Ilmu Hadits

Ungkapan Pisah Ranjang atau Zhihar di Masa Rasulullah

NU Online  ยท  Selasa, 15 Juli 2025 | 14:00 WIB

Ungkapan Pisah Ranjang atau Zhihar di Masa Rasulullah

Ilustrasi pisah ranjang. Sumber: Canva/NU Online

Zhihar adalah ucapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahinya, seperti ibunya. Ucapan ini seolah-olah menyiratkan bahwa suami menolak atau menganggap istrinya haram, meskipun mereka masih terikat dalam pernikahan.


Pada masa Jahiliah sebelum Islam, zhihar merupakan tradisi yang dianggap sebagai bentuk talak sepihak oleh suami. Akibatnya, banyak perempuan yang dirugikan karena kehilangan status perkawinan tanpa kejelasan hak. Namun, ketika Islam datang, zhihar tidak lagi dianggap sebagai talak, melainkan sebagai perbuatan keliru yang menzalimi istri. Islam kemudian menetapkan aturan dan konsekuensi khusus bagi suami yang mengucapkan zhihar.


Untuk memahami pandangan Islam tentang zhihar, kita perlu menelusuri ayat-ayat Al-Qurโ€™an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Dalam tulisan ini, kami akan menguraikan tiga hadits yang secara khusus membahas zhihar.


Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW yang Membahas Tentang Zhihar


Hadits Pertama: Kisah Khawlah binti Tsaโ€˜labah dan Awal Turunnya Hukum Zhihar

ุนูŽู†ู’ ุนูุฑู’ูˆูŽุฉูŽ ุจู’ู†ู ุงู„ุฒู‘ูุจูŽูŠู’ุฑู ู‚ูŽุงู„ูŽ: ู‚ูŽุงู„ูŽุชู’ ุนูŽุงุฆูุดูŽุฉู: ุชูŽุจูŽุงุฑูŽูƒูŽ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ูˆูŽุณูุนูŽ ุณูŽู…ู’ุนูู‡ู ูƒูู„ู‘ูŽ ุดูŽูŠุกูุŒ ุฅูู†ู‘ููŠ ู„ูŽุฃูŽุณู’ู…ูŽุนู ูƒูŽู„ูŽุงู…ูŽ ุฎูŽูˆู’ู„ูŽุฉูŽ ุจูู†ู’ุชู ุซูŽุนู’ู„ูŽุจูŽุฉูŽ ูˆูŽูŠูŽุฎู’ููŽู‰ ุนูŽู„ูŽูŠู‘ูŽ ุจูŽุนู’ุถูู‡ูุŒ ูˆูŽู‡ููŠูŽ ุชูŽุดู’ุชูŽูƒููŠ ุฒูŽูˆู’ุฌูŽู‡ูŽุง ุฅูู„ูŽู‰ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุŒ ูˆูŽู‡ููŠูŽ ุชูŽู‚ููˆู„ู: ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู! ุฃูŽูƒูŽู„ูŽ ุดูŽุจูŽุงุจููŠุŒ ูˆูŽู†ูŽุซูŽุฑู’ุชู ู„ูŽู‡ู ุจูŽุทู’ู†ููŠุŒ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ุฅูุฐูŽุง ูƒูŽุจูุฑูŽุชู’ ุณูู†ู‘ููŠุŒ ูˆูŽุงู†ู’ู‚ูŽุทูŽุนูŽ ูˆูŽู„ูŽุฏููŠุŒ ุธูŽุงู‡ูŽุฑูŽ ู…ูู†ู‘ููŠุŒ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ูู…ู‘ูŽ! ุฅูู†ู‘ููŠ ุฃูŽุดู’ูƒููˆ ุฅูู„ูŽูŠู’ูƒูŽุŒ ููŽู…ูŽุง ุจูŽุฑูุญูŽุชู’ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ู†ูŽุฒูŽู„ูŽ ุฌูุจู’ุฑูŽุงุฆููŠู„ู ุจูู‡ูŽุคูู„ูŽุงุกู ุงู„ู’ุขูŠูŽุงุชู {ู‚ูŽุฏู’ ุณูŽู…ูุนูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ู‚ูŽูˆู’ู„ูŽ ุงู„ู‘ูŽุชููŠ ุชูุฌูŽุงุฏูู„ููƒูŽ ูููŠ ุฒูŽูˆู’ุฌูู‡ูŽุง ูˆูŽุชูŽุดู’ุชูŽูƒููŠ ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู } [ุงู„ู…ุฌุงุฏู„ุฉ: 1]


Artinya: โ€œDari โ€˜Urwah bin Zubair, ia berkata: Aisyah berkata, โ€œMaha Suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh aku mendengar ucapan Khawlah binti Tsaโ€˜labah, namun sebagian ucapannya saja tak dapat kutangkap, saat ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, โ€˜Wahai Rasulullah! Ia (suamiku) telah menghabiskan masa mudaku, aku telah melahirkan anak-anaknya, lalu ketika usiaku sudah tua dan aku tidak bisa lagi melahirkan, ia menzhiharku. Ya Allah, aku mengadukan hal ini kepada-Mu!โ€™ Maka Khawlah belum beranjak dari tempatnya, hingga Jibril turun membawa ayat ini: โ€˜Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepada-Mu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allahโ€™ (QS. Al-Mujadilah: 1)โ€ (HR. Ibnu Majah)


Hadits mengenai Khawlah binti Tsaโ€˜labah, yang mengadukan perbuatan zhihar suaminya kepada Rasulullah SAW, tidak hanya menjadi dasar ditetapkannya hukum zhihar dalam Islam, tetapi juga mencerminkan perhatian Allah terhadap keluhan seorang istri yang terzalimi. Kisah ini menunjukkan betapa Islam menghormati hak dan martabat perempuan dalam perkawinan.


Menurut riwayat Aisyah RA, Khawlah adalah seorang wanita yang cantik, sedangkan suaminya, Aus bin Shamit, mengalami gangguan jiwa ringan. Saat penyakitnya kambuh, Aus kerap mengucapkan zhihar kepada istrinya (Muhammad bin โ€˜Ali Asy-Syaukani, Nailul Awthar min Asrar Muntaqa al-Akhbar, [Saudi: Dar Ibnu Jauzi, 2005], Jilid XII, hlm. 492).


Hadits ini juga menggambarkan bahwa zhihar tidak selalu dilakukan dengan niat sadar untuk menyakiti, melainkan dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis atau emosional pelakunya. Meski demikian, syariat Islam menegaskan bahwa zhihar bukanlah perbuatan yang dapat dianggap remeh. Ucapan zhihar berdampak serius terhadap kehormatan dan hak seorang istri, sehingga Islam menetapkan aturan tegas untuk melindungi martabat perempuan dan menegakkan keadilan dalam perkawinan.


Hadits Kedua: Larangan Menggauli Istri Setelah Zhihar Sebelum Menunaikan Kafarat

ุนูŽู†ู ุงุจู’ู†ู ุนูŽุจู‘ูŽุงุณูุŒ ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุฑูŽุฌูู„ู‹ุง ุธูŽุงู‡ูŽุฑูŽ ู…ูู†ู ุงู…ู’ุฑูŽุฃูŽุชูู‡ูุŒ ููŽุบูŽุดููŠูŽู‡ูŽุง ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุฃูŽู†ู’ ูŠููƒูŽูู‘ูุฑูŽุŒ ููŽุฃูŽุชูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ูŽ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูุฐูŽูƒูŽุฑูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽ ู„ูŽู‡ูุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: "ู…ูŽุง ุญูŽู…ูŽู„ูŽูƒูŽ ุนูŽู„ูŽู‰ ุฐูŽู„ููƒูŽ" ู‚ูŽุงู„ูŽ: ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู! ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชู ุจูŽูŠูŽุงุถูŽ ุญูุฌู’ู„ูŽูŠู’ู‡ูŽุง ูููŠ ุงู„ู’ู‚ูŽู…ูŽุฑูุŒ ููŽู„ูŽู…ู’ ุฃูŽู…ู’ู„ููƒู’ ู†ูŽูู’ุณููŠ ุฃูŽู†ู’ ูˆูŽู‚ูŽุนู’ุชู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูŽุงุŒ ููŽุถูŽุญููƒูŽ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุŒ ูˆูŽุฃูŽู…ูŽุฑูŽู‡ู ุฃูŽู„ู‘ูŽุง ูŠูŽู‚ู’ุฑูŽุจูŽู‡ูŽุง ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠููƒูŽูู‘ูุฑูŽ

 

Artinya: โ€œDari Ibnu โ€˜Abbas, bahwa ada seorang laki-laki yang menzhihar istrinya, lalu ia menggaulinya sebelum menunaikan kafarat. Maka ia datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu. Nabi bertanya, โ€œApa yang mendorongmu melakukan itu?โ€ Ia menjawab, โ€œWahai Rasulullah, aku melihat betis putihnya dalam sinar bulan, lalu aku tidak bisa menahan diri hingga aku menggaulinya.โ€ Maka Rasulullah SAW pun tertawa, lalu memerintahkan agar ia tidak mendekatinya (istri) hingga membayar kafarat.โ€ (HR. Ibnu Majah)

 

Hadits kedua ini dengan jelas menegaskan bahwa seorang suami yang telah mengucapkan zhihar kepada istrinya dilarang menggauli istrinya sebelum menyelesaikan kafarat. Perbuatan tersebut dianggap melanggar ketentuan syariat, yang mengatur tata cara penebusan zhihar demi menjaga kehormatan dan hak seorang istri.


Menariknya, dalam hadits ini diceritakan bahwa seorang laki-laki menjelaskan kepada Rasulullah bahwa ia tergoda oleh kecantikan istrinya yang tampak memukau di bawah sinar bulan. Alih-alih memarahinya, Rasulullah justru tersenyum sembari tetap memerintahkan agar kafarat diselesaikan terlebih dahulu sebelum sang suami kembali menggauli istrinya. Sikap Rasulullah ini mencerminkan kepekaan terhadap sisi kemanusiaan dalam menangani pelanggaran.ย 


Lebih lanjut, syariat Islam memperlihatkan keluwesannya dalam mempertimbangkan dorongan hawa nafsu atau tindakan yang tidak disengaja. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:


ุนูŽู†ู’ ุณูŽู„ูŽู…ูŽุฉูŽ ุจู’ู†ู ุตูŽุฎู’ุฑูุŒ ุนูŽู†ู ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูููŠ ุงู„ู’ู…ูุธูŽุงู‡ูุฑู ูŠููˆูŽุงู‚ูุนู ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุฃูŽู†ู’ ูŠููƒูŽูู‘ูุฑูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ูƒูŽูู‘ูŽุงุฑูŽุฉูŒ ูˆูŽุงุญูุฏูŽุฉูŒ


Artinya: โ€œDari Salamah bin Shakhr, dari Nabi SAW, mengenai orang yang menzhihar lalu menggauli (istrinya) sebelum menunaikan kafarat, beliau bersabda: โ€œ(Cukup) satu kafarat.โ€ (HR. Tirmidzi)


Hadits di atas juga menjadi landasan bahwa seorang suami yang menggauli istrinya sebelum menunaikan kafarat zhihar tetap hanya diwajibkan membayar satu kali kafarat. Pendapat ini menjadi ijmaโ€™ mayoritas ulama, menegaskan bahwa pelanggaran tersebut tidak menggandakan kewajiban kafarat.

 

Namun, terdapat pandangan minoritas yang menyatakan bahwa suami yang menggauli istrinya sebelum membayar kafarat wajib menunaikan dua kafarat sekaligus, (Abdul Haq Ad-Dihlawi, Lamaโ€˜atut Tanqih fi Syarh Misykatil Mashabih, [Damaskus: Darunnawadir, 2014], Jilid VI, hlm. 152).


Hadits Ketiga: Kisah Salamah bin Shakhr dan Kafarat Zhihar yang Ringan bagi Orang Tidak Mampu

ุนูŽู†ู’ ุณูŽู„ูŽู…ูŽุฉูŽ ุจู’ู†ู ุตูŽุฎู’ุฑู ุฑูŽุถููŠูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู†ู’ู‡ู ู‚ูŽุงู„ูŽ: ูƒูู†ู’ุชู ุงู…ู’ุฑูŽุฃู‹ ุฃูุตููŠุจู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู†ู‘ูุณูŽุงุกู ู…ูŽุง ู„ูŽุง ูŠูุตููŠุจู ุบูŽูŠู’ุฑููŠุŒ ููŽู„ูŽู…ู‘ูŽุง ุฏูŽุฎูŽู„ูŽ ุดูŽู‡ู’ุฑู ุฑูŽู…ูŽุถูŽุงู†ูŽ ุฎููู’ุชู ุฃูŽู†ู’ ุฃูุตููŠุจูŽ ู…ูู†ู ุงู…ู’ุฑูŽุฃูŽุชููŠ ุดูŽูŠู’ุฆู‹ุง ูŠูุชูŽุงุจูŽุนู ุจููŠ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ุฃูุตู’ุจูุญูŽุŒ ููŽุธูŽุงู‡ูŽุฑู’ุชู ู…ูู†ู’ู‡ูŽุง ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠูŽู†ู’ุณูŽู„ูุฎูŽ ุดูŽู‡ู’ุฑู ุฑูŽู…ูŽุถูŽุงู†ูŽุŒ ููŽุจูŽูŠู’ู†ูŽุง ู‡ููŠูŽ ุชูŽุฎู’ุฏูู…ูู†ููŠ ุฐูŽุงุชูŽ ู„ูŽูŠู’ู„ูŽุฉูุŒ ุฅูุฐู’ ุชูŽูƒูŽุดู‘ูŽููŽ ู„ููŠ ู…ูู†ู’ู‡ูŽุง ุดูŽูŠู’ุกูŒุŒ ููŽู„ูŽู…ู’ ุฃูŽู„ู’ุจูŽุซู’ ุฃูŽู†ู’ ู†ูŽุฒูŽูˆู’ุชู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูŽุงุŒ ููŽู„ูŽู…ู‘ูŽุง ุฃูŽุตู’ุจูŽุญู’ุชู ุฎูŽุฑูŽุฌู’ุชู ุฅูู„ูŽู‰ ู‚ูŽูˆู’ู…ููŠ ููŽุฃูŽุฎู’ุจูŽุฑู’ุชูู‡ูู…ู ุงู„ู’ุฎูŽุจูŽุฑูŽุŒ ูˆูŽู‚ูู„ู’ุชู: ุงู…ู’ุดููˆุง ู…ูŽุนููŠ ุฅูู„ูŽู‰ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ุŒ ู‚ูŽุงู„ููˆุง: ู„ูŽุง ูˆูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุŒ ููŽุงู†ู’ุทูŽู„ูŽู‚ู’ุชู ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ููŽุฃูŽุฎู’ุจูŽุฑู’ุชูู‡ูุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ุฃูŽุฃูŽู†ู’ุชูŽ ุจูุฐูŽุงูƒูŽ ูŠูŽุง ุณูŽู„ูŽู…ูŽุฉูุŸ ู‚ูู„ู’ุชู: ุฃูŽู†ูŽุง ุจูุฐูŽุงูƒูŽ ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู -ู…ูŽุฑู‘ูŽุชูŽูŠู’ู†ู- ูˆูŽุฃูŽู†ูŽุง ุตูŽุงุจูุฑูŒ ู„ูุฃูŽู…ู’ุฑู ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ูุŒ ููŽุงุญู’ูƒูู…ู’ ูููŠู‘ูŽ ู…ูŽุง ุฃูŽุฑูŽุงูƒูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุญูŽุฑู‘ูุฑู’ ุฑูŽู‚ูŽุจูŽุฉู‹ุŒ ู‚ูู„ู’ุชู: ูˆูŽุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ุจูŽุนูŽุซูŽูƒูŽ ุจูุงู„ู’ุญูŽู‚ู‘ูุŒ ู…ูŽุง ุฃูŽู…ู’ู„ููƒู ุฑูŽู‚ูŽุจูŽุฉู‹ ุบูŽูŠู’ุฑูŽู‡ูŽุงุŒ ูˆูŽุถูŽุฑูŽุจู’ุชู ุตูŽูู’ุญูŽุฉูŽ ุฑูŽู‚ูŽุจูŽุชููŠุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ููŽุตูู…ู’ ุดูŽู‡ู’ุฑูŽูŠู’ู†ู ู…ูุชูŽุชูŽุงุจูุนูŽูŠู’ู†ูุŒ ู‚ูู„ู’ุชู: ูˆูŽู‡ูŽู„ู’ ุฃูŽุตูŽุจู’ุชู ุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ุฃูŽุตูŽุจู’ุชู ุฅูู„ู‘ูŽุง ู…ูู†ูŽ ุงู„ุตู‘ููŠูŽุงู…ูุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ููŽุฃูŽุทู’ุนูู…ู’ ูˆูŽุณู’ู‚ู‹ุง ู…ูู†ู’ ุชูŽู…ู’ุฑู ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ุณูุชู‘ููŠู†ูŽ ู…ูุณู’ูƒููŠู†ู‹ุงุŒ ู‚ูู„ู’ุชู: ูˆูŽุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ุจูŽุนูŽุซูŽูƒูŽ ุจูุงู„ู’ุญูŽู‚ู‘ูุŒ ู„ูŽู‚ูŽุฏู’ ุจูุชู’ู†ูŽุง ูˆูŽุญู’ุดูŽูŠู’ู†ู ู…ูŽุง ู„ูŽู†ูŽุง ุทูŽุนูŽุงู…ูŒุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ููŽุงู†ู’ุทูŽู„ูู‚ู’ ุฅูู„ูŽู‰ ุตูŽุงุญูุจู ุตูŽุฏูŽู‚ูŽุฉู ุจูŽู†ููŠ ุฒูุฑูŽูŠู’ู‚ูุŒ ููŽู„ู’ูŠูŽุฏู’ููŽุนู’ู‡ูŽุง ุฅูู„ูŽูŠู’ูƒูŽุŒ ููŽุฃูŽุทู’ุนูู…ู’ ุณูุชู‘ููŠู†ูŽ ู…ูุณู’ูƒููŠู†ู‹ุง ูˆูŽุณู’ู‚ู‹ุง ู…ูู†ู’ ุชูŽู…ู’ุฑูุŒ ูˆูŽูƒูู„ู’ ุฃูŽู†ู’ุชูŽ ูˆูŽุนููŠูŽุงู„ููƒูŽ ุจูŽู‚ููŠู‘ูŽุชูŽู‡ูŽุงุŒ ููŽุฑูŽุฌูŽุนู’ุชู ุฅูู„ูŽู‰ ู‚ูŽูˆู’ู…ููŠุŒ ููŽู‚ูู„ู’ุชู: ูˆูŽุฌูŽุฏู’ุชู ุนูู†ู’ุฏูŽูƒูู…ู ุงู„ุถู‘ููŠู‚ูŽ ูˆูŽุณููˆุกูŽ ุงู„ุฑู‘ูŽุฃู’ูŠูุŒ ูˆูŽูˆูŽุฌูŽุฏู’ุชู ุนูู†ู’ุฏูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุงู„ุณู‘ูŽุนูŽุฉูŽ ูˆูŽุญูุณู’ู†ูŽ ุงู„ุฑู‘ูŽุฃู’ูŠูุŒ ูˆูŽู‚ูŽุฏู’ ุฃูŽู…ูŽุฑูŽู†ููŠ โ€“ ุฃูŽูˆู’ ุฃูŽู…ูŽุฑูŽ ู„ููŠ โ€“ ุจูุตูŽุฏูŽู‚ูŽุชููƒูู…ู’


Artinya: โ€œDari Salamah bin Shakhr RA, ia berkata: Aku adalah seorang lelaki yang memiliki dorongan syahwat terhadap perempuan lebih besar dari orang lain. Ketika bulan Ramadhan masuk, aku khawatir akan menggauli istriku dan itu berlanjut hingga waktu fajar. Maka aku pun menzhihar istriku hingga bulan Ramadhan berakhir. Pada suatu malam, ketika istriku sedang melayaniku, tiba-tiba terlihat darinya sesuatu yang membuatku tergoda, dan aku pun langsung menggaulinya. Keesokan paginya, aku pergi menemui kaumku dan menceritakan apa yang telah terjadi. Aku berkata, โ€œMari kita pergi bersama menghadap Rasulullah SAW.โ€ Namun mereka menjawab, โ€œTidak, demi Allah. Maka aku pun pergi sendiri menemui Nabi SAW dan menceritakan kejadian itu. Beliau bersabda: โ€œEngkaukah yang melakukan hal itu, wahai Salamah?โ€ Aku menjawab, โ€œYa, aku melakukannya, wahai Rasulullah,โ€ dan aku ulangi dua kali. Aku berkata, โ€œAku bersabar terhadap ketetapan Allah. Maka putuskanlah atas diriku sesuai dengan apa yang Allah tunjukkan kepadamu.โ€ Beliau bersabda, โ€œBebaskanlah seorang budak.โ€ Aku berkata, โ€œDemi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak memiliki budak selain dia (istriku),โ€ Seraya aku menunjuknya. Beliau bersabda, โ€œKalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut.โ€ Aku menjawab, โ€œBukankah aku melakukan kesalahan ini justru karena tidak kuat berpuasa?โ€ Maka beliau bersabda, โ€œKalau begitu, berikan makan satu wasaq kurma kepada 60 orang miskin.โ€ Aku berkata, โ€œDemi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, kami tidur dalam keadaan lapar, kami tidak memiliki makanan.โ€ Maka Nabi SAW bersabda, โ€œPergilah kepada pengurus zakat Bani Zuraiq. Suruh dia memberikannya kepadamu. Kemudian bagikan kepada 60 orang miskin satu wasaq kurma, dan sisanya boleh engkau makan bersama keluargamu.โ€ Aku pun kembali kepada kaumnya dan berkata: โ€œKalian hanya memberiku kesempitan dan pandangan yang sempit, sedangkan aku mendapati pada Nabi SAW kelapangan dan kebijaksanaan. Beliau bahkan telah memerintahkan aku, atau memberiku, bagian dari zakat kalian.โ€ (HR Abu Dawud)


Hadits di atas menegaskan bahwa kafarat zhihar tetap wajib ditunaikan, meskipun seseorang tidak mampu melaksanakan bentuk kafarat yang pertama. Rasulullah memberikan keringanan kepada Salamah bin Shakhr dengan mengurutkan pilihan kafarat: dari memerdekakan budak, berpuasa, hingga akhirnya memberi makan orang miskin. Keringanan ini mencerminkan fleksibilitas syariat dalam mempertimbangkan kemampuan seseorang tanpa menggugurkan kewajiban.


Para ulama, seperti Imam Syafiโ€™i dan sebagian pendapat Imam Ahmad, menegaskan bahwa kewajiban kafarat tidak gugur hanya karena ketidakmampuan. Selama masih ada bentuk kafarat lain yang dapat dilakukan, seseorang wajib menunaikannya sesuai kemampuannya (As-Shanโ€™ani, Subulus Salam Syarh Bulughil Maram, [Saudi: Dar Ibnu Jauzi, 2012], Jilid VI, hlm. 201)


Dalam Islam, zhihar tidak dianggap sebagai talak, tetapi merupakan perbuatan yang dilarang dan wajib ditebus dengan kafarat sebelum suami dapat kembali berhubungan kembali dengan istrinya. Melalui tiga hadits yang telah dibahas di atas, terlihat jelas bagaimana Rasulullah menyikapi kasus zhihar dengan bijaksana.ย 


Beliau tidak hanya menegakkan hukum syariat, tetapi juga mempertimbangkan kondisi psikologis, emosional, dan kemampuan pelaku, sehingga solusi yang diberikan tetap adil dan manusiawi. Pendekatan Nabi ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga keadilan dan keharmonisan dalam rumah tangga.ย 


Hukum zhihar, beserta kafaratnya, dirancang untuk melindungi martabat istri sekaligus memberikan kesempatan kepada suami untuk memperbaiki kesalahan dengan cara yang sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.