Ilmu Al-Qur'an

Maksud Nabi Melarang Penafsiran Al-Qur’an dengan Akal Bebas

Sen, 26 Desember 2022 | 19:00 WIB

Maksud Nabi Melarang Penafsiran Al-Qur’an dengan Akal Bebas

Nabi Muhammad melarang penafsiran dengan akal bebas tanpa mengindahkan kaidah penafsiran. (Ilustrasi: hamzetwasl).

Dari sekian banyak tafsir yang kita kenal, semuanya memiliki beragam penafsiran al-Qur’an yang menambah khazanah umat islam. Bagaikan sebuah lautan ilmu, para ulama menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan cabang ilmu yang ia tekuni.


Ada yang menafsirkan al-Qur’an dari cabang ilmu gramatika bahasa arab seperti Kitab Anwar at-Tanzil karya Qadhi al-Baidhawi. Ada yang menafsirkan al-Qur’an dari cabang ilmu tauhid seperti kitab tafsir Ta’wilat al-Qur’an karya Abu Manshur al-Maturidi dan masih banyak lagi. 


Dari sekian banyak tafsir yang berkembang hingga saat ini tidaklah terlepas dari kategori tafsir bir ra’yi (penafsiran menggunakan akal).


والمراد بالرأى هنا "الاجتهاد" وعليه فالتفسير بالرأى عبارة عن تفسير القرآن بالاجتهاد بعد معرفة المفسِّر لكلام العرب ومناحيهم فى القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالاتها، واستعانته فى ذلك بالشعر الجاهلة ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفت بالناسخ والمنسوخ من آيات القرآن، وغير ذلك من الأدوات التى يحتاج إليها المفسِّر


Artinya, “Dan yang dimaksud dengan bir ra’yi di sini adalah ijtihad. Definisi tafsir bir-ra’yi adalah bentuk ijtihad menafsirkan al-Qur’an yang dilandasi dengan pengetahuan mufasir terhadap ungkapan orang arab dan kecenderungan ucapan mereka, penguasaan kosakata bahasa arab dan pemakaiannya, pengetahuan atas syi’ir jahili, sebab turunnya ayat, bentuk-bentuk penyalinan dalam ayat al-Qur’an, dan ilmu-ilmu yang lain yang dibutuhkan oleh seorang mufasir,” (Dr. Muhammad Adz-Dzahabi, Kitab at-Tafsir wal Mufassirun [Kairo: Maktabah Wahbah 2005 M] juz I halaman 183).


Bagaimana dengan sebagian golongan radikal yang menolak adanya tafsir bir ra’yi?


Golongan radikal ini termasuk Ibnu Taimiyah menolak tafsir bir ra’yi khususnya pada penafsiran ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya). Contoh :


الرحمن على العرش استوى


Artinya, “Allah, Dzat Maha Penyayang istiwa’ pada ‘Arsy”(Qs.)


Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah menafsiri dengan “Allah menguasai dan memiliki ‘Arsy”. Sedangkan, Ibnu Taimiyah dan golongannya menolak hal tersebut dan menyatakan bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Hal ini karena Ibnu Taimiyah menolak adanya takwil, salah satu bentuk tafsir bir ra’yi serta cenderung tekstual dalam menanggapi ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya).


Berikut dalil golongan kelompok radikal beserta sanggahannya;


Pertama,


عن ابن عباس قال رسول الله من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار


Artinya, “Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka,’” (HR Turmudzi).


Maksud hadits ini bukanlah menolak penafsiran dengan akal secara mutlak. Menurut Abu Bakar Muhammad al-Anbari, ada dua kemungkinan maksud hadits ini.


Pertama, barang siapa yang berpendapat pada permasalahan al-Qur’an dengan pendapat yang tidak dikenal di kalangan ulama generasi awal dari para sahabat dan tabi’in maka ia sedang mengarah kepada murka Allah.


Kedua, barang siapa yang berpendapat pada ayat al-Qur’an dan ia tahu bahwa pendapat yang benar adalah selain pendapatnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di Neraka. Kemungkinan makna kedua ini adalah yang paling tepat.


قال أبو بكر محمد بن القاسم الانباري في كتاب الرد: فسر حديث ابن عباس تفسيرين، احدهما من قال في مشكل القران بما لا يعرف من مذهب الاوائل من الصحابة والتابعين فهو متعرض لسخط الله.والجواب الاخر وهو اثبت القولين واصحهما معنى -: من قال القران قولا يعلم ان الحق غيره فليتبوأ مقعده من النار.


Artinya, “Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbari dalam kitab ar-Radd mengatakan ‘Hadits Ibnu Abbas dapat ditafsirkan dengan dua penafsiran. Pertama, barang siapa yang berpendapat pada permasalahan al-Qur’an dengan (pendapat) yang tidak diketahui oleh ulama generasi awal dari para shahabat dan tabi’in maka ia sedang mengarah kepada kemurkaan Allah. Kedua (pendapat yang paling unggul), barang siapa yang berpendapat pada ayat al-Qur’an dan ia tahu bahwa kebenaran adalah pendapat selain pendapatnya, maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka.’” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, [Beirut, Dar al-Fikr: 2008], juz I, halaman 32).


Kedua,


عن جندب بن عبد الله قال رسول الله من تكلم في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ


Artinya, “Dari Jundub bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan pendapatnya, ia telah melakukan kesalahan meskipun pendapatnya benar,’” (HR.Turmudzi).


Maksud hadits ini bukan menyalahkan penafsiran dengan akal secara mutlak. Menurut Ibnu ‘Athiyah, hadits ini ditunjukkan kepada orang yang terburu-buru dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa mengambil pendapat para ulama tafsir serta tanpa menerapkan kaidah ilmu seperti kaidah ilmu gramatika bahasa arab. Hadits ini tidak ditunjukkan kepada seorang ahli tafsir yang berlandaskan ilmu dan pertimbangan. Karena, para ahli tafsir yang berlandaskan ilmu tidak sekedar menggunakan pendapat pribadi.


وروي ان رسول الله قال من تكلم في القرآن برأيه فاصاب فقد أخطأ ومعنى هذا أن يسأل الرجل عن معنى في كتاب الله فيتسور عليه برأيه دون نظر فيما قال العلماء أو اقتضته قوانين العلوم كالنحو وليس يدخل في هذا الحديث أن يفسر اللغويون لغته والفقهاء معانيه ويقول كل واحد باجتهاده المبني على قوانين علم ونظر فإن هذا القائل على هذه الصفة ليس قائلا بمجرد رأيه


Artinya, “Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan pendapatnya, ia telah melakukan kesalahan meskipun pendapatnya benar”. Dan makna (hadits) ini adalah ketika seseorang ditanyai tentang makna dari ayat al-Qur’an kemudian ia terburu-buru menjawab dengan pendapatnya sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat para ulama ataupun ketetapan kaedah ilmu seperti kaedah ilmu gramatika bahasa arab. Dan tidak termasuk dalam cakupan hadits ini bila seorang ahli bahasa arab menafsirkan al-Qur’an dari sudut pandang tata bahasanya, seorang ahli fikih menafsirkan makna ayat al-Qur’an, dan setiap orang yang berpendapat dengan ijtihadnya yang sesuai dengan kaedah ilmu serta penuh pertimbangan. Hal ini karena mereka tidak sekedar berbicara dengan pendapatnya sendiri” (Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 2002] juz.I hal.41)


Walhasil, meneliti tafsir al-Qur’an bagaikan mengarungi samudera ilmu yang sangat luas. Seseorang yang memiliki ilmu yang cukup dapat menggali mutiara keilmuan al-Qur’an yang belum dibahas oleh para ulama sebelumnya. Karena ada banyak sekali makna al-Qur’an yang tidak dijelaskan secara langsung oleh Rasulullah.


والعجب كل العجب مما يزعم أن علم التفسير مضطر إلى النقل في فهم معاني التراكيب ولم ينظر إلى إختلاف التفاسير وتنوعها ولم يعلم أن ماورد عنه في ذلك كالكبريت الأحمر


Artinya, “Dan sangat aneh orang yang menyangka bahwa ilmu tafsir sebatas merujuk pada dalil naql (nukilan al-Qur’an dan hadits) dalam memahami makna susunan al-Qur’an, ia tidak melihat perbedaan beragam penafsiran, dan ia tidak tahu bahwa penjelasan dari Rasulullah terkait makna susunan al-Qur’an bagaikan emas merah (sangat sedikit),” (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 2005] juz I halaman 7).


Ustadz Muhammad Tholhah Al-Fayadl, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo.