Kajian Hadits: Amarah yang Tidak Terkendali Merupakan Sumber Kerusakan
Kamis, 25 Juli 2024 | 07:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Kemarahan sepele menjadi penyebab banyaknya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak muda, sebagaimana diberitakan di sejumlah media. Faktor di balik kasus-kasus pembunuhan tersebut di antaranya adalah karena emosi tak terkendali, balas dendam, asmara, konflik sosial, membantu teman, menguasai harta, KDRT non-asmara, konflik keluarga, dan lain-lain.
Problem terkait emosi memang melekat pada anak muda, sehingga kerap disebut sebagai sosok yang labil dan emosional. Dalam hal ini, manajemen emosional bagi anak muda memang sangat penting. Seseorang yang memiliki kemampuan manajemen emosional yang baik cenderung memiliki sikap problem solving baik, alih-alih menyalurkannya pada hal-hal negatif hingga tindakan kriminal. (Yandari Agnes Theresia Tambunan dan Annastasia Ediati, Problem Emosi Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orangtua, [Jurnal Empati, 2016], hal. 341).
Salah satu sifat yang rentan menjadi pemicu tindakan kriminal adalah marah. Dalam KBBI, marah diartikan sebagai respons dari sikap tidak senang, entah karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya dan sebagainya.
Baca Juga
Kenapa Anak Muda Gampang Marah?
Ekspresi marah beragam bentuknya. Bunuh diri merupakan ekspresi marah masyarakat Sri Lanka. Perilaku agresi merupakan ekspresi marah narapidana di India dan Australia. Kenakalan remaja hingga bunuh diri merupakan salah satu ekspresi marah remaja di Amerika Serikat. (Safiruddin Al Baqi, Ekspresi Emosi Marah, [Buletin Psikologi, 2015], hal. 22).
Marah memang tidak selalu negatif, karena pada dasarnya manusia dibekali dengan perasaan dan emosi yang muncul sebagai respons terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Marah boleh saja karena merupakan tanda kemanusiawian kita, akan tetapi menuangkannya dalam perilaku negatif itulah yang dilarang.
Oleh sebab itu, dalam Islam, Rasulullah saw menasihati agar para sahabatnya dapat menahan diri dari marah. Nasihat ini dilontarkan oleh Rasulullah saw tidak lain agar mereka tidak terjatuh kepada tindakan-tindakan negatif yang muncul karena emosi sesaat. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw, ‘Berilah aku wasiat’. Nabi saw bersabda, ‘Janganlah kamu marah.’ Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap menjawab, ‘Janganlah kamu marah’.” (HR Al-Bukhari).
Sebagaimana telah kita sebut sebelumnya, bahwa marah merupakan sikap manusiawi yang dapat terjadi kepada siapa pun dan kapan pun, sehingga hadits Nabi saw di atas tidak serta merta melarang orang-orang untuk marah. Lantas apa maknanya?
Al-Khattabi berpendapat, maksud dari larangan marah dalam hadits tersebut adalah perintah menghindari sesuatu yang memicu kemarahan. Adapun sikap marah itu sendiri tidak dapat dihindari karena merupakan sifat alami manusia yang melekat dalam diri. Tampak bahwa interpretasi al-Khattabi tidak berkaitan dengan sosok sahabat yang meminta nasihat.
Sebagian ulama lain mengungkapkan interpretasi yang erat dengan sosok penanya dalam hadits, yaitu boleh jadi sahabat yang bertanya merupakan tipikal pemarah, sedangkan Nabi saw memerintahkan serta menasihati setiap orang yang konsultasi kepadanya sesuai dengan kondisi yang paling sesuai dengan penanya (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid X, hal. 520).
Serupa dengan pendapat al-Khattabi, Ibnu Hibban berpendapat hadits di atas maksudnya adalah larangan untuk melakukan sesuatu setelah marah, bukan dilarang dari perasaan yang menjadi sifat alamiah, di mana tidak ada jalan bagi manusia untuk menghindarinya. (Al-Qasthallani, Irsyadus Sari, [Mesir: al-Mathba’atul Kubra, 1323], jilid IX, hal. 72).
Sebagaimana marah adalah perasaan yang muncul secara alamiah dari dalam diri manusia, maka supaya tidak terjadi hal-hal yang negatif, perlu adanya tindakan-tindakan pencegahan yang harus dilatih. Ketika seseorang sudah terbiasa memanajemen amarahnya, maka perilaku negatif ketika sedang emosi tidak akan terjadi. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijjariyah, 1356], jilid VI, hal. 413).
Dengan adanya pesan Rasulullah saw pada sabda di atas, maka penting bagi kita semua untuk mulai melatih diri agar emosi yang reflek terjadi dalam situasi apapun tidak menggiring diri kita kepada kecenderungan yang negatif.
Apabila kita melihat teks hadits, sebenarnya Nabi saw pernah menawarkan teknik manajemen emosi yang sederhana ketika amarah memuncak, yaitu dengan mengubah posisi yang tadinya berdiri kemudian duduk, jika belum hilang maka hendaknya berbaring. Diriwayatkan dari Abu Dzarr, Rasulullah saw bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ، وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِع
Artinya, “Jika salah seorang di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang, maka cukup. Akan tetapi belum, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud).
Selain itu, Rasulullah saw juga menawarkan manajemen menahan amarah dengan cara berwudhu. Tujuannya agar amarah yang membara dapat dipadamkan dengan wasilah air yang digunakan untuk beribadah. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya, “Sesungguhnya amarah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud)
Sebagai kesimpulan, kemarahan yang tidak terkontrol dapat membawa dampak buruk yang merugikan, terutama di kalangan anak muda. Penting untuk dipahami bahwa marah adalah respons emosional alami yang dimiliki oleh setiap manusia, namun bagaimana cara kita mengelolanya menjadi kunci utama dalam mencegah perilaku negatif yang muncul setelahnya.
Dengan memperhatikan nasihat-nasihat Rasulullah saw, kita dapat belajar untuk mengelola emosi dengan lebih baik. Selain itu, penting juga bagi keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam mengajarkan dan menerapkan manajemen emosional yang efektif kepada generasi muda.
Dengan demikian, diharapkan kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan yang dipicu oleh kemarahan dapat diminimalisasi, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih aman dan harmonis bagi semua. Wallahu a’lam
Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua