Islam Beri Ruang bagi Masyarakat untuk Kritik Pemimpinnya
Selasa, 21 Januari 2025 | 17:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Beberapa hari lalu, sebuah video di akun Instagram milik salah satu pemengaruh (influencer) menuai perhatian publik. Dalam video tersebut, ia mengomentari kritik seorang anak terhadap program pemerintah yang menyediakan makanan bergizi gratis di sekolah.
Anak tersebut mengeluhkan bahwa ayam yang disediakan kurang enak. Pemengaruh tersebut, dalam narasinya, seolah menolak kritik tersebut dengan membandingkannya dengan anaknya sendiri, yang menurutnya mampu makan apa saja yang disediakan tanpa mengeluhkan jenis makanannya.
Pandangan ini tampaknya hendak menggeneralisasi bahwa semua anak harus memiliki kesamaan selera. Namun, apakah wajar mengharapkan seluruh anak memiliki selera yang sama terhadap makanan? Tentu saja tidak. Kritik terhadap rasa atau kualitas makanan adalah perkara wajar dan manusiawi. Selera adalah aspek yang sangat personal. Tentu saja kritik terhadap salah satu program pemerintah adalah suatu kewajaran, bahkan keharusan dalam konteks negara demokrasi.
Jika sejak kecil seorang anak dilarang untuk berkomentar atau menyuarakan pendapat oleh figur yang berpengaruh besar, maka di masa depan Indonesia akan dipenuhi oleh individu-individu yang takut berbicara, enggan menyampaikan pendapat, hanya pasif menerima keadaan, dan pada akhirnya, feodalisme akan semakin mengakar dan berkembang pesat di negeri ini.
Achmad Adhi Dharmawan, dkk., mengungkapkan, kebebasan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang diakui secara universal dan menjadi elemen penting dalam negara demokrasi. Di Indonesia, hak ini dijamin oleh konstitusi, dan memberikan kesempatan bagi warga untuk mengemukakan ide, kritik, dan saran tanpa rasa takut (“Kritik Terhadap Presiden Ditinjau dari Perspektif Kebebasan Berpendapat”, Jurnal Hukum, Legalita Vol 5, No 2, Desember 2023: 174).
Sayangnya, pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat masih sering terjadi di Indonesia. Banyak individu yang menghadapi intimidasi, diskriminasi, bahkan tindakan hukum akibat menyuarakan opini mereka, terutama jika kritik tersebut ditujukan kepada figur-figur politik atau pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebebasan berpendapat diakui secara hukum, implementasinya belum sepenuhnya bebas dari kendala (hlm. 175).
Dalam konteks berdemokrasi, kritik memegang peranan penting. Kritik adalah salah satu mekanisme yang menjaga keseimbangan antara pemerintah dan rakyat dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Sebagai pelaksana amanah, pemerintah memiliki kewajiban untuk melayani rakyat dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam proses tersebut, kekhilafan atau kekurangan tentu tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, kritik dari rakyat menjadi instrumen pengingat agar penyelenggara pemerintahan tetap berada di jalur yang telah ditetapkan.
Kritik dalam Pandangan Islam
Islam tidak hanya membolehkan, tetapi juga mendorong adanya kritik yang konstruktif. Hal ini tercermin dalam fungsi agama Islam itu sendiri, bagi para pemeluknya. Apabila kita membaca hadits Nabi, kita mendapati sabda yang berkaitan dengan kritik sebagai nasihat. Rasulullah bersabda:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ. (رواه مسلم)
Artinya, “Dari Tamim ad-Dari, diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: ‘Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya: ‘Kepada siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka’.” (HR. Muslim)
Al-Munawi mengutip penjelasan Imam Nawawi, bahwa semua ajaran Islam berpusat pada hadits di atas. Oleh karena itu, generasi salaf memandang nasihat sebagai wasiat terbesar mereka. Kemudian secara lahiriah, hadits di atas juga menegaskan kewajiban untuk memberikan nasihat, meskipun diketahui bahwa nasihat tersebut mungkin tidak akan diterima oleh pendengar atau pembacanya. Maka, kata Al-Munawi, siapa yang menerima nasihat, ia akan terhindar dari cela dan keburukan, sedangkan mereka yang menolak nasihat tidak memiliki alasan untuk menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri (Faydhul Qadir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356], jilid III, hlm. 555).
Kita dapat melihat dari data sejarah, ketika Rasulullah menjadi seorang pemimpin di tengah kaumnya, di mana persoalan keumatan ada dalam keputusannya, beliau tidak serta merta bersikap otoriter, dan selalu mau mendengarkan masukan, nasihat, bahkan kritik tajam.
Misalnya sebagaimana kisah yang disampaikan oleh Ibnu Hisyam yang dikutip dari Ibnu Ishaq, tentang apa yang terjadi antara Utbah dan Rasulullah. Ibnu Ishaq mendapatkan cerita dari Yazid bin Ziyad, kemudian Yazid mendapatkan cerita dari Muhammad bin Ka‘b Al-Qurazhi.
Pada suatu hari, di sebuah tempat pertemuan para pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi‘ah, salah seorang pemuka yang paling dihormati, duduk bersama kaumnya. Sementara itu, Rasulullah ﷺ duduk seorang diri di masjid, tenang namun penuh wibawa. Dalam suasana itu, Utbah berkata kepada kaumnya dengan nada serius:
“Wahai kaum Quraisy, bagaimana jika aku pergi menemui Muhammad? Aku akan berbicara dengannya, menawarkan beberapa hal yang mungkin dapat ia terima. Jika ia setuju, kita berikan apa pun yang ia inginkan, dan ia akan berhenti mengganggu kita.”
Ucapan ini tidak datang begitu saja. Peristiwa itu terjadi setelah Hamzah bin Abdul Muthalib memeluk Islam, yang memberikan dorongan besar bagi dakwah Rasulullah. Para pembesar Quraisy merasa semakin terdesak karena jumlah pengikut Rasulullah terus bertambah. Maka, mereka menyambut tawaran Utbah dengan antusias.
“Baiklah, wahai Abu Al-Walid. Pergilah dan bicaralah dengannya,” kata mereka.
Dengan penuh percaya diri, Utbah pun berjalan menuju masjid, lalu duduk di hadapan Rasulullah. Ia membuka pembicaraan dengan nada lembut namun penuh maksud:
“Wahai keponakanku, engkau tahu betapa mulianya kedudukanmu di tengah-tengah kami. Hubungan keluargamu dengan kami sangatlah dekat, dan nasabmu begitu terhormat. Namun, engkau telah membawa sesuatu yang sangat besar kepada kaummu. Engkau memecah belah persatuan mereka, mencela cara berpikir mereka, menghina berhala dan agama yang mereka sembah, serta menganggap kafir nenek moyang mereka. Maka dengarkanlah aku. Aku akan menawarkan beberapa hal, barangkali engkau dapat menerima sebagian darinya.”
Rasulullah, dengan kelembutan dan ketenangan, berkata kepadanya, “Katakanlah, wahai Abu Al-Walid. Aku akan mendengarkan.”
Utbah pun melanjutkan dengan penuh semangat, “Wahai keponakanku, jika yang engkau inginkan dari dakwah ini adalah harta, maka kami akan mengumpulkan kekayaan kami untukmu hingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika yang engkau cari adalah kehormatan, kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami, sehingga tidak ada keputusan yang kami ambil tanpa persetujuanmu. Jika yang engkau dambakan adalah kekuasaan, kami akan menjadikanmu raja atas kami. Dan jika apa yang engkau alami ini adalah sebuah penglihatan yang tidak bisa engkau atasi sendiri, kami akan mencari pengobatan terbaik untukmu, dengan biaya dari harta kami, hingga engkau sembuh. Kadang-kadang, seseorang memang bisa dikuasai oleh sesuatu hingga ia memerlukan pengobatan.”
Ucapan Utbah penuh dengan tawaran menggiurkan, namun sesungguhnya ia berharap bisa membujuk Rasulullah untuk menghentikan dakwahnya yang mengguncang tatanan Quraisy. Atmosfer di masjid terasa tegang, namun Rasulullah tetap mendengarkan dengan sabar, tanpa sedikit pun menyela.
Setelah Utbah selesai berbicara, Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah selesai, wahai Abu Al-Walid?”
Utbah menjawab, “Ya.”
Rasulullah berkata, “Dengarkanlah aku.”
Utbah menjawab, “Aku akan mendengarkan.”
Lalu Rasulullah membaca, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ha Mim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui. Sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling sehingga mereka tidak mendengar. Mereka berkata: ‘Hati kami berada dalam penutup dari apa yang engkau serukan kepada kami’.” ( QS Fushshilat: 1-5)
Rasulullah terus membaca ayat-ayat tersebut hingga sampai pada ayat Sajdah, lalu beliau bersujud. Setelah itu, beliau berkata kepada Utbah, “Engkau telah mendengar, wahai Abu Al-Walid, apa yang telah engkau dengar. Maka itu terserah kepadamu.”
Ketika Utbah mendengar bacaan Rasulullah, ia terdiam mendengarkan, meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya sebagai sandaran, dan memperhatikan hingga Rasulullah selesai (Ibnu Hisyam, As-Sirah, [Mesir: Syirkah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi, 1955], jilid I, hlm. 239).
Kisah di atas menunjukkan bahwa Rasulullah adalah sosok pemimpin yang terbuka terhadap dialog, bahkan dengan orang-orang yang jelas-jelas menentangnya. Saat Utbah bin Rabi‘ah sebagai oposisi yang datang mewakili suku Quraisy untuk menyampaikan kritik dan tawaran kompromi, Rasulullah tidak memotong pembicaraannya. Sebaliknya, beliau mendengarkan dengan penuh perhatian hingga Utbah selesai berbicara
Sikap yang sama juga dilakukan oleh Umar ketika menjadi khalifah atau pemimpin negara. Umar senang jika ada yang mengkritik dan meluruskan kesalahannya. Ia mengungkapkan:
رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً أَهْدَى إِلَيَّ عُيُوبِي
Artinya, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kepadaku kekuranganku.” (Al-Mausu’ah al-Kuwaitiyyah, (Mesir: Mathabi’ Darush Shafwah, 1427], jilid XXIX, hlm. 283)
Nasihat dan kritik merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keutuhan dan kebaikan umat. Dalam Islam, memberikan nasihat bukan hanya menjadi tanda kasih sayang, tetapi juga wujud tanggung jawab terhadap sesama.
Seorang pemimpin atau tokoh masyarakat, meskipun memiliki kedudukan tinggi, tetap membutuhkan pengingat dan nasihat dari orang lain agar senantiasa berada di jalan yang benar. Mendapatkan nasihat dan kritik tentu saja sebuah kebaikan, bukan malah diredam. Mengutip sebuah riwayat dari kitab tafsir as-Sam’ani:
وروِي أن رجلا قال لعمر: اتق الله يا عمر، فأنكر عليه بعضهم، فقال عمر: دعه، فما نزال بخير ما قيل لنا هذا
Artinya, “Diriwayatkan bahwa seorang lelaki berkata kepada Umar, ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar.’ Sebagian orang [yang hadir di situ] mengingkarinya, tetapi Umar berkata: ‘Biarkan dia, kita akan selalu berada dalam kebaikan selama hal ini dikatakan kepada kita’.” (Manshur bin Muhammad as-Sam’ani, Tafsirul Qur’an, [Riyadh, Darul Wathan, 1997], jilid IV, hlm. 130)
Pemimpin yang baik harus memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan nasihat, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan para khulafa rasyidin. Pertama, pemerintah perlu mendengarkan suara masyarakat tanpa prasangka, sebab kritik yang jujur sering kali lahir dari kepedulian. Dengan mendengar, pemimpin dapat memahami kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi rakyatnya.
Kedua, penting bagi pemimpin untuk menghargai pendapat orang lain, meskipun pandangan tersebut berbeda atau bahkan bertentangan. Menghormati perbedaan pendapat menciptakan suasana dialog yang sehat dan mendorong tercapainya solusi yang lebih baik.
Ketiga, saat merespons atau mengomentari pendapat orang lain, pemerintah harus melakukannya dengan santun dan tidak intimidatif. Sikap santun dalam menyikapi kritik menunjukkan kematangan sikap sekaligus menjaga kehormatan orang yang memberikan masukan.
Walhasil, dalam negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah adalah hak sekaligus keharusan untuk memastikan pemerintahan yang transparan dan adil. Pemerintah harus mengayomi semua ragam pandangan masyarakat dan menerima kritik sebagai masukan konstruktif, bukan ancaman.
Begitu pun dalam pandangan Islam, kritik masyarakat terhadap program pemerintah sebagai bentuk nasihat diperbolehkan, bahkan dianjurkan, selama dalam koridor yang wajar. Rasulullah dan para sahabatnya telah mencontohkan bagaimana sikap menerima kritik itu diperlukan untuk perbaikan. Wallahu a’lam
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua