Ilmu Al-Qur'an

Cara Baca Al-Qur’an: Waqaf dan Ibtida'

Kam, 25 Agustus 2022 | 13:15 WIB

Cara Baca Al-Qur’an: Waqaf dan Ibtida'

Cara baca Al-Qur’an: waqaf dan ibtida'.

Pembacaan waqaf (berhenti) dan ibtida’ (memulai kembali) dalam membaca Al-Qur’an memang tidak asing lagi. Dalam Al-Qur’an pun sudah ditentukan simbol-simbol khusus agar memudahkan, seperti simbol huruf ج (baca: jaiz, menandakan boleh berhenti), قلى (baca: al-waqfu aula, menandakan waqaf lebih utama), صلى (baca: al-washlu aula, menandakan washal [lanjut] lebih utama), م (baca: lazim, menandakan wajib berhenti), dan sebagainya.


Namun pada prakteknya, pemahaman waqaf dan ibtida’ tidak semudah yang telah dipelajari hanya bersandar pada simbol-simbol di atas. Di samping pembelajaran Al-Qur’an harus ada bimbingan dari seorang guru, pembaca Al-Qur’an perlu memperhatikan tanda baca (kapan berhenti dan memulai) dari ayat yang dibaca, agar tidak keliru dalam memahami maksud yang disampaikan Al-Qur’an.


Urgensi Memahami Waqaf dan Ibtida' dalam Al-Quran

Kenapa tanda baca itu penting? Sederhananya dalam tata bahasa Indonesia, orang bila membaca atau berbicara tanpa tanda titik atau koma, kemungkinan besar akan memberikan kesan gagal paham bagi si pendengar. Penulis analogikan pada contoh ini: “Kucing makan tikus mati”. 


Pada kalimat itu terdapat empat kata tanpa tanda baca. Tentu akan menimbulkan beragam premis (multi diversity). Jika kita berhenti pada dua kata pertama (kucing makan), lalu kita lanjut dua kata setelahnya (tikus mati), maka memberikan konklusi kucing tetap hidup dan tikus mati. Jika kita berhenti pada tiga kata pertama (kucing makan tikus), maka konklusinya kucing dan tikus sama-sama mati. Jika kita berhenti pada kata pertama (kucing), lalu kita lanjut kata setelahnya (makan tikus mati), maka konklusinya kucing tetap hidup, dan ada subjek yang belum diketahui mati lantaran makan tikus. 


Demikian pula bila orang membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui tanda baca waqaf dan ibtida’, tentu akan memberikan pemaknaan yang berbeda. Dari sini ulama memberikan peringatan kepada para pembaca Al-Qur’an agar senantiasa belajar dan mengetahui kapan berhenti dan kapan memulai bacaannya kembali.

 

Ulama Spesialis Waqaf dan Ibtida

Pembahasan waqaf dan ibtida’ sendiri selama ini memiliki kajian (fan) khusus dalam ‘Ulumul Qur’an. Tokoh-tokoh spesialisnya pun ada dalam bidang ini. Antara lain: Abu Ja’far an-Nuhas, Ibnu al-Anbary, az-Zazzaj, ad-Dany, al-‘Umani, as-Sajawandi, dan lainnya. Tentu, tujuan dirumuskan fan ini tidak lain untuk mengetahui bagaimana orang membaca Al-Qur’an agar tidak merusak maknanya. Al-Anbari mengatakan: 


“Termasuk kesempurnaan mengetahui Al-Qur’an adalah mengetahui waqaf dan ibtida’. Diriwayakan dari Ali bin Abi Thalib ra dalam firman Allah, surat Muzammil ayat 4: “Wa rattilil qur’aana tartiila”.


Ia juga mengatakan, maksud tartil adalah membaca dengan tajwid atau baik, dan mengetahui tempat berhenti atau waqafnya.


4 Macam Waqaf dan Ibtida’ dalam Al-Qur’an

Ulama berselisih pendapat dalam membagi macam waqaf dan ibtida’. Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an mengungkapkan ada delapan macam. Versi lain tiga macam, dua macam, dan yang paling masyhur terbagi menjadi 4 macam. 


Merujuk pendapat yang paling masyhur, 4 macam waqaf dan ibtida’ adalah tam mukhtar, kafi jaiz, hasan mafhum, dan qabih matruk. 


Pertama, tam mukhtar, yaitu suatu ayat yang tidak ada kaitannya dengan ayat setelahnya. Maka dalam hal ini pembaca baiknya membaca waqaf dan ibtida’ pada ayat setelahnya. 


Kebanyakan contoh ini terdapat pada ayat-ayat pada umumnya. Seperti surat al-Baqarah ayat 5:

 

وَأُولَئِٓكَ هُمُ اْلمــُفْلِحُوْنَ

 

Lalu memulainya pada ayat setelahnya:

 

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا


Begitu pula al-Furqan ayat 29:

 

لَقَدْ اَضَلَّنِيْ عَنِ الذِّكْرِ اِذْ جَآءَنِيْ

 

Di sini tam atau sempurna berhenti, sebab lafal tersebut adalah ucapan orang zalim, Ubay bin Khalaf. Lalu ibtida’ pada lafal setelahnya:

 

وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْاِنْسَانِ خَدُوْلًا

 


Kedua, kafi jaiz, yaitu lafal yang terpisah, bisa karena pada akhir ayat, tetapi maknanya masih berkaitan dengan lafal setelahnya. Biasanya terdapat pada akhir ayat yang setelahnya berupa huruf lam kay, seperti surat Yasin ayat 69-70:
 

 اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌۙ ۞ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ اْلقَوْلُ عَلَى اْلكَافِرِيْنَ


Jadi pembaca cukup dan boleh membaca washal pada akhir ayat tersebut.


Hal itu bisa juga berupa اِلَّا yang bermakna “tetapi”, إِنَّ, istifham, بَلْ, أَلَّا, سِينْ, سَوْفَ, نِعْمَ, بِئْسَ, dan كَيْلَا selama tidak didahului qaul dan qasm.


Ketiga, hasan mafhum, yaitu lafal yang baik dipahami untuk dibaca waqaf, namun tidak baik ibtida’ atau memulai pada lafal setelahnya, karena lafal dan makna tersebut saling berkaitan. Seperti: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ,. berhenti pada lafal tersebut dianggap baik, namun bila memulai pada lafal setelahnya, yakni اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ dianggap tidak baik.


Keempat, qabih matruk, yaitu lafal yang bila dibaca waqaf atau ibtida’, akan dianggap buruk atau rancu maknanya. Seperti membaca waqaf pada ayat: لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا (sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata). Lalu ibtida’ pada lafal setelahnya: اِنَّ اللهَ هُوَ اْلمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ (sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam); atau اِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ (sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga). (al-Maidah: 17 & 72]. (Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’anm, [Kairo: Maktabah Wahbah], halaman 172).


Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an menyebutkan pembacaan makna di atas mustahil bagi Allah. Siapa saja yang sengaja membaca demikian dan meyakini maknanya, maka dia telah kafir. Wal ‘iyadzu billah. 


Contoh lagi membaca waqaf pada surat al-Baqarah ayat 258: فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَۗ وَاللهُ (Maka bingunglah orang yang kafir itu, Allah); atau an-Nisa’ ayat 11: فَلَهَا النِّصْفُۚ وَلِأَبَوَيْهِ (Maka dia memperoleh setengah [dari harta yang ditinggalkan], untuk kedua ibu-bapak). Dari dua contoh di atas, membaca demikian dianggap qabih atau buruk sekali lantaran dapat mengubah maksud ayat Al-Qur’an.


Termasuk pembacaan yang buruk (fatal) adalah membaca waqaf pada kalimat nafi yang bukan huruf jawab. Seperti waqaf pada lafal: لَآ اِلٰهَ (tidak ada Tuhan). Lalu ibtida’ pada lafal setelahnya: اِلَّا اللهُ (kecuali Allah). Juga waqaf pada lafal وَمَا اَرْسَلْنَاكَ  (Kami tidak mengutus kamu). Lalu ibtida’ pada lafal: اِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا (kecuali sebagai pemberi kabar bahagia dan peringatan).


Imam as-Suyuthi menjelaskan, jika membaca seperti itu karena terpaksa demi mengambil nafas, maka diperbolehkan. Lalu jika ia mengulang bacaan dari lafal sebelumnya sampai lafal setelahnya, maka hal itu tidak dilarang. (As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, [Beirut, Muassasah al-Risalah: 2008], halaman 179). 


Penutup

Dari uraian di atas, sebenarnya pembahasan waqaf dan ibtida’ dalam Al-Qur'an perlu dipahami secara mendalam. Dalam tulisan ini belum semuanya dibahas secara tuntas. Tapi  setidaknya tulisan ini memberikan isyarat bagi siapa saja yang membaca Al-Qur’an agar senantiasa memperhatikan tanda bacanya. Minimal bila tidak menguasai kandungan Al-Qur’an, ia bisa dipandu oleh seorang guru, atau memperhatikan tanda baca berupa simbol-simbol yang tertera dalam Al-Qur’an. Wallahu a’lam.

 


Ustadz Irfan Fauzi, Pondok Pesantren Al-Munawwir Yogyakarta.