Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Datang ke Resepsi Saat Puasa? Ini Panduannya

NU Online  ·  Ahad, 15 Juni 2025 | 06:00 WIB

Kajian Hadits: Datang ke Resepsi Saat Puasa? Ini Panduannya

Ilustrasi perkawinan. Sumber: Canva/NU Online.

Di Indonesia, tradisi mengadakan jamuan makan menjadi bagian tak terpisahkan dari momen-momen istimewa, seperti saat anak selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, lulus kuliah, diterima kerja sebagai ASN, atau merayakan pernikahan. Dalam ajaran Islam, jamuan ini dikenal sebagai walimah, yang mengandung makna kebersamaan dan syukur atas kebahagiaan.


Menurut Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qaribil Mujib (Beirut: Darul Minhaj, 2019, hal. 311), mengadakan walimah adalah perbuatan yang dianjurkan. Namun, hukum menghadiri walimah berbeda-beda. Untuk resepsi pernikahan, kehadiran dianggap wajib (fardhu ain/kewajiban individual) bagi yang diundang, kecuali ada halangan. Sementara untuk walimah selain pernikahan, seperti syukuran kelulusan atau lainnya, kehadiran bersifat sunnah, sehingga tidak hadir tidak membuat seseorang berdosa.


Namun, tantangan muncul bagi seorang Muslim yang rutin berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud. Ketika undangan resepsi pernikahan datang bertepatan dengan hari puasa, mereka dihadapkan pada dilema: menjaga puasa sunnah yang berarti menahan diri dari makan dan minum, atau menghormati undangan dengan menikmati hidangan yang disediakan.


Kondisi ini ternyata juga pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah riwayat yang dicatat oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, sahabat Abdullah bin Umar menceritakan:


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجِيْبُوْا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيْتُمْ لَهَا. قَالَ: كَانَ عَبْدُ اللهِ ابْنُ عُمَرَ يَأْتِى الدَّعْوَةَ فِى الْعُرْسِ وَغَيْرِ الْعُرْسِ وَهُوَ صَائِمٌ


Artinya: "Rasulullah SAW bersabda: 'Jawablah undangan ini ketika kalian diundang untuk (menghadirinya)'. (Nafi') berkata: 'Abdullah bin Umar RA (tetap) menghadiri undangan pernikahan dan selain pernikahan sedangkan dia dalam keadaan berpuasa'". (HR. Bukhari-Muslim) (Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, [Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002], hal. 1319), (Muslim bin al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, [Riyadh: Baitul Afkar Ad-Dauliyah, 1998], hal. 566).


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk menghadiri undangan walimah, khususnya walimah ursy (pernikahan). Dalam riwayat yang sama, Nafi’ menceritakan bahwa Abdullah bin Umar pernah menghadiri resepsi pernikahan meskipun sedang berpuasa. Hadits ini mengandung dua elemen: hadits marfu’ (ucapan langsung Nabi SAW) dan hadits mauquf (perbuatan sahabat, dalam hal ini Ibnu Umar).


Menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, gabungan hadits marfu’ dan mauquf justru memperkuat keabsahan sebuah hadits, sehingga dapat dijadikan dasar hukum (hujjah). Dengan kata lain, kehadiran di resepsi pernikahan menjadi kewajiban bagi yang diundang, dan contoh Ibnu Umar menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak menghalangi seseorang untuk tetap menghormati undangan (Oman: Baitul Afkar Ad-Dauliyah, 2000, hal. 896).


Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa perintah menghadiri undangan dalam hadits ini khususnya merujuk pada resepsi pernikahan. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat lain dari Imam Muslim dan Abu Dawud yang juga bersumber dari Nafi’, lafaznya yaitu:


إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ 


Artinya: "Ketika salah satu di antara kalian mengundang saudaranya, maka dia (saudara tersebut harus) datang. Baik undangan (untuk) perkawinan atau semisalnya". (Fathul Bari, [Beirut, Daar al-Risalah al-Alamiyah: 2013], Juz XV, hal. 487).


Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa puasa, baik wajib maupun sunnah, bukan alasan untuk tidak menghadiri resepsi pernikahan. Kewajiban menghadiri undangan ini berlaku sama bagi orang yang berpuasa maupun tidak. Namun, seseorang yang berpuasa tetap dapat memenuhi kewajiban ini hanya dengan hadir di acara tanpa harus memakan hidangan yang disajikan (Al-Minhaj, 2000, hal. 895).


Jika seseorang yang berpuasa tidak dapat menghadiri resepsi pernikahan karena acara diadakan pada siang hari, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Syarh Shahih al-Bukhari memberikan solusi praktis untuk menyikapi situasi ini:


نَعَمْ لَوْ اِعْتَذَرَ بِهِ الْمَدْعُوُّ فَقَبِلَ الدَّاعِي عُذْرَهُ لِكَوْنِهِ يَشُقُّ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَأْكُلَ إِذَا حَضَرَ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ، كَانَ ذَلِكَ عُذْراً لَهُ فِي التَّأَخُّرِ


Artinya: "Ya, seandainya orang yang diundang beralasan (tidak dapat menghadiri undangan) kemudian orang yang mengundang menerima alasannya, (seperti) merasa berat seandainya tidak makan. Atau selain alasan tersebut, maka hal ini dapat menjadi alasan untuk datang terlambat". (hal. 489) 


Berdasarkan solusi yang ditawarkan Ibnu Hajar al-Asqalani, seseorang yang berpuasa dan tidak dapat menghadiri resepsi pernikahan pada siang hari dapat memenuhi undangan dengan berkunjung ke rumah pengundang pada malam harinya setelah berbuka puasa.


Terkait konsumsi hidangan di resepsi pernikahan, Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa tidak ada kewajiban untuk memakan hidangan yang disediakan. Bagi yang sedang menjalani puasa wajib, seperti puasa nazar atau qadha Ramadan, mereka harus tetap menjaga puasanya. 


Namun, bagi yang berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud, mereka diberi pilihan: melanjutkan puasa atau membatalkannya untuk menghormati hidangan tuan rumah. Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Jabir RA, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda:


إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ اِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَاِنْ شَاءَ تَرَكَ


Artinya: "Ketika salah satu di antara kalian diundang pada jamuan makan, maka hendaklah dia hadir. Jika berkenan, maka (dipersilahkan baginya) untuk memakannya. Dan jika (tidak) berkenan, maka (boleh) baginya meninggalkan." 


Lebih lanjut an-Nawawi menegaskan, bahwa jika orang yang berpuasa hadir dan tetap melanjutkan puasanya, maka hendaklah dia mendoakan keluarga dan orang-orang yang diundang lainnya agar mendapatkan keberkahan. Ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa nabi bersabda: 


إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِعاً فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِراً فَلْيَطْعمْ


Artinya: "Ketika salah satu di antara kalian diundang, maka hendaklah dia menjawab. Jika dia berpuasa, maka hendaklah dia shalat (mendoakan). Dan seandainya dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan." (hal. 895)


Pada akhirnya, bagi orang yang berpuasa dan mendapatkan undangan resepsi pernikahan, ia datang atau tidak, meneruskan puasa atau menghentikannya, sama-sama memiliki alasan yang kuat. Hanya saja, alasan yang dipilih harus alasan yang lebih maslahat dan dapat diterima oleh yang mengundang. Tujuannya, walimah ursy tidak menyisakan ketidaknyamanan pada semua pihak. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.