang teguh secara urf adalah seperti keteguhan (kepemilikan) secara nash).

 

Bila barang agunan dipandang sebagai relasi akad gadai (Rahn)

Barang yang diagunkan oleh nasabah bank konvensional, memang bisa dipandang sebagai agunan dari relasi akad gadai (rahn). Tentu hal ini, kita harus mendasarkan diri pada ada atau tidaknya indikator (madhinnah) dan faktor murajjih yang bisa menguatkannya.

 

Melalui jalan penelusuran lebih jauh, faktor murajjih bahwa barang tersebut merupakan agunan dari akad gadai adalah hampir pasti bahwa setiap nasabah selalu memiliki persepsi bahwa barang yang dijadikan agunan adalah masih menjadi hak milik pribadinya. Secara tidak langsung, akibat dari persepsi ini adalah status “agunan” menduduki maqam jaminan murni atas utang. Dan setiap ada utang dengan disertai adanya jaminan berupa barang, maka secara otomatis akad itu merupakan akad yang dibentuk oleh relasi akad gadai secara hukum (rahnan hukman)..

 

Imbas Hukum akibat Dualisme Akad Agunan

Persoalan akibat dualisme akad dalam satu transaksi terhadap agunan pembiayaan pada bank konvensional ini adalah para nasabah lebih mengikuti kepahaman bahwa akad itu adalah relasi dari akad gadai. Alhasil, utang yang dikucurkan oleh perbankan, kembalinya juga harus wajib sama. Adanya kelebihan pada pengembalian harta utang gadai, dapat menempati status riba qardli (riba utang) sehingga haram.

 

Lain halnya, bila agunan itu didudukkan sebagai derajat barang yang sudah dibeli lewat relasi pertama di atas, maka ketika barang tersebut ada di tangan pemilik asal dari barang, maka status barang tersebut berkedudukan sebagai 2, yaitu: (1) jika bukan merupakan barang pinjaman sebab relasi akad i’arah (pinjam barang), maka pastilah (2) barang itu merupakan buah dari relasi akad ijarah (sewaan).

 

Apa madhinnahnya? Sebagai buktinya adalah ada biaya jasa yang dikeluarkan oleh nasabah setiap bulannya sebesar persen bunga kredit yang nilainya disesuaikan dengan harga jual barang yang menduduki maqam dana kredit yang dikucurkan oleh bank kepada nasabah perbankan. Alhasil, kaidah yang berlaku adalah ketentuan yang menyebutkan bahwa setiap penyerahan barang kepada orang lain yang disertai dengan adanya penyerahan harga, yang disertai dengan adanya kontrak, sehingga bila telah melewati kontrak maka barang itu harus kembali kepada pemiliknya, maka akad tersebut merupakan akad ijarah (sewa barang). Dengan demikian, persentase bunga pinjaman (berdasar relasi akad kedua ini) adalah menduduki maqamnya ujrah terhadap barang yang sudah dibeli oleh bank tersebut, sebagai buah dari relasi akad ijarah.

 

Lantas, apa tindakan yang msti dilakukan oleh nasabah dari menyikapi dua wajah di atas?

 

Karena adanya dua khilaf yang berlaku terhadap cara pandang agunan tersebut dan imbas hukumnya yang berbeda dari keduanya, maka sebagai langkah kehati-hatian adalah keluar dari masalah khilafiyah merupakan yang lebih utama dan lebih menyelamatkan. Dengan kata lain, sesuai dengan maksud utama seseorang berhubungan dengan bank adalah untuk mendapatkan dana bagi pemenuhan kebutuhan yang bersifat mendesak (dlarurah li al-hajah), maka hal yang penulis rekomendasikan adalah:

  1. Kebutuhan terhadap pembiayaan dari perbankan, hendaknya merupakan benar-benar kebutuhan yang sifatnya sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan solusi lain melainkan lewat pengajuan kredit beragun aset di bank. Mengapa? Sebab, bagaimanapun juga, masyhurnya kredit di bank adalah bermakna sebagai utang, dan dilihat dari setiap pengembaliannya, meniscayakan adanya pertambahan jumlah nilai melebihi pokok utang. Secara qardl, kelebihan ini adalah riba.
  2. Apabila kebutuhan pembiayaan tersebut benar-benar sudah tidak dapat dihindari disebabkan tidak bisa mencari alternatif dana lain untuk melangsungkan proses produksinya, menggaji karyawan, dan lain sebagainya, maka hendaknya usaha meminjam dana lewat kredit beragun aset itu disertai dengan perencanaan yang matang dan bertanggung jawab. Alhasil, relasi yang berlaku adalah agunan itu merupakan buah dari relasi akad jual beli. Pemilik barang agunan adalah bank, dan pihak yang mengajukan pembiayaan berkedudukan sebagai penyewa barang.

 

Kedua, versi Perbankan Syariah

Berbeda dengan versi perbankan konvensional, maka menurut versi perbankan syariah, agunan tersebut sifatnya ditegaskan sebagai yang dibeli oleh bank.

 

Alhasil, pernyataan ini berdiri secara tegas (manthuq) dan jauh dari unsur hanya mengambil dari sisi kemafhuman. Ini titik bedanya dengan praktik di bank konvensional.

 

Bedanya antara manthuq dan mafhum adalah jika ada penegasan suatu akad yang disampaikan secara praktik dan tertulis (manthuq), maka keputusan hukum adalah didasarkan pada qaul manthuq tersebut.

 

Lantas, bagaimana dengan qaul mafhum? Qaul mafhum hanya digunakan manakala tidak ditemukan adanya penegasan sehingga pihak yang berakad hanya berangkat dari faktor murajjih (penguat indikasi) yang mendasari.

 

Mengapa tidak dibawa ke pemahaman umum bahwa kredit beragun aset merupakan sebuah utang murni (qardl) dan bukan ke jual beli atau gadai saja?

 

Menempatkan adanya pembiayaan sebagai sebuah praktik utang secara murni adalah sebuah pendapat yang tanpa dasar. Mengapa? Sebab mereka yang berpendapat demikian secara prinsip telah mengabaikan keberadaan wisathah (penengah) dalam transaksi.

 

Yang mereka abaikan adalah memandang kedudukan barang yang dalam fiqihnya merupakan aset penjamin utang. Padahal, di dalam syariat dijelaskan, bahwa setiap transaksi utang yang menyertakan adanya agunan adalah termasuk transaksi gadai (rahn).

 

Alhasil, menempatkan kasus kredit beragun aset sebagai akad utang secara murni (qardl) adalah sebuah kekeliruan. Kecuali, bila utang itu tidak dilandasi oleh keberadaan aset penjamin. Maka, dalam konteks ini ceritanya sudah lain.

 

Kesimpulan

Sebagai penutup dari tulisan ini adalah pentingnya penegasan status aset yang dipergunakan sebagai agunan dalam produk pembiayaan kredit beragun aset di perbankan. Penegasan ini meliputi: (1) apakah barang tersebut berkedudukan sebagai barang jaminan gadai, ataukah (2) agunan itu merupakan aset yang sudah dibeli oleh bank. Tegasnya status keduanya dapat berimbas terhadap hukum cicilan yang dibayarkan nasabah sebagai buah dari risiko mengambil skema kredit beragun aset tersebut. Bagaimana imbas hukumnya itu? Simak di kesempatan tulisan mendatang! Insyaallah. Wallahu a’lam bish shawab

 

 

Muhammad Syamudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim