Ilmu Hadits

Bagaimana Nabi Memandang Kemajuan Sains dan Teknologi?

Kam, 7 September 2023 | 16:00 WIB

Bagaimana Nabi Memandang Kemajuan Sains dan Teknologi?

Bagaimana Nabi Memandang Kemajuan Sains dan Teknologi?. (Foto: NU Online/Freepik)

Sudah jamak bahwa kemajuan teknologi tidak dapat disangkal kehadirannya di tengah-tengah kita, sekeras apa pun kita menghalaunya. Pola pikir yang seyogyanya digunakan dalam menyambut kemajuan teknologi adalah dengan penyelarasan kegunaannya demi mencapai kemajuan peradaban Islam. 


Memang Nabi Muhamamad saw tidak menjumpai kemajuan teknologi sebagaimana yang orang-orang muslim jumpai saat ini. Namun, hadits sebagai rekaman tutur kata, tindak dan pernyataan Nabi saw serta pedoman kedua setelah Al-Quran secara maknawi, pernah menyinggung bagaimana beliau memandang suatu kemajuan yang bersifat buatan, tidak dihadirkan langsung oleh alam, atau skema konseptual yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi.


Dikisahkan Nabi melewati kebun, di mana para petani sedang melakukan penyerbukan kurma yang dapat membuat panen mereka sukses. Ketika Nabi melewati kebun tersebut, sontak beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan pada benih-benih kurma itu?”. 


“Kami sedang menyerbukkan mereka, dengan mempertemukan benih jantan dengan betinanya”, ujar para petani itu. 


“Sepertinya itu tidak berefek apa-apa”, ucap Rasulullah. 


Mereka pun tidak jadi untuk melakukan penyerbukkan. Namun, beberapa bulan pasca proses penanaman benih, ternyata hasil kurma yang dipanen menurun drastis dibandingkan apabila penyerbukkan dilakukan. Para petani pun mendatangi Nabi dan menceritakan realita yang terjadi.


Nabi saw pun menjelaskan, “Apabila penyerbukkan itu bermanfaat bagi kalian, maka lakukanlah. Aku hanya berprasangka saja saat itu. Mohon jangan salahkan aku atas prasangka yang aku lontarkan. Akan tetapi, apabila aku menyampaikan pada kalian wahyu dari Allah, maka hendaklah kabar itu kalian ambil, sungguh aku tidak pernah berbohong atas nama Allah”. 


Rekaman percapakan dan peristiwa para petani dengan Nabi tergambar dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim dengan lafaz hadits sebagai berikut:


قَدِمَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ المَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يقولونَ: يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقالَ: ما تَصْنَعُونَ؟ قالوا: كُنَّا نَصْنَعُهُ، قالَ: لَعَلَّكُمْ لو لَمْ تَفْعَلُوا كانَ خَيْرًا، فَتَرَكُوهُ، فَنَفَضَتْ -أَوْ فَنَقَصَتْ- قالَ: فَذَكَرُوا ذلكَ له، فَقالَ: إنَّما أَنَا بَشَرٌ، إذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن دِينِكُمْ، فَخُذُوا به، وإذَا أَمَرْتُكُمْ بشَيءٍ مِن رَأْيِي، فإنَّما أَنَا بَشَرٌ.


Artinya: “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa mereka sebut dengan ‘mengawinkan’, maka beliaupun bertanya: apa yang sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu melakukan hal ini. Beliau berkata: ‘Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik.’ Maka merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan berguguran. Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan agama kalian, maka laksanakanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa.” (Hadis riwayat Imam Muslim)."


Al-Nawawi sebagai salah satu pensyarah kitab Shahih Muslim menjelaskan:


قَالَ الْعُلَمَاءُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ رَأْيِي أَيْ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَمَعَايِشِهَا لَا عَلَى التَّشْرِيعِ فَأَمَّا مَا قَالَهُ بِاجْتِهَادِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَآهُ شَرْعًا يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ وَلَيْسَ إِبَارُ النَّخْلِ مِنْ هَذَا النَّوْعِ


Artinya: “Para ulama mengomentari perkataan beliau “pandanganku”, maksudnya adalah pandangan Nabi yang berkaitan dengan dunia dan penghidupannya, bukan hal yang termasuk pensyariatan. Adapun apa yang disabdakan Nabi dengan ijtihadnya dan pandangannya yang bersifat syara’ maka wajib dilaksanakan, sedang penyerbukkan kurma bukan bagian dari pensyariatan.” (Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Beirut : Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, cetakan kedua, 1392, juz 15, halaman 116).


Masih riwayat Imam Muslim yang substansinya serupa dengan kisah di atas namun dengan redaksi yang lebih pendek dan diriwayatkan dari jalur Anas ra, beliau menceritakan:


أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ مَرَّ بقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ، فَقالَ: لو لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قالَ: فَخَرَجَ شِيصًا، فَمَرَّ بهِمْ فَقالَ: ما لِنَخْلِكُمْ؟ قالوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَا، قالَ: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأَمْرِ دُنْيَاكُمْ


Artinya: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.” Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.’” (Hadis riwayat Imam Muslim).


Sedangkan dalam riwayat Imam Ibn Majah terdapat redaksi perkataan Nabi “Tidaklah aku melainkan manusia biasa juga seperti kalian, prasangkaku kadang salah dan kadang juga benar”. Masih riwayat Imam Ibn Majah pula, terdapat redaksi “Urusan dunia kalian terserah kalian, adapun urusan agama, maka kiblatnya kepadaku”.


Riwayat kisah yang diambil dari hadits di atas tampaknya memiliki poros utama terkait perkataan Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Soal dunia, kalian lebih mengetahuinya dibanding aku”. Ucapan tersebut memiliki banyak implikasi di dalam dunia Islam, salah satunya adalah klasifikasi sunah menjadi dua, sunah yang berasal dari wahyu dan yang bukan berasal dari wahyu. Sunah sendiri artinya seluruh tindakan dan perkataan serta pernyataan Nabi Muhammad saw.


Lebih rinci lagi, Syekh Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa tindak dan tutur kata Nabi serta pernyataan yang dikeluarkan oleh beliau itu beragam. Pertama, berupa hajat manusiawi seperti makan, minum, tidur, dan semacamnya. Kedua, sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan individu maupun adat sosial sebagaimana yang terjadi pada peristiwa petani kurma, obat yang pernah Nabi saw anjurkan pada para sahabatnya dan soal detail pakaian yang digunakan oleh beliau. Ketiga, manajemen manusiawi dalam bidang politik dan peperangan, seperti mendistribusikan pasukan ke lokasi militer, pengorganisasian barisan di lokasi yang sama, dan lain sebagainya. (Syekh Mahmud Syaltut, al-Islam: Aqidah wa Syari’ah, Dar el-Qalam, cetakan ke-III, 1966, halaman  508).


Prinsip Hal Non-Wahyu Dalam Hadits

Hal-hal yang tidak masuk ke dalam pensyariatan (tasyri’iyyah) maka dapat dilihat dengan kacamata mubah, di mana Nabi Muhammad saw pernah bersabda:


كُلوا واشرَبوا وتَصدَّقوا والْبَسوا ما لم يخالِطْهُ إسرافٌ أو مَخيَلةٌ


Artinya: “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebihan dan sombong”. (Hadis riwayat Imam al-Nasa’i).


Al-Wallawi dalam Dzahirah al-‘Uqba membuat kesimpulan sebagaimana tekstual hadits di atas, yaitu makan, minum, bersedekah dan berpakaian pada dasarnya boleh-boleh saja, asal jangan berlebihan serta tidak diiringi dengan kesombongan. Al-Wallawi menyebutkan:


 وحاصل المعنى أنه أباح الأكل، واللبس، والتصدق، إذا لم يُتَجَاوَز بها الحدُّ المشروع، وهو معنى الإسراف، وخلا ذلك عن الخيلاء


Artinya: “Kesimpulan maknanya, Nabi membolehkan makan, berpakaian, bersedekah, apabila tidak melebihi batas syarak. Begitulah yang dimaksud dengan berlebihan (israf). Selain itu, yang dilarang juga adalah melakukan hal-hal mubah tadi diiringi dengan kesombongan.” (Muhammad ibn ‘Ali al-Wallawi, Dzahirah al-‘Uqba, Dar el-Mi’raj li al-Nasyr, cetakan pertama, jilid 23, halaman 60).


Dalam hal sains dan teknologi, kita juga dapat menggunakan prinsip hadits ini dalam implementasi dan praktiknya, yaitu penciptaan serta penggunaan teknologi tanpa adanya unsur berlebihan. Sebagaimana kaidah alamiah bahwa berlebih-lebihan dalam sesuatu akan menjurus pada ketidak baikan, atau perusakan terhadap sistem alamiah yang sudah ada.


Selain itu, prinsip yang digunakan juga adalah tidak boleh merugikan orang lain di dalam penciptaan maupun penggunaan teknologi dan sains. Soal ini, tentu ada hadits terkenal tentang larangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan orang lain.


عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سعْدُ بْنِ سِنَانِ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلَّمَ قَالَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.


Artinya: "Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan al-Khudri radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak boleh melakukan perbuatan yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“. (Hadis riwayat Imam Ibn Majah). Wallahu a’lam bisshawab


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences