Hikmah

Teladan Rasulullah soal Menghargai Kesetaraan Hak Orang Lain

Sel, 29 Oktober 2019 | 09:00 WIB

Teladan Rasulullah soal Menghargai Kesetaraan Hak Orang Lain

Rasulullah lebih memihak pada nilai-nilai (kebenaran) ketimbang memihak pada orang atau kelompok.

Ketika kita bicara mengenai ‘harmoni' maka seolah terkesan di dalamnya upaya untuk menata dan mengatur not-not balok, menyusunnya sedemikian rupa dan akhirnya mengalun menghasilkan lagu. Jika diksi ini kita tambahkan diksi lainnya, yakni ‘kehidupan’, maka kehidupan yang harmoni seolah diumpamakan sebagai sebuah lagu. Lagu yang sebelumnya terdiri atas nada-nada tak beraturan, diubah menjadi susunan not-not dengan tinggi rendah nadanya yang teratur. Inilah harmoni.

 

Dalam konteks masyarakat majemuk, ikhtiar untuk menciptakan harmoni juga amat diperlukan. Bagaimana Islam memandang usaha ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

 

KH Maimoen Zubair dalam sebuah pengantarbuku Fiqih Kebangsaan yang disusun oleh Himpunan Alumni Santri Lirboyo (HIMASAL) menyampaikan bahwa Islam pertama kali hadir di kota Makkah yang beriklim tandus dan kering, lalu hijrah ke kota Madinah al-Munawwarah. Di kota Madinah ini, iklim dakwah Islam tidak berlangsung keras dan fanatik, serta tidak memihak satu golongan tertentu, melainkan memihak kepada kebenaran, dari siapa pun kebenaran itu datang. Setidaknya dari keterangan beliau ini dapat kita catat bahwa telah terjadi pergeseran pola dakwah dalam Islam saat itu, dan jejak sejarah rekaman dakwah itu dapat kita temui dalam Surat Makkiyah dan Madaniyah dari Al-Qur’an.

 

Pergeseran cara dakwah yang diteladankan oleh Rasulullah ini senantiasa terus berkembang dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di Nusantara sendiri, para anggota Wali Songo melakukan dakwah dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan media wayang seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo. Ada pula yang menggunakan media gending, seperti yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan Ampel.

 

Karena pandai dalam mengolah media dakwah inilah, selanjutnya Islam sedemikian pesat berkembang di Nusantara bahkan mampu membalik keadaan dari semula minoritas menjadi mayoritas hingga dewasa ini. Nyaris tidak ditemui adanya ketegangan yang melahirkan konflik horizontal antarumat beragama di dalamnya, melainkan konflik yang dipicu oleh perebutan kekuasaan politik. Ini adalah teladan dakwah yang masih bisa kita temui bukti dan jejak sejarahnya hingga sekarang di Nusantara.

 

Apakah menjaga harmoni ini bertentangan dengan syariat?

 

Dalam konteks kehidupan masyarakat yang damai dan terjalin relasi timbal-balik yang tidak saling merugikan antarsesama umat beragama, ada banyak ayat yang mengisyaratkan pentingnya harmonisasi itu. Misalnya Al-Qur’an Surat al-Maidah [5] ayat 8. Di dalam ayat ini Allah berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS al-Maidah [5] ayat 8).

 

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar orang Islam senantiasa berlaku adil dalam segala hal, tanpa memandang golongan, kerabat atau agama yang dipeluknya. Keadilan merupakan yang harus dikedepankan untuk menjaga kehormatan manusia. Perintah mengedepankan keadilan ini bahkan diiringi agar berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Ihsan di sini bukanlah semata tindakan baik namun kering dari adab dan etika sosial. Justru ihsan merupakan tindakan yang lebih dari sekedar melakukan kebaikan berupa pemberian materi, melainkan juga disertai dengan adab, toleransi, tepo seliro, dan sejenisnya. Tidak bersikap berlebih-lebihan sehingga memaksakan kehendak adalah bagian dari ihsan. Allah menyampaikan perintah berbuat adil dan ihsan ini dalam Surat al-Nahl [16] ayat 90.

 

اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

 

Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS al-Nahl [16] ayat 90).

 

Bahkan di dalam Surat al-Mumtahinah [60] ayat 8, Allah dengan tegas mengisyaratkan penjagaan harmoni kehidupan itu sebagai berikut:

 

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

 

Artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahinah [60]: 8)

 

Syekh Abdul Aziz al-’Awadly memberikan penjelasan terhadap ayat ini sebagai berikut:

 

وجه دلالة الآيات: أن الله تعالى أوجب العدل في كل شيء ومع كل أحد وبين كل خصمين وأنه تعالى لم ينه المسلمين عن العدل مع غير المسلمين بل أمرهم ببرهم أي الإحسان إليهم والقسط معهم أي العدل

 

Artinya, “Arah dari ayat ini adalah hendak menjelaskan bahwasanya Allah Ta’ala telah mewajibkan agar berlaku adil dalam segala hal dan kepada semua orang, bahkan kendati terjadi permusuhan antara kedua pihak. Dan Allah Ta’ala tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat adil terhadap non muslim, bahkan justru malah diperintahkan agar berbuat baik kepada mereka (al-ihsan) serta berlaku adil kepada mereka” (Abdul Aziz al-Iwadly, al-Qawa’id al-Kubra li al-Ta’ayusy al-Silmy min Khilِal al-Qawa’id al-Kulliyyah, disampaikan dalam al-Mu’tamar al-Shahafy li Nadwati Tathawwuri al-Ulum al-Fiqhiyah al-Tsaniyata ‘Asyara, oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Mesir, pada tanggal 13 Maret 2013 M).

 

Perintah untuk menjaga harmoni kehidupan dalam bingkai kebersamaan ini juga disinggung dalam QS Al-Syura [42] ayat 40. Di dalam ayat ini, Allah menegaskan benci kepada pihak yang berbuat zalim (aniaya). Dalam QS Al-Maidah [5] ayat 13, Allah memerintahkan agar berlaku toleran atas kesalahan yang tidak seberapa. Ini juga merupakan teladan dari menjaga harmoni.

 

Rasulullah sebagai rasul pembawa risalah, juga banyak memberi contoh keteladanan dalam menjaga harmoni kehidupan. Misalnya, sebagaimana tergambar dalam hadits berikut:

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عمر رضي الله عنهما، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَد مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.

 

Artinya, “Dari sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi , beliau bersabda: Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (taat kepada kesepakatan bersama meskipun non-Muslim), maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga bisa tercium sedari perjalanan 40 tahun” (HR Bukhari).

 

Dalam riwayat yang lain, dari jalur sanad Shafwan ibn Salim disebutkan, bahwa Rasulullah memberi peringatan yang keras kepada kaum muslimin yang berlaku aniaya terhadap kafir mu’ahad. Rasulullah bersabda:

 

ألا من ظلم معاهدا ، أو انتقصه، أو كلفه فوق طاقته، أو أخذ منه شيئا بغير طيب نفس ، فأنا حجيجه يوم القيامة . رواه أبو داود

 

Artinya, “Ingatlah! Barangsiapa berlaku aniaya terhadap seorang mu’ahad, menekannya, atau membebaninya dengan beban yang tidak mampu ia tanggung, atau merampas hak mereka, maka aku adalah orang yang akan memintakan pertanggungjawabannya (mu’ahad) kelak di hari kiamat” (HR. Abu Dawud).

 

Sebenarnya masih banyak teladan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam menjaga keharmonisan itu. Teladan yang paling masyhur adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah . Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ari mendapati ada seorang Yahudi sedang berada di sisi Rasulullah . Tiba-tiba si Yahudi ini bersin. Mendapati hal itu, spontan Rasulullah berdoa:

 

يهديكم الله ويصلح بالكم

 

Artinya: “Semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan membagusi masa depanmu!” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

 

Di kesempatan lain, Al-Thufail ibn Amru al-Dausy mendatangi Rasulullah lalu berkata:

 

إن دوسا هلكت أي عصت وأبت فادع الله عليهم

 

“Sesungguhnya masyarakat Daus telah berbuat kerusakan (durhaka dan menentang dakwah). Maka doakanlah tuan agar mereka ditimpa azab dari Allah !”

 

Apa jawab Nabi? Rasulullah justru berdoa:

 

اللهم اهد دوسا وأت بهم

 

“Ya Allah! Berilah hidayah masyarakat Daus dan kirimlah seseorang yang bisa membimbing mereka!” (HR. Bukhari)

 

Semua doa yang diteladankan oleh Nabi ternyata bukan turunnya azab, laknat dan sejenisnya, melainkan justru agar diberikan hidayah (petunjuk) kepada mereka. Inilah teladan Nabi dalam menjaga keharmonisan dalam kancah hubungan bermasyarakat. Bayangkan seandainya doa Nabi itu berupa azab atau doa keras lainnya! Bisa jadi umat beliau Rasulullah tidak akan mencapai mayoritas penghuni muka bumi ini.

 

Walhasil, jika orientasi utama dari beberapa hujjah dalil di atas kita tarik dalam konsep keislaman dan keindonesiaan, maka alangkah indahnya bila hujjah-hujjah semacam yang dikedepankan. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara damai dan bukan menghadapi situasi perang.

 

Dalam kondisi damai, semua warga negara adalah berlaku sama. Hukum merupakan ujung tombak bagi berlakunya keadilan. Inilah wajah Islam Indonesia, yaitu sebuah wajah yang ramah karena senantiasa mengedepankan maqashid syariah berupa penjagaan terhadap hak-hak individu/jiwa serta kehormatannya, dalam mewujudkan wajah Islam yang ramah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - PW LBMNU Jawa Timur

 

-----------

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dan Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo