Ilmu Al-Qur'an

Abu Amr al-Bashri, Imam Qiraat dengan Guru Terbanyak

Rab, 30 Januari 2019 | 15:15 WIB

Basrah merupakan kota terbesar kedua di Irak. Pada zaman dahulu, selain sebagai pusat ilmu, Basrah merupakan pusat perkantoran dan politik pemerintahan Islam. Secara geografis, Basrah terletak di selatan Irak. Ia dikenal dan dikenang oleh sejarah karena banyak melahirkan intelektual dan ilmuwan, salah satunya adalah Abu al-Aswad al-Du’ali, Muhammad bin Sirin, al-Mubarrad, Khalil bin Ahmad, Sibawaih, Hammad bin Salamah, Al-Mawardi, al-Farazdaq, Abu Musa al-Asy’ari dan Hasan al-Bashri.

Dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan qira’at, Basrah melahirkan seorang ilmuwan yang zuhud, yaitu Imam Abu Amr al-Bashri. Ia merupakan salah satu imam qira’at sab’ah yang lahir di Makkah tahun 70 H. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau lahir pada tahun 68 H.

Namanya Zabban bin al-Ala’ bin Ammar bin al-Uryan bin Abdullah bin al-Husain bin al-Harits bin Jalhamah. Ia dikenal dengan sebutan al-Imam as-Sayyid Abu Amr al-Tamimi al-Mazini al-Bashri. Nasabnya bersambung kepada Adnan, buyut Nabi Muhammad ﷺ.

Perjalanan Intelektualnya 

Sejak kecil hingga remaja, beliau hidup di Makkah,. Di sana beliau belajar kepada banyak guru. Selain belajar di Makkah, beliau juga belajar kepada masyayikh di Madinah. 

Setelah beranjak remaja, saat ada kejadian para hujjaj di Makkah, beliau melakukan perjalanan (migrasi) ke Basrah, kemudian menetap di sana hingga menjadi imam dan panutan masyarakat Basrah.

Imam al-Bashri merupakan imam qira’at yang memiliki paling banyak guru. Tidak ada satu pun imam qira’at sab’ah yang lebih banyak gurunya dibandingkan Abu Amr.

Selain belajar di Makkah dan Madinah, ia juga belajar kepada banyak guru Kufah dan Basrah. Selama dalam perjalanan intelektualnya, ia tercatat pernah mendengar langsung (hadis) dari sahabat Anas bin Malik dan para sahabat yang lain. Oleh karena itu, maka wajar beliau dianggap sebagai imam qira’at yang banyak memiliki guru. Ada empat negara yang menjadi tempat persinggahan beliau dalam perjalanan intelektualnya, yaitu Makkah, Madinah, Kufah dan Basrah. 

Dalam bidang hadis, para kritikus hadis memberi predikat kepadanya sebagai tsiqah (terpercaya) dan shaduq (sangat jujur).

Guru dan Silsilah Sanadnya

Dalam ilmu Al-Qur’an dan qira’at, transmisi periwayatan merupakan salah satu unsur yang paling penting. Tanpa transmisi periwayatan yang jelas dan mutawatir, maka periwayatan tersebut dianggap syadz. Oleh karena itu, dalam transmisi periwayatan Imam al-Bashri memiliki kemutawatiran yang sangat jelas dan dapat dipertangung-jawabkan. Berikut adalah transmisi periwayatan Imam al-Bashri.

Dalam bidang Al-Qur’an dan qira’at beliau belajar kepada: (1) al-Hasan bin Abi al-hasan al-Bashri, (2) Abi Ja’far, (3) Humaid bin Qays al-A’raj al-Makki, (4) Abi al-Aliyah, (5) Yazid bin Ruman, (6) Syaibah bin Nashshah, (7) Ashim bin Abi al-Najud, (8) Abdullah bin Katsir, (8) Abdullah bin Ishaq al-Hadrami, (9) Atha’ bin Abi Rabah, (10) Ikrimah bin Khalid al-Makhzumi, (11) Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, (12) Mujahid bin Jabar, (13) Muhammad bin Muhaishin, (14) Nashr bin Ashim, (15) Yahya bin Yakmur, (16) Said bin Jubair.

Berikut adalah silsilah sanad Imam al-Bashri bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ,.

1. Al-Hasan bin Abi al-Hasan belajar kepada dua orang guru: (1) Haththan bin Abdullah bin al-Raqasyi, beliau belajar kepada Abu Musa al-’Asy’ari, beliau belajar kepada Nabi Muhammad ﷺ. (2) Abi al-Aliyah al-Riyahiy belajar kapada Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Abbas. Mereka berempat belajar kepada Nabi Muhammad ﷺ,.

2. Humaid belajar kepada Mujahid bin Jabar, beliau belajar kepada Abdullah bin al-Saib dan Sayyidina Abdullah bin Abbas. Abdullah bin al-Saib belajar kepada Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab, kedua-duanya belajar kepada Nabi Muhammad ﷺ. Sedangkan Abdullah bin Abbas belajar kepada Ubay dan Zaid bin Tsabit, dan kedua-duanya belajar kepada Nabi Muhammad ﷺ.

3. Yazid dan Syaibah bin Nashshah, kedua-duanya belajar kepada Abdullah bin Ayyasy dan beliau belajar kapada Ubay bin Ka’ab, dari Nabi Muhammad ﷺ.

4. Ibnu Katsir belajar kepada tiga guru, yaitu sebagai berikut: (1) Abdullah bin al-Saib belajar kepada sahabat Ubay bin Ka’ab dan Sayyidina Umar bin Khattab, keduanya menerima bacaan dari Nabi Muhammad ﷺ, (2) Mujahid bin Jabar belajar kepada Abdullah bin al-Saib dan Sayyidina Abdullah bin Abbas. (3) Darbas belajar kepada sayyidina Abdullah bin Abbas. Abdullah bin Abbas belajar kepada Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Keduanya belajar langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ.

5. Ashim bin Abi al-Najud belajar kepada tiga guru, yaitu (1) Abu Abdurrahman al-Sullami. (2) Zir bin Hubaisy dan, (3) Sa’ad bin Ilyas al-Syaibani. Abu Abdurrahman al-Sullami belajar kepada Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit, mereka menerima dari Nabi Muhammad ﷺ. Sedangkan Zir dan Sa’ad bin Ilyas belajar kepada Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Muhammad ﷺ.

6. Abdullah bin Ishaq membaca kepada dua orang, yaitu: Yahya bin Yakmur dan Nashr bin Ashim dan kedu-duanya membaca kepada Abu al-Aswad al-Duali, beliau dari Utsman bin Affan, dari Nabi Muhammad ﷺ.

7. Atha’ membaca Al-Qur’an kepada Abu Hurairah, beliau membaca kepada Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit, kedua-duanya dari Nabi Muhammad ﷺ.

8. Ikrimah bin Khalid belajar kepada murid-muridnya Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas membaca kepada Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Keduanya belajar langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ.

9. Ikrimah pembantu Ibnu Abbas membaca kepada Ibnu Abbas, sanadnya telah disebutkan di atas.

10. Ibnu Muhaisin belajar kapada Darbas dan Mujahid, sanadnya telah disebutkan di atas.

Komentar Ulama

Abu Amr, dengan kemulyaan (ilmu) yang dimilikinya, tidak ada yang meragukan kedudukan dan kealimannya. Beliau adalah orang yang mahir dalam bidang bahasa arab dan segala hal yang berkaitan dengannya.

Imam Farazdaq dan kalangan penyair yang lain memujinya dengan menyatakan: “Dia adalah orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an dan gramatikal bahasa Arab, sejarah Arab dan syair-syairnya. Ia merupakan orang yang jujur, tsiqah, amanah, Zahid dan agamis.

Imam al-Ashmu’I bercerita bahwa imam Abu Amr berkata kepadanya: “Andai saja saya tidak belajar dan membaca sebagaimana dia (guru qira’atnya) membaca, niscara saya akan membaca begini dan begini dari beberapa huruf (qira’at)”. Artinya, andai saja tidak belajar kepada seorang guru dalam membaca Al-Qur’an dan qira’at, niscaya beliau mampu membaca Al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya.

Imam al-Ashmu’I juga bercerita bahwa Abu Amr berkata: “Saya tidak menemui seorang sebelumku yang lebih mengerti daripada saya (tentang bahasa Arab)”.

Imam al-Asmu’I menimpali: “saya pun tidak menemukan seorang setelahnya yang lebih alim darinya”.

Yunus bin Habib al-Nahwi berkata: “Andai saja ada orang yang pantas untuk diambil ucapannya dalam hal apapun, niscaya ucapan Abu Amr yang paling pantas untuk diambil (ucapannya)”.

Ibnu Katsir berkata dalam karyanya “al-Bidayah wa al-Hinayah”: “Abu Amr adalah orang yang paling alim di zamannya dalam bidang qira’at, Nahwu dan fiqh, dan dia termasuk ulama yang mengamalkan ilmunya (ulama’ al-amilin). Jika sudah masuk bulan ramadhan, beliau tidak menggubah atau menulis sebuah syair hingga ramadhan selesai, karena beliau hanya sibuk membaca Al-Qur’an”.

Abu Ubaidah berkata: “buku-buku Abu Amr sangat banyak dirumahnya hingga menumpuk sampai loteng rumahnya, namun seluruh buku-buku tersebut dibakar hanya karena ingin fokus beribadah dan menjalani riyadhah menghatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari sekali.

Imam al-Akhfasy berkata: “imam Hasan al-Bashri melewati halaqahnya Abu Amr yang penuh sesak dengan manusia, mereka menyimak penuh perhatian apa yang disampaikan oleh Abu Amr. Kemudian ia bertanya: “Siapakah dia?. Mereka menjawab: “Abu Amr al-Bashri”. kemudian Imam Hasan al-Bashri tersentak kaget sambil mengucapkan kalimat tahlil, kemudian berkata: “hampir saja ulama menjadi tuhan”.

Kemudian Hasan berkata: “Setiap kemulyaan yang tidak dihimpun oleh ilmu, maka kepada kehinaan ia kembali”.

Imam Sufyan bin Uyainah berkata: “Saya bermimpi bertemu dengan Nabi, kemudian saya bertanya kepada Beliau: “Ya Rasulallah, benar-banar terjadi perbedaan di tengah-tengah masyarakat dalam hal membaca Al-Qur’an, maka dengan qira’ahnya siapa panjenangan menganjurkan saya membacanya?. Nabi menjawab: “Bacalah qira’at Imam Abu Amr bin al-Ala’”. 

Imam Abu Amr al-Asadi berkata: “Saat saya takziyah atas wafatnya Imam Abu Amr, saya menghampiri putra-putranya untuk mengucapkan bela sungkawa. Saat saya duduk dengan mereka, kemudian Yunus bin Hubaib menyambut kami dengan ungkapan: “saya ucapkan bela sungkawa kepada kalian, dan kepada kami semua, karena merasa kehilangan orang yang tidak ada bandinganya (kealimannya) di akhir zaman ini. Demi Allah, andaikan ilmu dan kezuhudan Imam al-Bashri ini dibagikan kepada seratus orang, niscaya mereka akan menjadi ulama dan zahid semuanya. Demi Allah, andai Nabi melihatnya, Beliau pasti senang”.

Murid-muridnya

Ada banyak santri yang belajar kepadanya, baik dalam bentuk setoran maupun hanya menyimak, yang tidak terhitung jumlahnya. Salah satunya adalah: Abu Zaid bin Aus, Sallam bin Sulaiman al-Thawil, Sahal bin Yusuf, Syuja’ bin Abu Nashr al-Balkhi, Al-Abbas bin al-Fasl, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi, Sibawaih dan Yunus bin Habib, keduanya merupakan maha guru Nahwu.

Secara spesifik Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi, Sibawaih dan Yunus bin Habib, Khalil bin Ahmad belajar Nahwu kepadanya.

Adapun yang belajar ilmu adab (syair dan yang terkait) kepadanya sangat banyak sekali, salah satunya adalah Abu Ubaidah bin Muammar bin al-Mutsanna, al-Ashmu’I dan Muadz bin Muslim al-Nahwi.

Sebagian sejarawan mencatat, bahwa ketika ditanyakan kapan sebaikanya seorang belajar?. beliau menjawab: “Sebaikanya ia belajar selama masih hidup”.

Dalam cincinya tertulis: “Sesungguhnya seorang tujuan terbesarnya adalah dunia, maka ia berpegang teguh pada tali kebohongan”.

Setelah mengabdi dan berkhidmat kepada Al-Qur’an dan qira’atnya, beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H menurut kebanyakan ahli sejarah, umurnya mendekati 90 tahun. 

Perawi Imam Abu Amr al-Bashri

Sebagaimana telah dipaparkan pada edisi sebelumnya, (profil Imam Ibnu Katsir) bahwa dalam transmisi periwayatan qira’at Al-Qur’an ada dua model: (1) perawi tanpa perantara, (2) perawi melalui perantara. 

Dalam riwayat bacaan Imam Abu Amr, kedua perawinya meriwayatkan bacaan Imam Abu Amr al-Bashri melalui jalur perantara. Perawi tersebut adalah, imam Hafs al-Duri, dan imam al-Susi.

1. Imam al-Duri

Nama lengkapnya adalah Hafs bin Umar bin Abdul Aziz bin Shuhban bin Adi bin Shuhban al-Duri al-Azdi al-Baghdadi. Panggilannya adalah Abu Umar. Beliau lebih dikenal dengan sebutan al-Duri, dinisbatkan kepada desa “al-Dur”, sebuah tempat di sebelah timur Baghdad.

Beliau merupakan ulama yang ahli dalam ilmu qira’at (al-Muqri’) dan ahli gramatikal bahasa arab. Meskipun demikian, beliau salah satu hamba Allah yang diberikan kesempurnaan ilmu namun kekurangan soal fisik, yaitu mata yang tidak bisa melihat secara sempurna; buta.

Selain sebagai perawi dari bacaan imam Abu Amr al-Bashri, beliau sekaligus menjadi perawi dari Imam Ali al-Kisa’I; Imam Qira’at ke tujuh.

Lahir pada tahun 150 H di desa “al-Dur” pada masa pemerintahan al-Mansur, khalifah Ummayyah.

Pada masanya, beliau dikenal sebagai imam qurra’ (guru para qari’), sekaligus guru masyarakat umum, khususnya di daerah Iraq. Dengan kealimannya, ia mendapatkan predikat dari para ulama sebagai orang yang tsiqah, tsabat dan dhabit. Beliau merupakan orang yang pertama menyusun qira’at dan mendokumentasikannya.

Imam al-Duri ini merupakan salah satu imam yang memiliki kesungguhan dan ketelatenan soal ilmu. Terbukti, ia banyak belajar kepada guru pada masanya, salah satunya adalah: Imam Nafi’, Ismail bin Jakfar, Ya’kub bin Jakfar, Sulaim dari Imam Hamzah, Muhmmad bin Sa’dan dari Imam Hamzah dan Imam Ali al-Kisa’I. Maka tak heran, bila imam al-Ahwazi berkomentar: “ beliau pergi jauh untuk meraih ilmu qira’at, dan mempelajari semua bacaan, baik yang mutawatir, shahih, maupun yang syadz. Dengan demikian, banyak santri yang ingin belajar kepadanya dari berbagai penjuru karena keluhuran sanadnya dan keluasan ilmunya”.

Di antara santri-santrinya adalah: Ahmad bin Harb syaikh al-Mutthawwa’I, Abu Ja’far Ahmad bin Farah, Ahmad bin Yazid al-Hulwani dan Muhammad bin Hamdun al-Qathi’I. 

Dalam meriwayatkan qira’at Abu Amr, beliau meriwayatkan melalui Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi dari Abu Amr al-Bashri. Artinya, antara perawi dan imam qira’at hanya melalui satu jalur.

Dalam bidang hadis, hadis-hadis imam al-Duri dapat ditemuakan dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Imam Abu Hatim men-takdil-nya dengan sebutan “Shoduq”, sangat jujur.

Karya-karya Imam al-Duri

Selain piawai dalam bacaan Al-Qur’an dan qira’atnya dalam bentuk oral, beliau juga piawai dalam bentuk tulisan, yang kemudian menjadi sebuah karya yang abadi dan terus dipelajari oleh generasi setelahnya. Diantara karya-karyanya adalah: “ma ittafaqat al-fadzuhu wa ma’anihi min Al-Qur’an, Ahkam Al-Qur’an wa al-Sunan, Fadlail Al-Qur’an, dan Ajza’I Al-Qur’an”.

Imam Abu Daud berkata: “saya melihat Imam Ahmad bin Hambal menulis tentang Al-Duri, ia merupakan imam yang panjang umurnya (lama) dalam belajar dan mengajarkan Al-Qur’an, banyak orang yang mengambil manfaat atas keluasan ilmunya dari seluruh penjuru, sehingga ia wafat pada bulan syawal tahun 246 H pada masa pemerintahan al-Mutawakkil”.

2. Imam al-Susi

Nama lengkapnya adalah shaleh bin Ziyad bin Abdullah bin Ismail bin Ibrahim bin al-Jarud al-Susi. Kata “al-Susi” dinisbatkan pada sebuah kota di Ahwaz. Beliau merupakan imam muqri’ yang memiliki kekuatan hafalan yang sempurna (dhabit), penyampaian yang tajam (muharrir), dan terpercaya (tsiqah).

Beliau dilahirkan pada tahun 170 H.

Dalam meriwayatkan qira’at Imam Abu Amr, beliau meriwayatkan malalui jalur Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi, satu perguruan dengan Imam al-Duri. Namun Imam al-Susi termasuk santri senior.

Meskipun satu perguruan, antara Imam al-Susi dan Imam al-Duri memiliki banyak perbedaan soal ushul qira’atnya. Imam al-Susi lebih dikenal dengan bacaan “idgham kabirnya”, yang hampir tidak ada dalam riwayat Imam al-Duri, dari jalur Syatibiyah. 

Dalam bidang qira’at yang belajar kepada Imam al-Susi adalah anaknya sendiri, Muhammad, Muhammad bin Jarir al-Nahwi, Abu al-harits Muhammad bin Ahmad al-Tharsusi, Muhammad bin Syuaib al-Nasa’I, Muhammad bin Ismail al-Quraisy dan Musa bin Jumhur.

Dalam bidang hadis, para kritikus hadis memberi predikat “Shaduq” kepadanya, seperti yang disampaikan oleh Imam Hatim. Ada banyak yang meriwayatkan hadis dari beliau, salah satunya adalah Abu Bakar bin Abu Ashim, Abu Arubah al-Harrani dan al-Hafidz Muhammad bin Said.

Setelah mengabdi dan berkhidmah untuk Al-Qur’an, beliau dipanggil oleh sang pemilik semesta pada tahun 261 H.


Ustadz Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo


Tulisan disadur dari kitab “Tarikh al-Qurra’ al-Asyrah wa ruwwatuhum” karya Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, Kairo: Maktabah al-Qahirah, 2010, hal, 19-22