Aktivitas Me Time juga Dilakukan oleh Rasulullah
NU Online · Ahad, 6 Juli 2025 | 17:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Generasi Z atau Gen Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh dan berkembang di tengah kemajuan teknologi. Yakni ketika internet, media sosial, dan budaya digital menjadi bagian dari keseharian. Gen Z pun dikenal adaptif, kreatif, dan sangat akrab dengan dunia virtual. Namun, di balik semuanya, mereka juga sedang mencari tujuan, makna, dan ruang untuk memahami diri sendiri.
Salah satu hal yang menonjol dari Gen Z adalah kepedulian mereka terhadap kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Di tengah derasnya informasi dan tekanan sosial, mereka belajar untuk beristirahat, menyendiri, dan menata ulang batin. Dari sinilah lahir istilah yang akrab di kalangan mereka dengan sebutan, “me time”.
Me time adalah waktu khusus yang disediakan untuk diri sendiri. Bukan semata-mata berguna untuk memanjakan ego, tetapi untuk menjaga kewarasan, menyegarkan pikiran, dan merawat jiwa. Bentuknya beragam, ada yang memanfaatkannya dengan membaca, mendengarkan musik, berdiam di kamar, atau berjalan sendiri tanpa distraksi. Bagi Gen Z, ini adalah cara untuk tetap sehat secara emosional dan spiritual.
Menariknya, jauh sebelum istilah ini dikenal, praktik me time dapat kita temukan dalam literatur hadis. Sebelum masa kenabian, beliau sering menyendiri di Gua Hira, menjauh dari keramaian Makkah, dan mengisi waktu dengan perenungan.
Di sana, beliau mencari ketenangan, beribadah, memikirkan kondisi umat, dan merenungi makna hidup. Dalam konteks hari ini, apa yang dilakukan Nabi bisa disebut sebagai me time yang sarat makna. Akan tetapi bukan hanya sekadar untuk diri sendiri, namun juga demi kebaikan umat.
Kebiasaan Nabi Muhammad SAW menyendiri telah disebutkan secara jelas dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari Aisyah RA. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa sebelum diangkat menjadi nabi, Rasulullah SAW melewati fase sangat menyukai waktu menyendiri. Beliau sering mengasingkan diri ke Gua Hira, membawa bekal secukupnya, lalu berdiam di sana selama beberapa malam untuk beribadah, merenung, dan menjauh dari hiruk pikuk masyarakat Makkah.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ - وَهُوَ التَّعَبُّدُ - اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ
Artinya: “Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata: “Permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah SAW adalah mimpi yang baik dalam tidur. Setiap mimpi yang beliau lihat datang sejelas cahaya subuh. Lalu beliau mulai menyukai menyendiri. Beliau biasa menyendiri di Gua Hira, beribadah di sana selama beberapa malam, lalu pulang kepada keluarganya untuk mengambil bekal, kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari)
Baca Juga
Renungan Menyentuh dari Qasidah Burdah
Apa yang dilakukan Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk menepi sejenak dan mencari ketenangan bukanlah sesuatu yang asing dalam Islam. Menyendiri bukan berarti menjauh dari tanggung jawab sosial, melainkan mengambil jeda untuk menata hati dan pikiran. Dalam sunyi, seseorang bisa lebih jernih melihat persoalan, mengoreksi diri, dan merasakan kehadiran Ilahi tanpa gangguan dunia luar.
Penjelasan Me Time ala Nabi SAW dalam Literatur Sejarah
Ketika Nabi Muhammad SAW memilih menyendiri di Gua Hira, yang dilakukan beliau bukan semata-mata beribadah dalam arti ritual. Lebih dari itu, waktu-waktu yang beliau habiskan di sana adalah momen kontemplasi yang mendalam. Beliau menyucikan hati, merenungi kondisi masyarakat, menimbang nilai-nilai moral, dan mencari kebenaran hakiki. Syekh Muhammad al-Ghazali dalam kitab sirah-nya mengatakan:
في غار حراء كان محمد عليه الصلاة والسلام يتعبّد، ويصقل قلبه، وينقي روحه، ويقترب من الحق جهده، ويبتعد عن الباطل وسعه، حتى وصل من الصفاء إلى مرتبة عالية؛ انعكست فيها أشعة الغيوب على صفحته المجلوّة
Artinya: “Di Gua Hira, Nabi Muhammad SAW beribadah, memoles hatinya, menyucikan jiwanya, mendekat kepada kebenaran semampunya, dan menjauh dari kebatilan sebisanya. Hingga beliau mencapai kejernihan jiwa pada tingkatan tertinggi, yakni ketika sinar-sinar hakikat ghaib memantul pada permukaan hatinya yang bersih.” (Muhammad al-Ghazali as-Saqa, Fiqhus Sirah, [Damaskus: Darul Qalam, 2006] hal. 90)
Selanjutnya, lebih daripada itu, Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengasingkan diri untuk beribadah dan menyucikan jiwa, tetapi juga mengisi waktunya dengan perenungan mendalam terhadap alam semesta dan keajaiban pada ciptaan Tuhan.
Dijelaskan bahwa beliau menetap di Gua Hira selama sebulan penuh setiap tahun. Di sana, beliau benar-benar menenggelamkan diri dalam keheningan dan menghadapkan hati pada tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang terpampang di sekitarnya.
فيقيم في حراء شهرا من كل سنة، ويقضي وقته في التفكير فيما حوله من مشاهد الكون، وفيما وراءها من قدرة مبدعة
Artinya: “Beliau (Nabi Muhammad) tinggal di Gua Hira selama satu bulan setiap tahun, dan menghabiskan waktunya untuk merenungi berbagai kondisi alam semesta di sekelilingnya, serta memikirkan kekuatan penciptaan luar biasa yang berada di balik semua kejadian yang menyertai.” (Musa bin Rasyid al-‘Azhimi, Al-Lu’lu’ul Maknun fi Siratin Nabiyil Ma’mun, [Kuwait: Maktabah al-‘Azimiah, 2011] jilid 1, hal. 166)
Terakhir, kita bisa memahami bahwa me time bukanlah sekadar tren anak muda atau bentuk pelarian dari dunia yang penuh dengan dinamika masalah. Dalam perspektif Islam, terlebih melalui teladan Nabi Muhammad SAW, menyendiri justru bisa menjadi jalan untuk merawat kesehatan lahiriah sekaligus memperkuat kehidupan batiniah.
Me time dapat memberi ruang untuk menata pikiran, menenangkan hati, dan mendekat kepada Allah dalam kesadaran yang lebih yakin. Dalam kesendirian yang tenang, seseorang bisa lebih jujur pada dirinya sendiri, mengevaluasi perjalanan hidup, dan menyadari kembali tujuan-tujuan yang mungkin terlupakan.
Dengan demikian, me time bukan hanya bermanfaat secara lahiriah, karena membuat tubuh dan mental lebih seimbang, tetapi juga membawa nilai batiniah, karena meneladani laku (sunnah) kontemplatif Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.
Terpopuler
1
Tim TP2GP dan Kemensos Verifikasi Pengusulan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional
2
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
3
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Keutamaan & Amalan Istimewa di Hari Asyura – Puasa, Sedekah, dan Menyantuni Yatim
5
Jejak Mbah Ahmad Mutamakkin, Peletak Dasar Keilmuan, Pesantren, dan Pemberdayaan Masyarakat di Kajen
6
Pangkal Polemik ODOL Kegagalan Pemerintah Lakukan Tata Kelola Transportasi Logistik
Terkini
Lihat Semua