Syariah

Halal-Haram Unsur Spekulasi dalam Jual Beli Sistem COD

Selasa, 22 Desember 2020 | 15:00 WIB

Halal-Haram Unsur Spekulasi dalam Jual Beli Sistem COD

Jual beli dengan sistem COD juga harus menjamin transaksi yang tidak merugikan, baik di pihak penjual maupun pembeli.

Ada banyak masukan yang disampaikan kepada penulis, agar penulis menyampaikan penjelasan mengenai sejumlah transaksi berbasis online dan batasan boleh atau tidaknya.

 

Salah seorang pembaca di antaranya menyampaikan contoh kasus, yaitu praktik jual beli handphone dengan jalan diundi. Memang si pembeli pasti mendapatkan ponsel. Namun, pembeli tidak bisa menentukan jenis ponsel yang diinginkan, sebab harus melewati jalan pengundian terlebih dulu. Jadi, andaikata ia mendapat ponsel yang rusak pun, ia tidak tahu. Harga beli ponsel pun terbilang murah, yaitu 100 ribu rupiah. Nah, aneh, bukan? Terlalu murah untuk ukuran ponsel berkelas pada umumnya. Jadi, ada apa di balik harga itu?

 

Beberapa penanya lain juga menyampaikan kasus yang hampir serupa, yaitu jual beli dengan pola COD (Cash and Delivery). Pihak penjual mengirimkan sejumlah barang ke alamat tertentu pemesan, baru setelah barang itu diterima, pihak pembeli mentransfer harganya ke rekening penjual atau membayar langsung melalui si pengantar barang. Dan masih banyak lagi kasus yang kurang lebih serupa.

 

Dari kedua kasus itu, pihak yang dirugikan untuk kasus pertama adalah sudah pasti pembeli. Adapun pada kasus kedua, bisa berlaku keduanya, yaitu baik penjual maupun pembelinya. Untuk penjual, terkadang kehilangan barangnya. Adapun untuk pembeli, ia tiba-tiba harus membeli barang yang sama sekali tidak dipesannya.

 

Apakah pola akad semacam ini dibolehkan oleh syariat?

Di sini kita akan coba mengupasnya. Untuk sementara kita bisa abaikan kemungkinan adanya kecurangan di balik harga dan pola COD itu. Kita akan fokus pada pola orderan dan praktik gharar lain di dalam akad order (pesan) semacam ini.

 

Pertama, perlu diketahui bahwa akad transaksi online merupakan akad yang menerapkan kaidah transaksi salam (pesan/order).

 

Hukum mengenai akad transaksi salam ini, pada dasarnya adalah dua, yaitu:

  1. Menurut para ulama aktsarin (mayoritas ulama), hukumnya adalah tidak boleh karena ada gharar (spekulasi) di dalamnya. Para ulama ini berpandangan bahwa akad jual beli hanya sah apabila dilakukan secara tatap muka di majelis akad, dan pembeli langsung bisa melihat barangnya.
  2. Menurut jumhur ulama, yang terdiri dari para ulama yang berafiliasi ke hukum administrasi pemerintahan (seperti al-Mawardi), hukumnya adalah boleh karena alasan dlarurah li hajati al-nas (sangat penting dan dibutuhkan masyarakat). Untuk mengeliminasi dampak dari gharar (spekulasi) maka diperlukan strategi untuk mengatasinya, yaitu: (a) karakteristik barang harus jelas, (b) barang tidak mudah berubah, (c) harga harus diserahkan terlebih dulu, dan (d) adanya khiyar (opsi memilih melanjutkan atau membatalkan akad).

 

Nah, pendapat dari kalangan jumhur ulama inilah yang dipedomani oleh kalangan ulama Mazhab dengan catatan adanya upaya mengeliminasi sifat ketidakpastian (gharar) tersebut.

 

Kedua, adanya ulama jumhur yang membolehkan transaksi berbasis akad salam ini bukan berarti sama sekali bisa menghilangkan dampak dari gharar (ketidakpastian) secara total. Apa yang disampaikan oleh mereka tersebut hakikatnya hanya bersifat upaya mereduksi/eliminasi dampak saja.

 

Alhasil, ada sebuah catatan: gharar pada akad salam ini, jangan sampai ditambah dengan gharar lain. Jika di dalam satu gharar saja, ada imbas kerugian (dlarar) terhadap pembelinya, maka jangan ditambah dengan potensi kerugian (dlarar) lainnya yang harus disandang oleh pembeli. Jadi, sampai di sini berlaku ketetapan bahwa yang dilarang dalam syariat adalah irtikabu al-dlararain (adanya multi-dlarar/multikerugian) di dalam satu transaksi.

 

Kita ambil contoh untuk kasus pertama, yaitu undi handphone yang dibeli oleh seorang pembeli. Di dalam kasus ini, gharar yang pertama adalah gharar akibat praktik akad salam. Gharar yang kedua, adalah gharar undian. Alhasil ada 2 gharar dalam satu transaksi. Walhasil, akad semacam ini tidak bisa dishahihkan dengan jalan khiyar. Dengan demikian, melakukannya adalah sebuah tindakan yang dilarang oleh syariat sehingga haram. Unsur spekulasinya mirip kasus jual beli mistery box sebagaimana diulas di tulisan sebelumnya.

 

Adapun di dalam pola transaksi COD (Cash and Delivery), gharar pertama adalah gharar akibat salam. Gharar kedua, pihak penjual tiba-tiba mengirim barang kepada seseorang yang belum dikenalnya dan tidak jelas membeli atau tidaknya. Jika hal itu dipaksakan, yang rugi adalah penjual.

 

Dalam kasus COD yang ditandai oleh pemesanan riil pembeli kepada penjual, namun pihak pembeli tidak mentransfer dana terlebih dulu, dan dana baru ditransfer ketika barang sudah sampai, maka akad sedemikian inilah yang dihindari oleh para ulama jumhur. Jadi, seharusnya, pihak pembeli harus mengirimkan harga terlebih dulu. Tidak mengirimnya pembeli akan sebuah harga, menjadikan akad salam tersebut menjadi rusak (fasad), disebabkan menyelisihi akad salam.

 

Jadi, bagaimana hukumnya jual beli dengan sistem COD itu? Maka jawabnya, adalah secara akad salam, sistem jual beli COD itu tidak memenuhi unsur akad salam sama sekali. Dengan demikian, akad tersebut merupakan yang dilarang karena irtikab al-dlararain.

 

Bukankah utang barang adalah boleh?

Utang barang hukumnya memang dibolehkan oleh syariat. Namun, kebolehan akad utang barang ini juga dibatasi oleh ketentuan dalil tegas nash yang menyatakan larangan jual beli sesuatu yang tidak bisa dijamin untung ruginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang secara langsung akan praktik tersebut.

 

Dengan mempertimbangkan adanya akad kebolehan utang, dan sekaligus larangan jual beli dengan keuntungan yang tidak bisa dijamin ini, maka ditarik sebuah kesimpulan mengenai akad kebolehan utang barang secara online (COD), yaitu:

 

  1. Karena intisari dari akad utang adalah untuk membina kerukunan (al-irfaq), maka utang barang secara online (COD) hanya berlaku atas pihak-pihak yang sudah diketahui dan dikenal baik oleh pembeli. Sifat pengetahuan seperti ini adalah didasarkan pada ‘urf (tradisi), sebab tolong-menolong dan ganti rugi/penjaminan (dlaman) hanya mungkin dilakukan bila kedua pihak saling mengenal. Tanpa adanya unsur saling mengenal, maka secara tidak langung terjadi adanya unsur maisir (gambling).
  2. Melakukan sistem COD secara acak kepada calon pembeli potensial, tanpa dilandasi oleh tujuan utama dari dibolehkannya akad utang, yaitu membina kerukunan (qashdu al-irfaq), adalah tindakan yang rawan akan timbulnya kerugian, sehingga dilarang sebab unsur gharar dan dlarar-nya..

 

Akad salam pada dasarnya mengandung gharar (spekulasi) meski sebagian ulama menoleransinya dengan sejumlah catatan. Jangan ditambah lagi dengan gharar lain di dalamnya!

 

Kesimpulan

Jual beli handphone secara online dengan jalan pengundian merupakan praktik gharar. Bila hal itu dilakukan lewat akad berbasis online, maka secara tidak langsung telah terjadi 2 praktik gharar. Adanya dua praktik gharar sehingga memungkinkan timbulnya multikerugian pada pihak pembeli, hukumnya adalah haram dan dilarang oleh syariat.

 

Jual beli dengan sistem COD, hukumnya diperinci menjadi dua, yaitu boleh bila pihak yang dikirimi barang adalah pihak yang kenal dengan penjual. Pihak yang dikirimi harus diawali dengan memesan barang. Apabila tidak ada pesanan, lalu tiba-tiba pihak penjual mengirimkan barang ke alamat tetentu, tanpa adanya kejelasan mengenai terbeli atau tidaknya barang, adalah sebuah tindakan spekulatif yang dilarang. Kasus pengiriman barang tanpa pesanan ini belakangan marak terjadi. Entah dari mana pihak penjual memperoleh alamat dan data nama “pembeli”. Sebagian penerima kiriman barang terpaksa membeli, sebagian lain yang lebih kritis secara tegas menolak.

 

Jual beli salam merupakan transaksi gharar. Syariat membolehkan sebagai bagian dari rukhshah (keringanan) karena alasan dibutuhkan oleh masyarakat (dlarurah li hajati al-naas). Apabila gharar dalam akad salam ini ditambah dengan adanya praktik gharar (ketidakpastian) lainnya dalam 1 transaksi salam, maka secara otomatis akad ini menjadi yang dilarang oleh syara’ karena alasan irtikabu al-dlararain (berpotensi timbulnya multikerugian). Setiap tindakan yang berpotensi menimbulkan kerugian melazimkan upaya menghindarinya (al-dlararu yuzal). Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim