Hikmah

Kisah Nabi Musa dan Pendosa yang Mulia di Mata Allah

Jum, 5 Oktober 2018 | 10:45 WIB

Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan jenazah seorang laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat. Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara terus-menerus. Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan.
 
Atas kejadian ini, Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa. 
 
“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan. Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya. Padahal yang mati itu adalah satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan, kafani, shalatkan, dan kebumikan orang itu.”
 
Usai mendapatkan perintah demikian, Nabi Musa menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya tentang siapa sebenarnya orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar. 
 
“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia adalah orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat dengan terus terang,” jelas warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud.
 
“Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,” pinta Musa. 
 
Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun akhirnya sampai di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada janazah terbuang di atas kotoran hewan serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat seolah-olah si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat. Nabi Musa kemudian bermunajat kepada Allah. 
 
“Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku menshalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini adalah orang buruk. Engkaulah yang paling tahu apakah janazah ini patut dipuji atau dicela.”
 
Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Ya Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar tentang perilaku buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta pertolongan kepadaku  dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang yang berlumur dosa memimntanya kepadaku, pasti aku akan mengabulkannya. Bagaimana mungkin aku tidak mengasihi dia, sedang ia sudah meminta belas kasihan kepadaku, padahal Aku adalah Dzat yang Mahakasih dari semua yang bisa berbelas kasih.” 
 
Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa tiga hal tersebut, ya Allah?.”
 
Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu tentang kepribadianku. Aku adalah pelaku aneka macam maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, yaitu dorongan hawa nafsuku yang membara. Aku tidak kuat mengendalikannya, sehingga aku terjerumus melakukan maksiat. Selain itu, teman-teman, komunitas, serta lingkunganku yang buruk, pengaruh godaan iblis, semuanya menjadikan aku jatuh ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui tentang diriku ini atas apa yang telah aku adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.” 
 
Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pelaku aneka macam kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, meski begitu, dalam hatiku, aku lebih suka berteman dengan orang-orang shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi (zuhud). Sejatinya aku suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih aku cintai daripada hidup bersama para pelaku dosa.”
 
Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan. Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih aku cintai daripada orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang satu buruk di depan mataku, pasti aku akan mendahulukan kebutuhan orang shalih daripada orang jelek.” 
 
Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan, lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jika Engkau mengampuni semua dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati. Jika Engkau menyiksaku sebab aneka macam dosa yang aku perbuat, setan dan teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan menjadi sedih. Padahal aku yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu atas apa yang aku sampaikan. Berikan aku belaskasihan-Mu.” 
 
“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah, orang ini telah mengakui dosanya, aku ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapa pun yang menyalati janazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh al-Ushfûriyyah, halaman 3)
 
Pada cerita di atas, dapat kita ambil pelajaran, pertama, kita tidak boleh memvonis siapa pun sebagai ahli neraka. Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja. 
 
Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan Islam, walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat sebagaimana janazah orang Muslim pada umumnya.
 
Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa lebih baik daripada mereka. Siapa tahu, orang yang buruk itu karena mereka pandai mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada kita. 
 
Keempat, sikap kita, saat bertemu dengan orang yang nyata melakukan kemungkaran adalah bukan dengan cara mencaci makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah supaya diberikan hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa tersebut menjadi pintu Allah mengampuni kita sebab kita mengasihi sesama  saudara kita. 
 
Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik, berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. (Ahmad Mundzir)