Ilmu Hadits

Privilege Status Sosial dan Upaya Membangun Meritokrasi dalam Hadits Nabi

NU Online  ·  Rabu, 18 Juni 2025 | 18:00 WIB

Privilege Status Sosial dan Upaya Membangun Meritokrasi dalam Hadits Nabi

Ilustrasi meritokrasi. (Foto: NU Online)

Kita sering menganggap bahwa kondisi ideal dalam sebuah masyarakat adalah meritokrasi, yaitu setiap individu mendapatkan posisi atau kesempatan berdasarkan kemampuan dan usahanya. Namun, pada kenyataannya, sistem sosial kita tidak selalu menyediakan sistem merit yang murni. Meritokrasi sering kali dianggap sebagai mitos, sebuah narasi yang menjanjikan kesetaraan peluang, tetapi mengabaikan realitas struktural yang membatasi akses banyak orang.

 

Linda L. Black dan David Stone dalam artikel mereka, Expanding the Definition of Privilege: The Concept of Social Privilege, mengemukakan:

 

Keyakinan ini menunjukkan bahwa mereka yang tertindas seolah-olah bisa meraih privilege jika saja mereka berusaha lebih keras atau mengubah identitas mereka agar sesuai dengan norma kelompok dominan. Namun, kenyataan sosial menunjukkan sebaliknya: privilege sering kali menjadi penghalang utama menuju meritokrasi sejati.” (Black & Stone, 2005, hlm. 243).

 

Sebagai contoh, bayangkan sebuah beasiswa bergengsi yang dibuka untuk umum dengan kualifikasi yang tampaknya sangat ideal dan adil. Persyaratan seperti nilai akademik tinggi, pengalaman kepemimpinan, dan sertifikat bahasa asing seolah-olah memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang. Namun, jika kita telisik lebih dalam, sistem ini tidak sepenuhnya meritokratis.

 

Untuk mendapatkan sertifikat bahasa, misalnya, seseorang harus menghabiskan waktu dan biaya untuk belajar bahasa asing, sering kali melalui kursus berbayar. Ujian sertifikasi itu sendiri juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, belum lagi akses ke lembaga pendidikan atau sumber belajar yang berkualitas.

 

Bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan sumber daya terbatas atau tinggal di daerah terpencil, memenuhi syarat ini menjadi tantangan besar, bahkan jika mereka memiliki bakat yang luar biasa. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai sistem merit ternyata menyisakan celah-celah ketidakadilan yang menguntungkan mereka yang sudah memiliki privilege sosial.

 

Realitas ini mencerminkan bahwa meskipun beasiswa tersebut dirancang dengan niat baik, faktor-faktor struktural seperti akses pendidikan, keuangan, dan lingkungan sosial tetap menentukan siapa yang akhirnya bisa bersaing. Mereka yang tidak memiliki privilege, seperti kemampuan finansial untuk membayar kursus bahasa atau akses ke sekolah berkualitas, terpaksa berada di posisi yang kurang menguntungkan, meskipun mereka mungkin memiliki potensi yang sama atau lebih besar.

 

Sistem yang seolah-olah meritokratis ini, pada akhirnya, sering kali hanya memperkuat privilege kelompok tertentu, seperti yang dijelaskan oleh Black dan Stone: “Privilege tidak hanya merugikan mereka yang tertindas, tetapi juga menghambat perkembangan emosional dan intelektual dari yang memilikinya, karena mereka tidak terdorong untuk memahami ketidakadilan yang ada.” (Black & Stone, 2005, hlm. 251).

 

Meritokrasi dalam Hadits Nabi

Dalam kajian Islam, konsep privilege dan meritokrasi dapat dilihat melalui hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana keunggulan seseorang. Salah satu hadits yang relevan adalah riwayat dari Abu Hurairah dalam Shahihul Bukhari:

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم من أكرم الناس قال أتقاهم لله قالوا ليس عن هذا نسألك قال فأكرم الناس يوسف نبي الله ابن نبي الله ابن نبي الله ابن خليل الله قالوا ليس عن هذا نسألك قال فعن معادن العرب تسألوني الناس معادن خيارهم في الجاهلية خيارهم في الإسلام إذا فقهوا

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW ditanya, ‘Siapakah orang yang paling mulia?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang paling bertakwa kepada Allah.’ Mereka berkata, ‘Bukan itu yang kami tanyakan.’ Beliau bersabda, ‘Maka orang yang paling mulia adalah Yusuf, nabi Allah, putra nabi Allah, putra nabi Allah, putra kekasih Allah.'

 

Mereka berkata, ‘Bukan itu yang kami tanyakan.’ Beliau bersabda, ‘Apakah kalian bertanya tentang ‘ma’adin’ (analogi manusia seperti logam) orang-orang Arab? Manusia itu seperti logam: yang terbaik di antara mereka pada masa Jahiliyah adalah yang terbaik di masa Islam, apabila mereka memahami agama.” (HR Al-Bukhari)

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW mengakui secara realitas akan adanya perbedaan “kualitas” manusia, sebagaimana logam (ma’adin) memiliki perbedaan dalam kandungan logam mulia seperti emas atau perak. Artinya seperti ini, emas tetap akan menjadi emas, perak tetap akan menjadi perak, dan platinum akan tetap menjadi platinum. Di mana pun logam-logam tersebut berada, tetap mulia dan berharga.

 

Orang-orang yang sudah mulia di masa Jahiliah, ketika masuk Islam, maka akan tetap menjadi mulia secara status sosial. Fakta ini tidak bisa dibantah. Hanya saja, Nabi berupaya menerapkan meritokrasi, agar kemuliaan sejati tidak hanya bergantung pada “nasib bawaan” atau privilege sosial yang dimiliki seseorang sejak lahir, tetapi juga pada usaha untuk memahami dan mengamalkan agama (tafaqquh fiddin).

 

Dalam konteks ini, Nabi SAW menegaskan bahwa meritokrasi sejati dalam Islam bergantung pada takwa dan ilmu, bukan semata-mata pada status sosial atau keturunan, meskipun realitas sosial tetap memberikan privilege kepada mereka yang sejak awal sudah diberikan kemuliaan dan akses yang lebih mapan.

 

Hadits lain yang memperkuat pandangan ini adalah riwayat dari Abu Hurairah dalam Musnad Ahmad:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَجِدُونَ النَّاسَ مَعَادِنَ فَخِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا وَتَجِدُونَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ فِي هَذَا الْأَمْرِ أَكْرَهَهُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ وَتَجِدُونَ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, ‘Kalian akan menemukan manusia seperti tambang: yang terbaik di antara mereka pada masa Jahiliyah adalah yang terbaik di masa Islam, apabila mereka memahami agama. Kalian akan menemukan di antara manusia terbaik dalam urusan ini (kepemimpinan) adalah mereka yang paling tidak menginginkannya sebelum memasukinya. Dan kalian akan menemukan di antara manusia terburuk adalah orang yang bermuka dua, yang mendatangi kelompok ini dengan satu wajah dan kelompok lain dengan wajah berbeda.’” (HR Ahmad).

 

Hadits ini menegaskan kembali konsep manusia sebagai “logam” dengan nasib bawaan yang berbeda-beda, tetapi menambahkan bahwa keunggulan sejati terletak pada pemahaman agama (fiqih) dan integritas moral.

 

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa tamsil “manusia layaknya logam” yang disebut dalam hadits meniscayakan manusia memiliki potensi bawaan, tetapi potensi itu hanya akan bersinar jika diasah dengan ilmu dan etika. Ia menjelaskan:

 

أن المعادن مشتملة على جواهر مختلفة، منها النفيس، والخسيس، وكل من المعادن يخرج ما في أصله، وكذلك الناس كل منهم يظهر عليه ما في أصله، فمن كان ذا شرف وفضل في الجاهلية فأسلم لم يزده الإسلام إلا شرفًا، فإنَّ تفقه في دين الله، فقد وصل إلى غاية الشرف

 

Artinya, "Sesungguhnya logam mengandung berbagai jenis zat, ada yang mulia, ada yang rendah kualitasnya. Setiap logam akan mengeluarkan apa yang terkandung dalam asalnya. Begitu pula manusia: setiap orang akan menampakkan apa yang menjadi asal tabiatnya. Maka siapa saja yang memiliki kemuliaan dan keutamaan di masa jahiliah, lalu ia memeluk Islam, niscaya Islam tidak lain akan menambah kemuliaannya. Lalu, jika ia memperdalam ilmu agama Allah (fiqih), sungguh ia telah mencapai puncak kemuliaan." (Al-Qurtubi, Al-Mufhim, [Beirut, Dar Ibn Katsir, 1417 H], jilid VI, hlm. 478).

 

Upaya Nabi membangun dan menerapkan meritokrasi di tengah masyarakat adalah dengan memberikan penegasan "Jika mereka mempelajari ilmu agama”. Para ulama memberikan interpretasi bahwa ilmu agama yang dimaksud adalah ilmu fiqih, yaitu seorang Muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang dilakukannya, baik dalam segi ubudiyyah, mu'amalah, hingga jinayah. Ad-Dihlawi menegaskan:

 

يفيد أن الإسلام يرفع اعتبار التفاوت المعتبر في الجاهلية، فإذا تحلى الرجل بالعلم والحكمة استجلب شرف النسب واستعداد النفس فيجتمع الشرفان، وبدون ذلك لا يعتبر ولا يفيد، وفيه أن الوضيع العالم خير من الشريف الجاهل

 

Artinya: “Ini menunjukkan bahwa Islam menghapus pertimbangan-pertimbangan perbedaan yang dianggap penting di masa jahiliah. Jika seseorang berhias dengan ilmu dan kebijaksanaan, maka ia akan mengangkat kemuliaan nasab dan potensi jiwanya, hingga terkumpullah dua bentuk kemuliaan itu. Tanpa keduanya, nasab tidak bernilai dan tidak bermanfaat. Dari sini dipahami bahwa orang biasa yang berilmu lebih mulia daripada bangsawan yang bodoh." (Lama‘at at-Tanqih fi Syarh Misykatil Mashabih, [Damaskus, Darun Nawadir, 1435 H/2014 M], jilid I, hlm. 527).

 

Kembali ke konsep privilege, Black dan Stone mendefinisikan privilege sosial sebagai “Segala bentuk hak istimewa, perlindungan hukum, kekuasaan, kekebalan, serta keuntungan atau hak lain yang diberikan atau dianugerahkan oleh kelompok dominan kepada seseorang atau kelompok semata-mata karena keanggotaan bawaan dalam identitas-identitas sosial tertentu yang telah ditetapkan.” (Black & Stone, 2005, hlm. 245).

 

Dalam konteks hadits di atas, privilege dapat dilihat sebagai “nilai logam” bawaan seseorang, seperti keturunan mulia atau status sosial tinggi pada masa Jahiliah. Namun, Nabi SAW menegaskan bahwa privilege ini tidak cukup tanpa usaha untuk mencapai keunggulan melalui takwa dan ilmu. Dengan kata lain, Islam berupaya menciptakan meritokrasi berbasis akhlak dan pengetahuan, bukan sekadar mengandalkan privilege bawaan.

 

Dalam konteks administrasi modern, privilege sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atau mengendalikan informasi, yang dapat menghambat meritokrasi. Hadits di atas, bagaimanapun, menunjukkan bahwa Nabi SAW mengakui adanya privilege sosial, tetapi mendorong umatnya untuk melampaui itu dengan membangun sistem yang lebih adil berbasis takwa, ilmu, dan integritas.

 

Walhasil, meskipun privilege sosial adalah realitas yang tidak dapat dihindari, ajaran Nabi SAW menawarkan kecenderungan untuk menciptakan masyarakat yang lebih meritokratis. Dalam dunia yang masih dipenuhi ketidakadilan struktural, pesan ini tetap relevan sebagai panggilan untuk terus berupaya menuju sistem yang lebih adil dan inklusif.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.