Ilmu Hadits

Ini Enam Fungsi Asbabul Wurud Hadits

Sel, 28 Mei 2019 | 10:00 WIB

Ini Enam Fungsi Asbabul Wurud Hadits

(Foto: @via at-thahawi.com)

Untuk memahami konteks yang tersimpan dalam sebuah hadits, seseorang membutuhkan pengetahuan akan kehidupan Nabi SAW secara mendetail, khususnya kejadian-kejadian yang berkaitan dengan munculnya sebuah hadits. Hal ini oleh para ulama disebut sebagai asbabul wurud hadits.

Ilmu asbabul wurud memiliki beberapa fungsi. Secara umum, fungsi-fungsi dari asbabul wurud ini telah tergambar dalam definisi asbabul wurud menurut As-Suyuthi, yaitu:

ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطلاق أوتقييد أو نسخ أو نحو ذالك.

Artinya, “Setiap hal yang menjadi metode untuk membatasi makna hadits, baik dari makna umum, khusus, mutlak-muqayyad, atau naskh, dan semacamnya.”

Atau dalam bahasa yang lebih mudah, As-Suyūṭī menyebutnya dengan:

ما ورد الحديث أيام وقوعه

Artinya, “Suatu kejadian yang mengiringi sebuah hadits pada masa terjadinya kejadian tersebut,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Dalam definisinya di atas, As-Suyūṭī menjelaskan enam fungsi asbabul wurud.

Pertama, Takhshīsul ʽAmm
Salah satu contoh dari faedah ini adalah hadits yang menjelaskan bahwa pahala orang yang shalat dengan duduk adalah setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri.

صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم

Artinya, “(Pahala) shalat orang yang duduk adalah setengah dari pahala shalat dengan berdiri.”

Hadits di atas sebenarnya bukan untuk semua orang yang shalat dengan duduk, melainkan hanya untuk orang yang shalat dengan duduk dalam keadaan tertentu. Hadits di atas mungkin secara sekilas kelihatan masih umum. Tapi jika kita runut asbabul wurudnya, hadits tersebut ditujukan kepada orang-orang di Madinah saat itu yang shalat dengan duduk.

Pada saat itu nabi mengetahui, Nabi pun bertanya kepada Abdullāh bin Umar terkait alasan mereka shalat duduk. Mereka menjawab bahwa mereka shalat duduk karena mereka terkena wabah penyakit panas. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Para sahabat yang masih mampu berdiri pun lebih memilih berdiri daripada duduk, (Lihat At-Ṭhabrānī, Musnadus Syamīyyīn, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1984 M], juz I, halaman 370).

As-Suyūṭī pun menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pahala setengah dari orang yang berdiri adalah untuk orang-orang yang masih kuat dan mampu untuk berdiri tetapi ia lebih memilih duduk.

Dalam hadits lain riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak meninggal hingga beliau shalat dengan duduk.

عن جابر بن سمرة أن النبي ﷺ لم يمت حتى صلى قاعدا.

Artinya, “Dari Jābir bin Samurah bahwa Rasulullah SAW tidak meninggal dunia hingga beliau shalat dengan duduk,” (Lihat Muslim, Ṣhaḥīḥ Muslim, [Beirut, Dāru Jil: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 165).

Ini menunjukkan bahwa Rasul SAW selalu dengan sekuat tenaga berusaha berdiri hingga beliau sakit parah yang menyebabkan kewafatannya. Artinya, Rasul hanya shalat dengan duduk ketika ia sakit parah yang menyebabkan ia meninggal dunia, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Kedua, Taqyīdul Muṭhlāq
Yang dimaksud dengan taqyīd al-muṭlāq adalah pembatasan kata yang masih terlalu umum. Salah satu contohnya adalah hadits tentang balasan bagi orang yang berbuat baik kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut akan mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang-orang tersebut.

من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له مثل أجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة سيئة كان عليه مثل وزر من عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شيء

Artinya, “Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik  yang diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah melakukannya. Siapun orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek maka maka ia mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah melakukannya,” (Lihat Abdullāh Abū Muḥammad Ad-Dārimī, Sunan Ad-Dārimī, [Beirut, Dārul Kutub: 1407 H], juz I, halaman 60).

Dalam hadits di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai dengan tanda nakirah, yaitu tanwīn (ـً). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, perbuatan baik seperti apa? Apakah perbuatan baik yang terdapat unsur dalilnya dalam naṣ agama atau boleh juga perbutan baik yang tidak ada naṣ agamanya?

Menurut As-Suyūṭī, yang dimaksud sunnah hasanah dalam hal ini adalah perbuatan baik yang terdapat dalam naṣ agama. As-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadits yang lebih lengkap, bahwa suatu hari Rasul SAW berkhotbah dan berpesan untuk bertakwa, kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang untuk disedekahkan, mulai baju, uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada seseorang Ansor yang datang dengan bungkusan yang sangat berat dan membuatnya tak bisa mengangkatnya, hingga wajah Rasul SAW terlihat semringah. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. (Lihat Al-Bazzār, Musnad Al-Bazzār, [Madinah, Maktabah Ulūm wal Hukm: 2009 M], juz X, halaman 145).

Dari redaksi hadits yang disebutkan secara lengkap di atas, As-Suyūṭi berkesimpulan bahwa yang dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadits di atas, adalah perbuatan baik yang telah diajarkan Rasul dalam naṣ agama, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Ketiga, Tafṣīlul Mujmal
Yang dimaksud dengan tafṣīlul mujmal adalah memperinci sesuatu yang masih global. Contoh dari faedah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mālik tentang Rasulullah SAW yang memerintahkan Biāl untuk menggenapkan kalimat azan dan mengganjilkan kalimat iqamah.

أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة

Artinya, “Bilāl diperintahkan untuk menggenapkan kalimat adzan (dua-dua) dan mengganjilkan kalimat iqamah (satu-satu).”

Namun hadits ini seolah bertentangan dengan pendapat jumhūr ulama yang menyebutkan bahwa kalimat takbir dalam adzan itu tidak hanya dua kali, tapi empat kali (tarbīʽ). Sedangkan kalimat takbir dalam iqamah adalah dua kali.

Yang dimaksud mengganjilkan dalam hadits di atas adalah empat kali. Hal ini bisa dilihat dari asbabul wurud hadits tersebut yang menjelaskan sejarah kalimat adzan, yaitu melalui proses mimpi Abdullāh bin Zaid. Kemudian Abdullāh datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya, yaitu menyebutkan kalimat takbīr empat kali saat adzan dan dua kali saat iqamah. Baru kemudian Rasul SAW meminta Abdullāh mengajarkan kalimat itu kepada Bilāl, (Lihat Ibnu Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1993 M], juz IV, halaman 572).

Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī bahwa asbabul wurud hadits di atas, yang berupa penjelasan Abdullāh bin Zaid tentang kalimat lengkap adzan menjelaskan hal-hal yang masih global dalam kalimat menggenapkan dan mengganjilkan.

Keempat, Membatasi hadits yang menjadi nāsikh (penghapus) dan menjelaskan nāsikh dan mansūkh.
Seperti contoh dalam sebuah hadits yang menjelaskan bahwa orang yang berbekam dan orang yang membekam puasanya batal.

أفطر الحاجم والمحجوم

Artinya, “Batal puasanya orang yang membekam dan dibekam,” (HR Ahmad).

Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang berbekam tidak batal, karena Rasulullah SAW juga pernah berbekam dalam keadaan sedang puasa dan sedang berihram.

إحتجم النبي ﷺ وهو صائم محرم

Artinya, “Rasulullah Saw berbekam dan beliau dalam keadaan sedang puasa dan berihram (menggunakan pakaian ihram),” (HR Ibnu Mājjah).

Juga dalam hadits lain riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa orang yang mimpi basah, muntah, dan berbekam tidak membatalkan puasa.

لا يفطر من قاء ولا من احتلم ولا من احتجم

Artinya, “Tidak batal puasa orang yang mutah (tidak disengaja), mimpi basah, dan berbekam,” (HR Abu Dawud).

Secara sekilas kelihatan bahwa hadits yang pertama dinasakh. As-Suyuṭī menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hadits mana yang menasakh dan dinasakh. Imam Alī bin Al-Madīnī dan Ibnu Mundzīr berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang pertama. Sedangkan Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang kedua, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 15).

Dalam riwayat Al-Baihaqi disebutkan bahwa sebab Rasul bersabda tentang batalnya puasa dua orang yang sedang berbekam, baik dari orang yang membekam maupun dibekam adalah kerena keduanya juga melakukan ghibah.

مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل بين يدي حجام وذلك في رمضان وهما يغتابان رجلا فقال افطر الحجام والمحجوم

Artinya, “Rasulullah SAW berjalan di antara dua orang yang sedang melakukan bekam. Dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan, keduanya sedang menggunjing orang lain. Kemudian Rasul SAW bersabda, telah batal puasanya orang yang membekam dan dibekam,” (Lihat Al-Baihāqī, Syuʽābul Īmān, [Beirut, Darul Fikr: 1410 H], juz V, halaman 307).

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pertantangan dan nasikh mansukh antara satu hadits di atas dengan yang lain. Hanya saja hadits yang pertama perlu dicari asbābul wurūdnya untuk mengurai dan menjelaskan apakah ada nasakh dan mansukh.

Kelima, Menjelaskan illat suatu hukum
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasul SAW pernah melarang seorang untuk minum langsung dari mulut sebuah wadah air (kendi). Dalam hadits yang lain dijelaskan bahwa ada seseorang yang minum dari mulut sebuah kendi kemudian perutnya sakit.

Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī, bahwa asbabul wurud bisa digunakan untuk melihat illat suatu hukum. Dalam kasus minum air ini, illatnya adalah dapat membuat sakit perut, tersedak, dan lain sebagainya, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 17).

Keenam, Menjelaskan hal yang masih musykil (sulit dipahami)
Contohnya ketika Rasul SAW bersabda bahwa orang yang diperdebatkan hisabnya, dia akan diazab. Lalu Aisyah bertanya bukankah hisab akan dipermudah. Kemudian Rasul menjawab, yang dimaksud hisab itu adalah hanya diperlihatkan (عرض). Sedangkan orang yang diperdebatkan hisabnya dia akan hancur.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari.

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى ( فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا ) قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ

Artinya, “Sungguh Aisyah istri Nabi SAW tidaklah mendengar sesuatu yang tidak dia mengerti kecuali menanyakannya kepada Nabi SAW sampai dia mengerti, dan Nabi SAW pernah bersabda, ‘Siapa yang dihisab berarti dia disiksa’ Aisyah berkata, maka aku bertanya kepada Nabi, ‘Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Kelak dia akan dihisab dengan hisab yang ringan.’’ Aisyah berkata, maka Nabi SAW bersabda, ‘Sungguh yang dimaksud itu adalah pemaparan (amalan). Akan tetapi barang siapa yang didebat hisabnya pasti celaka,’" (Lihat Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, [Beirut, Dāru Ṭūqin Najāt: 1422 H], juz I, halaman 32).

Hadits di atas menunjukkan bahwa sababu wurūdil hadits bisa digunakan sebagai penjelas atas hal yang masih musykil. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat Kajian Tafsir dan Hadits.