Syariah

Mengenal 3 Jenis Akad Bagi Hasil Pengelolaan Tanah

Sen, 28 Oktober 2019 | 07:45 WIB

Mengenal 3 Jenis Akad Bagi Hasil Pengelolaan Tanah

Pembahasan teknik pengelolaan tanah dalam syariat mencakup tiga akad, yaitu akad ijarah, muzara'ah/mukhabarah, dan akad musaqah.

Tanah merupakan bagian dari anugerah ilahi. Untuk itu perlu disyukuri dan dikelola dengan baik. Jika berupa sawah, ladang, atau tanah tegal, ya harus ditanami. Jangan dibiarkan saja, sehingga kemudian tanahnya bongkor (nganggur), lalu tidak bisa ditanami lagi karena tumbuh semak belukar. Bila tidak bisa menanami sendiri, kita bisa menyuruh orang lain agar menanaminya. Kalau punya modal, kita bisa menyokong modalnya. Tapi, kalau tak punya modal, ya patungan, atau menyuruh orang lain menanaminya, lalu diambil bagi hasil. Intinya, Allah subahanhu wata’ala tidak menyukai anugerah berupa sawah, ladang, atau lahan produktif lainnya disia-siakan begitu saja.

 

Ada banyak akad terkait dengan bagi hasil pengelolaan tanah. Di antara kesekian akad itu diperbolehkan selagi tidak menerjang aturan syara'.

 

Pertama, adalah akad sewa menyewa atau pengupahan (ijarah). Akad ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:

 

1. Menyewakan tanah kepada pihak lain. Jika tanah disewakan, maka hak pemilik tanah adalah menerima harga sewa. Sementara itu penyewa memiliki hak mengelola tanah sampai batas waktu yang ditentukan. Adapun kewajiban penyewa, selain memberikan uang sewa, adalah menjaga fungsi tanah dan tidak menanaminya dengan tanaman menahun atau mendirikan bangunan yang bersifat permanen di atasnya.

 

2. Menyuruh orang mengelola dan merawat tanaman dengan jalan digaji. Dalam hal ini, pihak yang melakukan perawatan dan pengelolaan tanah merupakan orang upahan. Kewajibannya adalah melakukan pekerjaan (amal) sesuai dengan yang diminta oleh tuan tanah.

 

Kedua teknik sewa menyewa ini sudah maklum di masyarakat kita, dan sudah menjadi praktik keumuman.

 

Kedua, adalah akad muzâra'ah dan mukhâbarah. Kedua akad ini sebenarnya hampir mirip. Bedanya terletak pada sumber asal benih. Jika pada mukhâbarah, benih berasal dari pengelola. Sementara itu pada muzâra'ah, benih berasal dari pemilik tanah. Karena bedanya hanya pada sumber benih itu, maka keduanya sering disamakan begitu saja. Muzâra'ah adalah mukhâbarah dan mukhâbarah adalah muzâra'ah.

 

Titik persamaan kedua praktik ada pada teknik bagi hasil. Karena ada sistem bagi hasil ini, maka kedua akad di atas dipandang oleh kalangan Malikiyah sebagai akad syirkah (kemitraan). Bahkan dalam definisi mereka, secara jelas mereka menyebut akad muzâra'ah sebagai:

 

أنها الشركة في الزرع

 

Artinya, "muzara'ah sesungguhnya adalah akad kemitraan dalam tanaman" (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt.: juz 5, hal. 613).

 

Lain halnya dengan kalangan Syafiiyah, mereka mendefinisikannya sebagai:

 

عقد على الزرع ببعض الخارج

 

Artinya: "Muzaraah adalah akad atas suatu tanaman berdasarkan hasil panenan" (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt., juz 5, hal. 613).

 

Sementara itu, kalangan Hanabilah mendefinisikan muzâra'ah sebagai:

 

دفع الأرض إلى من يزرعها أو يعمل عليها، والزرع بينهما

 

Artinya, "Aqad penyerahan bumi kepada orang yang hendak menanaminya atau mengelolanya dengan perjanjian bahwa tanaman itu milik dua pihak yang beraqad."(al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt., juz 5, hal. 613).

 

Kalangan Syafiiyah dan Hanabilah bersepakat pada dua sisi bagi hasil tanaman, namun tidak menyebut akad muzara'ah ini sebagai akad kemitraan. Sementara itu, Malikiyah jelas menyebut bahwa akad yang berlaku antara dua pihak yang saling transaksi sebagai akad kemitraan. Perbedaan definisi ini sudah pasti akan memiliki konsekuensi pada pandangan keabsahan akad secara fiqih dilihat dari sisi madzhab yang berlaku, dan pembahasan mengenai hal ini akan dibahas kemudian.

 

Ketiga, akad musaqah. Kalangan Syafiiyah mendefinisikan akad ini sebagai:

 

أن يعامل غيره على نخل أو شجر عنب فقط، ليتعهده بالسقي والتربية على أن الثمرة لهم

 

Artinya, "Akad saling kerjasama dengan orang lain, yang berlaku untuk perawatan pohon kurma atau anggur saja. Perawatan yang dimaksud meliputi siraman dan al-tarbiyah (pengelolaan tanah) dengan perjanjian bagi hasil atas buah yang berhasil dipanen/dipetik" (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt., juz 5, hal. 646).

 

Hampir sama dengan akad mukhabarah dan muzaraah sebelumnya, akad ini juga memiliki beberapa sisi yang mengundang perbedaan pendapat terhadap sah tidaknya ia dipandang dari sisi syariat. Imam Abu Hanifah dengan tegas menyatakan tidak boleh. Namun ketidakbolehan ini disertai dengan syarat. Sementara itu, kalangan Syafiiyah menyatakan boleh. Bolehnya pun hanya berlaku untuk pohon kurma dan pohon anggur saja. Untuk yang selainnya dinyatakan sebagai tidak boleh.

 

Bagaimana perdebatan itu terjadi di kalangan ahli fiqih, kelak kita akan kupas dalam tulisan tersendiri.

 

Walhasil, karena tanah merupakan anugerah Allah subhanahu wata'ala, merupakan harta manfaat, dan juga sekaligus merupakan aset produktif, adalah tidak layak bila dianggurkan begitu saja. Sudah selayaknya aset produktif ini dikembangkan, dengan jalan dikelola. Pembahasan teknik pengelolaan tanah dalam syariat mencakup tiga akad, yaitu akad ijarah, muzara'ah/mukhabarah, dan akad musaqah. Dari ketiga akad ini, kelak akan berkembang banyak ragam akad lainnya, yang masuk kategori istitsmâr. Wallahu a'lam bi al-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur