Ilmu Al-Qur'an

Belajar Al-Qur’an Dahulu, atau Bahasa Arab?

Kam, 19 Januari 2023 | 08:00 WIB

Belajar Al-Qur’an Dahulu, atau Bahasa Arab?

Ilustrasi: Al-Qur’an (Freepik).

Dahulu, setelah berbagai ekspansi yang dilakukan pemerintahan Islam, masyarakat muslim mulai bertemu dengan berbagai kebudayaan lain di luarnya. Hal ini menimbulkan dampak bagi perkembangan keilmuan dalam Islam. Perkembangan tanda baca seperti pembubuhan titik dan harakat pada ortografis Arab, perkembangan ilmu tajwid, dan ilmu nahwu sebagai ilmu tata bahasa Arab merupakan impact dari semakin meluasnya teritorial kekuasaan pemerintahan Islam.


Persoalan bagaimana pendidikan Islam dilaksanakan juga mendapatkan dampak dari penyebaran Islam ke berbagai daerah dan dari interaksi kebudayaan Islam dengan kebudayaan lainnya. Pemikiran para tokoh-tokoh muslim mengenai bagaimana pembelajaran Al-Qur’an dilaksanakan juga berbeda-beda. Sebagian ulama seperti Al-Qadhi Abu Bakar Al-Arabi menyerukan agar supaya pembelajaran Bahasa Arab diberikan terlebih dahulu kepada para pelajar agama Islam sebelum pembelajaran Al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar ketika pembelajaran Al-Qur’an yang menggunakan Bahasa Arab diberikan, para pelajar telah mengerti apa yang diajarkan kepadanya. Memahami Al-Qur’an dalam pandangan Al-Arabi akan lebih mudah jika peserta didik telah memiliki modal kemampuan dan pengetahuan Bahasa Arab.


Ibnu Khaldun memiliki pendapat yang sama dengan Al-Arabi. Meskipun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat. Ibnu Khaldun menyetujui pendapat bahwa pemahaman atas Bahasa Arab akan membantu pemahaman peserta didik terhadap Al-Qur’an. Ibnu Khaldun mengatakan, apabila anak-anak mulai belajar Al-Qur’an, mereka berarti telah membaca sesuatu yang tidak dimengerti artinya. Mendahulukan pembelajaran Bahasa Arab sebelum pembelajaran Al-Qur’an sebagai suatu metode bagi Ibnu Khaldun dapat diterima.


Akan tetapi, bagi Ibnu Khaldun, dalam praktiknya metode tersebut tidak dapat serta-merta dilaksanakan. Ini mempertimbangkan beberapa hal. 


Pertama, tradisi yang telah berjalan di hampir semua dunia Islam, maka metode tersebut tidak dapat diterapkan. Sudah menjadi tradisi di kebanyakan dunia Islam, sejak awal para anak-anak kaum muslim sudah diajarkan cara membaca Al-Qur’an serta dibiasakan membacanya. Hal ini berkaitan dengan keyakinan umat Islam atas keberkahan membaca Al-Qur’an meskipun tidak mengerti artinya. Membaca Al-Qur’an sebagaimana diyakini secara umum tetap berpahala dan mengandung keberkahan meskipun tidak mengerti artinya.


Kedua, adanya kekhawatiran jika tidak dibiasakan membaca Al-Qur’an, peserta didik akan tumbuh besar tanpa Al-Qur’an sama sekali. Rentetan dari hal ini akan memungkinkan mereka terlepas dari Al-Qur’an karena telah terkena pengaruh pengetahuan lain yang bisa saja tidak baik bagi tumbuh-kembang pikiran dan jiwa mereka. Hal ini akan lebih buruk keadaannya.


Mengutip Dr Athiyah Al-Abraysi, filsuf pendidikan dalam bukunya At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah wa Falsafatuha:


“Keinginan untuk mendapat berkah dari Al-Qur’an, kuatnya berpegang padanya, dan kekhawatiran hilangnya kesempatan untuk menghafalnya kalau tidak di waktu kecil, ternyata telah mengalahkan prinsip-prinsip pendidikan menurut teori Ibnu Khaldun, yang mengatakan: ‘Ajarilah anak-anak itu dengan apa yang ia sanggup mengerti, sesuai dengan daya tangkapnya dan memenuhi pula keinginan, pembawaan, dan kebutuhannya’.” (Al-Abrasyi, 1970: 192).


Kita melihat bahwa umat Islam di Indonesia dari dahulu juga menjadikan pembelajaran Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi pemula. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Musyrifah Sunanto, sejak kerajaan Mataram, anak-anak kecil sudah dikenalkan cara membaca Al-Qur’an dan pembiasaan membaca serta menghafal juz ‘amma (dan surah Al-Fatihah tentunya) untuk kepentingan shalat lima waktu. (Sunanto, 2009). 


Martin van Bruinessen juga menjelaskan bahwa dalam budaya Islam di Nusantara, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pada tingkat dasar mengajarkan cara membaca (dan menghafal Al-Qur’an). Kita melihat pembelajaran, pembiasaan, dan hafalan Al-Qur’an layak diberikan sebagai pelajaran awal bagi peserta didik. 


Di luar alasan-alasan di atas, hal ini juga telah memenuhi prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an untuk memulai pendidikan dengan membacakan Al-Qur’an kepada manusia, sebagai permulaan penanaman benih-benih keimanan. Allah berfirman:


هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٢)


Artinya, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah); dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2).

 


Ustadz R Ahmad Nur Kholis, Pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang dan Dosen Filsafat Pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahdlatul Ulama Karangploso Malang