Syariah

Tanggung Jawab Marketplace atas Kerugian Akibat Akad Jual Beli Salam

Ahad, 3 Januari 2021 | 15:00 WIB

Tanggung Jawab Marketplace atas Kerugian Akibat Akad Jual Beli Salam

Tanggung jawab marketplace selaku penyedia fasilitas terjadinya transaksi online di lapaknya dapat dipetakan menjadi dua.

Selain memudahkan, transaksi online dewasa ini juga telah menimbulkan banyak masalah. Dan masalah itu sudah pasti, sedikit atau banyak telah menyebabkan kerugian (dlarar) pada sejumlah pihak. Adakalanya terhadap pembeli, dan tidak jarang pula terjadi pada penjual. Sebuah risiko dari melakukan transaksi akad salam.

 

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, di dalam akad salam, tersimpan akad yang sejatinya ada unsur gharar-nya (unsur spekulatifnya). Hanya saja, unsur spekulatifnya ini bisa direduksi dengan menerapkan adanya khiyar (opsi melanjutkan atau membatalkan akad) setelah barang itu diterima oleh pembeli. Dengan khiyar, puncak utama tujuan jual beli, yaitu terbitnya rasa saling ridla di antara penjual dan pembeli bisa dicapai.

 

Namun, bagaimana dengan marketplace? Bukankah marketplace merupakan pihak yang menjadi wadah bagi terjadinya akad salam berbasis online, yang sedikit banyak ada unsur gharar-nya tersebut? Adanya gharar menandakan adanya kerugian. Berapa pun intensitas kerugian itu terjadi. Dan setiap ada kerugian, secara tidak langsung menuntut harusnya melakukan pembayaran ganti rugi (dlaman).

 

Dlarar (kerugian) yang terjadi akibat bisnis yang dilakukan oleh marketplace ini, secara umum sudah pernah penulis petakan dalam tulisan terdahulu berjudul Kedudukan Marketplace dalam Fiqih Jual Beli Online. Anda bisa merujuk ke link yang penulis maksud. Dan satu penekanan yang harus kita sampaikan mengapa kupasan ini penting, tidak lain adalah karena marketplace merupakan pihak yang diuntungkan dari adanya transaksi di situs yang dikelolanya.

 

Alhasil, akumulasi dlarar-dlarar yang terjadi, juga menuntut tanggung jawab ganti ruginya oleh marketplace selaku pihak pengelola. Biasanya, untuk sebuah perusahaan, ganti rugi itu disampaikan lewat penyampaian CSR (corporate social responsibility) (Baca: Fiqih Bencana: CSR sebagai Tanggung Jawab Sosial Perbankan).

 

Nah, fokus kajian kita sekarang adalah mengupas mengenai tanggung jawab sosial (social responsibility) yang harus dilakukan oleh marketplace terkait dengan kerugian yang ditimbulkan akibat akad jual beli yang melewati jasanya (dlaman fi ’aqdi al-bai’).

 

Tanggung Jawab Kerugian Akibat Transaksi lewat Marketplace

Ada dua hal yang menuntut tanggung jawab marketplace sehubungan dengan terjadinya transaksi jual beli melalui situs belanja yang dikelolanya, antara lain:

  1. Berkaitan dengan penyerahan barang (dlaman tasllim al-mabi’), dan
  2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan keselamatan barang yang dipesan (dlaman salamati al-mabi’).

 

Kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain sebab bagaimanapun juga, adanya transaksi jual beli, meniscayakan adanya keterjaminan, antara lain:

  1. Kelancaran dalam melakukan perpindahan hak kepemilikan barang (dlaman al-’ain)
  2. Kelancaran dalam melakukan pekerjaan pengiriman (dlaman al-fi’li), dan
  3. Kelancaran dalam melakukan pembayaran transaksi (dlaman al-dain).

 

Pertama, tanggung jawab berkaitan dengan penyerahan barang (taslim al-mabi').

Salah satu risiko dari akad jual beli adalah adanya penyerahan harga dan barang. Bagaimanapun juga, penyerahan barang hanya bisa terjadi manakala pihak pembeli telah “menerima barang” yang dipesannya.

 

Dalam konteks mazhab Syafi’i, batasan suatu barang disebut telah diserahkan, manakala penerimaan barang itu melibatkan unsur penerimaan dengan “perbuatan menerima(qabdlu bi al-fi’li). Maka dari itu, sebelum barang yang dibeli, sebagai yang dinyatakan diterima oleh pembeli secara riel (bi al-fi’li), maka barang itu masih merupakan tanggung jawab dari penjual dan sekaligus marketplace.

 

Dan apabila terjadi kerusakan pada barang yang dibeli, sebelum terjadinya penerimaan oleh pembeli, maka barang itu masih menjadi tanggung jawab dari pelapak yang ada di marketplace. Alhasil, tanggung jawab marketplace adalah harus bisa menyediakan sarana untuk menuntut tanggung jawab penjual tersebut sehingga tidak terjadi hal yang merugikan pembeli.

 

Tanggung jawab tersebut, sudah pasti harus berkaitan dengan dua hal, yaitu:

  1. Terjadinya sarana yang bisa menjamin bagi berlangsungnya pembatalan akad, dan
  2. Kembalinya uang konsumen marketplace yang sudah ditransfer ke rekening bersama

 

Dalam praktiknya, kedua hal di atas memang bisa dilakukan melalui banyak bentuk, seperti menyediakan fitur pembatalan, fitur penyimpan saldo deposit, sarana mengontak Customer Service, dan sejenisnya.

 

Hal yang sama dengan penyerahan barang di atas, adalah penyerahan harga (taslim al-tsaman). Tanggung jawab marketplace dalam konteks ini adalah menjamin hak seorang pedagang dari menerima harga sesuai dengan yang dipasang pada lapaknya. Untuk itu kemudian ada Rekening Bersama (Rekber).

 

Beberapa risiko ketika mengadakan Rekening Bersama ini adalah:

  1. Adanya harga yang harus disetor terlebih dulu oleh pembeli kepada marketplace ketika terjadi checkout barang, sehingga tidak langsung ke penjual.
  2. Pencairan harga ke penjual, setelah dipastikan bahwa barang sampai ke pembeli dengan selamat tanpa adanya klaim cacat atau kerusakan sehingga harus meretur barang.

 

Kedua, tanggung jawab keselamatan berkaitan dengan barang yang dipesan.

Maksud dari keselamatan barang yang dipesan ini ada banyak sekali bentuknya. Secara fiqih, maksud dari selamat ini adalah salamatu al-mabi’ mina al-’uyub (kondisi barang yang bebas cacat). Karena untuk mendapatkan barang itu harus didahului lewat promo pada lapak, maka secara tidak langsung, beberapa hal yang musti diperhatikan bagi marketplace, adalah:

  1. Bahwa barang yang dijualbelikan itu adalah milik sendiri dari pelapak. Ini khususnya bagi pelapak yang berperan selaku reseller. Apabila pelapak berperan selaku dropshipper, maka mesti ada mekanisme perizinan langsung dari pedagang reseller aslinya. Semua ini membutuhkan adanya sistem yang bisa menghubungkan antara kedua pihak tersebut, sehingga tidak terjadi gharar (spekulatif) yang kedua dari pembeli.
  2. Barang yang diperjualbelikan musti diberikan fasilitas deskripsi barang, kondisi barang, dan bila ada garansi (dlaman al-ain), maka wajib disertakan sarana mengajukan klaim.
  3. Yang terpenting lagi adalah bekaitan dengan harga. Secara fiqih, syarat dari keberadaan barang yang dijualbelikan sah, adalah harganya harus bersifat maklum
  4. Larangan menjualbelikan barang yang bersifat spekulatif. Contoh dari praktik ini adalah jual beli mistery box dan ponsel secara untung-untungan.
  5. Larangan juga berlaku pada menjualbelikan barang yang dilarang dalam syara’, seperti minuman keras, obat-obatan terlarang, atau hasil curian atau hasil tadahan.

 

Kedua poin terakhir ini, sebenarnya masuk dalam wilayah dlaman al-ain (garansi barang), yang kelak perlu kita kupas secara terpisah, disebabkan karena luasnya cakupan bahasan.

 

Alhasil, tanggung jawab marketplace selaku pihak yang berperan sebagai penanggung jawab secara umum terjadinya transaksi online di lapaknya dapat dipetakan menjadi dua, yaitu: dlaman fi taslimi al-mabi’ (jaminan penyerahan barang) dan dlaman fi salamat al-mabi’ (jaminan barang selamat sampai tujuan). Penulis hanya sekilas menyampaikan secara umum. Kajian lebih detail, kiranya memerlukan telaah lebih lanjut. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur