إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ وَاخْتَلَفَتِ الْأَهْوَاءُ، فَعَلَيْكُمْ بِدِينِ أَهْلِ الْبَادِيَةِ وَالنِّسَاءِ
Cara Beragama ala Orang Awam, Lebih Menentramkan
NU Online · Sabtu, 8 Maret 2025 | 07:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Pernahkah Anda mendengar ungkapan "Beragamalah seperti orang awam"? Di tengah kompleksitas pemikiran agama yang sering kali membingungkan, ungkapan ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Apakah keberagamaan yang sederhana, seperti yang dijalani oleh orang awam, sebenarnya lebih ideal dan mendekatkan kita pada kebenaran?
Imam Al-Juwaini, seorang ulama besar, memberikan pandangan menarik yang mungkin mengejutkan banyak orang. Setelah bertahun-tahun bergelut dengan berbagai mazhab dan pemikiran teologis, ia akhirnya kembali pada keyakinan sederhana yang diyakini oleh kalangan awam.
Dalam riwayat yang dihimpun oleh para sejarawan dan ahli biografi, terdapat satu fragmen kisah yang menggambarkan peralihan pemikiran seorang ulama besar abad ke-5 Hijriyah, Imam Al-Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini (w 478 H), atau lebih dikenal dengan Imam Al-Juwaini.
Dikisahkan suatu hari, Abul Fathi At-Thabari menjenguk Imam Al-Juwaini saat beliau terbaring sakit di akhir hayatnya. Dalam kondisi tersebut, Sang Imam menyatakan:
Baca Juga
Niat Shalat yang Simpel Bagi Orang Awam
“Saksikanlah bahwa aku telah rujuk dari setiap pandangan yang menyelisihi sunnah. Aku wafat di atas apa yang diyakini oleh para wanita tua di Naisabur.”
Pada kesempatan lain, Abu Ja’far Muhammad bin Abi Ali, mendengar langsung pernyataan Imam Al-Juwaini:
“Aku telah membaca 50 ribu kitab tentang 50 ribu masalah, kemudian aku biarkan kaum muslimin dengan keislaman mereka dan ilmu-ilmu lahiriah mereka. Aku terjun ke lautan luas dan menyelami perkara-perkara yang telah dilarang bagi umat Islam untuk mendalaminya. Semua itu demi mencari kebenaran.
Dahulu, aku selalu lari dari taklid (ikut-ikutan tanpa dalil), namun kini aku kembali pada kalimat kebenaran: 'Berpeganglah kalian pada agama nenek-nenek tua! Jika aku tidak dijemput oleh kasih sayang Allah di penghujung hidupku, maka aku ingin mati di atas agama para wanita tua, dan semoga akhir hidupku ditutup dengan kalimat tauhid: 'La ilaha illallah'." (Kisah ini dikutip dari mukadimah kitab Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, [Beirut, Darul Minhaj,: 2007], halaman 49).
Kisah di atas menjadi cermin perjalanan intelektual seorang pemikir yang bergumul dengan berbagai mazhab pemikiran, hingga akhirnya kembali kepada keyakinan sederhana yang diyakini oleh kalangan awam. Pernyataan tersebut juga menunjukkan titik balik pemikiran Al-Juwaini setelah perjalanan panjang dalam pergulatan pemikiran teologis yang kompleks.
Namun, di balik kisah kembalinya Imam Al-Juwaini dari pergulatan pemikiran teologi yang kompleks, terselip sebuah nasihat menarik yang ia tinggalkan setelah merasakan pahit getirnya perjalanan intelektual. Ia merekomendasikan sebuah prinsip beragama yang sederhana namun sarat makna:
عَلَيْكُمْ بِدِينِ الْعَجَائِزِ
Artinya, “Berpeganglah kalian pada agama nenek-nenek tua.”
Pesan di balik kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa keimanan yang tulus dan sederhana, seperti keyakinan orang awam yang berserah diri tanpa banyak perdebatan, sering kali lebih menenteramkan daripada pemikiran yang rumit dan berliku.
Ungkapan ‘Dinul ‘Ajaiz’ atau ‘Agama para nenek tua’ yang disebut oleh Imam Al-Juwaini bukanlah ejekan, melainkan simbol ketundukan kepada iman yang bersifat sederhana dan murni, jauh dari spekulasi rasional yang sering kali melahirkan kebimbangan. Kata tersebut lebih tepatnya sepadan dengan kata ‘awam dalam beragama.’
Imam Al-Juwaini, yang dikenal sebagai tokoh utama dalam disiplin ilmu kalam dan ushul fiqih, menempuh jalan intelektual yang panjang sebelum akhirnya menyadari bahwa keimanan yang sederhana adalah jalan keselamatan.
Banyak yang mengira bahwa kalimat tersebut merupakan hadits. As-Sakhawi menjelaskan, bahwa lafal tersebut bukanlah hadits. Namun, dalam riwayat Ad-Dailami, terdapat satu hadits dari jalur yang tersambung kepada Ibnu Umar secara marfu’, lafalnya begini:
Artinya, “Apabila telah tiba akhir zaman dan hawa nafsu berselisih, maka berpeganglah kalian pada agama penduduk pedalaman dan para wanita.” (HR Ad-Dailami).
As-Sakhawi menjelaskan, Ibnul Bailmani sebagai periwayat hadits tersebut dinilai sebagai perawi yang sangat lemah. Ibnu Hibban mengomentari:
“Ia meriwayatkan dari ayahnya sebuah naskah yang mirip dengan dua ratus hadits, semuanya palsu. Tidak boleh dijadikan hujjah, bahkan tidak boleh disebut kecuali untuk sekadar menimbulkan rasa takjub.” (Al-Maqashidul Hasanah, [Beirut, Darul Kitab al-‘Arabi: 1405 H/1985 M], jilid I, halaman 465).
Riwayat di atas juga dianggap sangat lemah oleh Al-Munawi. Kendati demikian, ia tetap memberi penjelasan makna di balik hadits tersebut. Al-Munawi memaparkan:
“Ketika akhir zaman tiba, dunia akan dipenuhi oleh berbagai kekacauan. Para pendusta akan bermunculan, pelaku bid‘ah akan menampakkan diri tanpa rasa malu, dan penipu akan menyebar luas di mana-mana.
Di saat yang sama, hawa nafsu manusia akan saling bertentangan dan menimbulkan perpecahan. Dalam kondisi seperti ini, ada anjuran yang disampaikan: ‘Hendaklah kalian berpegang teguh pada agama orang-orang pedalaman (badui) dan para wanita.'
Maksud dari anjuran ini adalah agar kita tetap memegang keyakinan sederhana seperti yang dimiliki oleh orang-orang pedalaman dan para wanita pada masa itu. Mereka dikenal dengan sikap menerima pokok-pokok iman dan keyakinan lahiriah tanpa banyak mempersoalkannya melalui perdebatan atau analisis mendalam.
Cara mereka adalah mengikuti jalan yang lurus melalui kepercayaan yang tulus tanpa kerumitan, serta fokus pada amal kebaikan yang nyata. Mengapa jalan ini dianjurkan? Sebab, risiko penyimpangan menjadi sangat besar ketika seseorang mulai tenggelam dalam perdebatan dan keraguan.
Al-Ghazali pernah menyinggung hal ini dengan bijak. Ia menyatakan bahwa seseorang yang tidak pernah mendengar perbedaan pendapat antar mazhab, atau tidak mengetahui bagaimana para pengikut mazhab saling menyalahkan, sebenarnya berada dalam posisi yang lebih selamat. Hal ini berbeda dengan orang yang terpapar pada berbagai pendapat namun justru kebingungan, tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang batil.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijjariyah al-Kubra, 1356], jilid I, hlm. 424).
Jika kita terapkan esensi dari pesan beragama seperti di atas, caranya sederhana namun mendalam: pelajari ilmu agama secukupnya, lalu amalkan dengan konsisten, sambil menjalani hidup secara wajar, berusaha mencari rezeki halal dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Di sela itu, kita isi waktu dengan ibadah yang istiqamah hingga akhir usia. Harapan terbesarnya adalah satu: meninggal dalam keadaan husnul khatimah, dan semua orang di sekeliling kita ridha dan memaafkan segala kekhilafan yang pernah kita perbuat.
Hanya saja, kalimat “Beragamalah seperti cara orang awam beragama”, perlu dipahami dengan cermat agar tidak disalahartikan. Pada masa lalu, umat Islam awam tetap memahami dasar-dasar dan inti ajaran agama, sehingga lawan kata “awam” di sini adalah “alim”, orang yang memiliki pemahaman agama mendalam.
Kalimat tersebut juga jangan sampai dipahami sebagai sebuah jargon yang mereduksi semangat intelektualitas kita dalam mempelajari ilmu agama. Fakhruddin Ar-Razi mengklarifikasi bahwa kalimat ‘beragamalah seperti orang awam’ salah fatal jika dipahami untuk membatasi akses kepada pengetahuan ilmu kalam dan dalil-dalil fiqih yang mendalam dan komprehensif dalam beramal:
فَلَيْسَ الْمُرَادُ إِلَّا تَفْوِيضَ الْأُمُورِ كُلِّهَا إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَالِاعْتِمَادَ فِي كُلِّ الْأُمُورِ عَلَى اللهِ عَلَى مَا قُلْنَا... إِنْ عَنَيْتُمْ أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يَسْتَعْمِلُوا أَلْفَاظَ الْمُتَكَلِّمِينَ فَمُسَلَّمٌ، لَكِنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْقَدْحُ فِي الْكَلَامِ، كَمَا أَنَّهُمْ لَمْ يَسْتَعْلِمُوا أَلْفَاظَ الْفُقَهَاءِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْقَدْحُ فِي الْفِقْهِ أَلْبَتَّةَ. وَإِنْ عَنَيْتُمْ أَنَّهُمْ مَا عَرَفُوا اللهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ بِالدَّلِيلِ، فَبِئْسَ مَا قُلْتُمْ
Artinya, “[Kalimat beragamalah seperti orang awam] maksudnya bukan lain adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Ta‘ala dan bersandar sepenuhnya kepada-Nya dalam segala hal, sebagaimana yang telah kami jelaskan…
Jika yang kalian maksud adalah bahwa para Sahabat tidak menggunakan istilah-istilah ahli kalam, itu memang benar dan diterima. Namun, hal itu tidak lantas menjadi celaan terhadap ilmu kalam.
Sebagaimana mereka juga tidak menggunakan istilah-istilah para fuqaha (ahli fiqih), dan itu pun tidak berarti ada celaan terhadap ilmu fiqih sama sekali. Tetapi, jika yang kalian maksud adalah bahwa para sahabat tidak mengenal Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya melalui dalil, maka sungguh buruk apa yang kalian katakan!” (Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar Ihya' At-Turats Al-‘Arabi: t.t.], jilid II, halaman 331).
Walhasil, kalimat “Dinul ‘Ajaiz” bukanlah ajakan untuk meninggalkan semangat mendalami ilmu agama, melainkan penekanan bahwa ilmu yang mendalam seharusnya memperkuat iman, bukan menjerumuskan ke dalam kebimbangan.
Jalan sederhana yang ditempuh oleh orang-orang awam dalam beragama justru menjadi simbol keikhlasan, ketenangan, dan sikap berserah diri kepada Allah. Pada akhirnya, upaya menuntut ilmu dan mengamalkannya harus selalu diiringi dengan kerendahan hati, ketulusan, dan doa agar Allah menutup kehidupan kita dengan husnul khatimah. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
6
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua