Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Benarkah Allah Punya Bentuk?

Jumat, 8 November 2024 | 18:15 WIB

Kajian Hadits: Benarkah Allah Punya Bentuk?

Benarkah Allah punya bentuk? (NU Online).

Ilmu hadits adalah ilmu yang erat hubungannya dengan cabang ilmu lain, seperti ilmu sejarah, fiqih, tafsir, tasawuf, dan lainnya. Barangkali semua cabang ilmu keislaman memiliki hubungan erat dengan ilmu hadits.
 

Hal tersebut dikarenakan hadits adalah sumber primer syariat Islam setelah Al-Qur'an. Karenanya segala hal tentang syariat ditemukan dalam hadits. Hal-hal tentang ketuhanan yang kemudian menjadi cabang ilmu tersendiri, yaitu ilmu kalam. 
 

Salah satu hadits yang membicarakan materi ilmu kalam adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadits ini menarik banyak perhatian. Pasalnya hadits tersebut memuat makna yang sukar dipahami. Hadits tersebut berbunyi:
 

خَلَقَ اللهُ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
 

Artinya, "Allah menciptakan Nabi Adam sesuai dengan shurahnya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Shurah secara bahasa berarti bentuk. Karena itu secara bahasa, hadits tersebut artinya "Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya".
 

Kata ganti (dhamir) "nya" inilah yang menjadi muara perbedaan pendapat para ulama dalam menjelaskan maksud hadits. Siapa yang dikehendaki Rasulullah saw dengan kata ganti "nya" tersebut?
 

Masing-masing ulama memberikan lebih dari satu pendapat. Kemudian berangkat dari perbedaan ini, ulama berbeda memaknai kata shurah. Berikut ini beberapa pendapat yang disampaikan para ulama, penulis susun berdasarkan perbedaan memahami kata ganti di atas.
 

Pendapat Pertama

Pendapat ini memandang hadits tersebut dan mengaitkannya dengan kalimat sebelumnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
 

إذا ضرب أحدكم فليتجنب الوجه، ولا يقل قبح الله وجهك ووجه من أشبه وجهك، فإن الله تعالى خلق آدم على صورته
 

Artinya, "Ketika kalian memukul seseorang, hindarilah area wajah, dan jangan mengatakan: Semoga Allah menjelekkan wajahmu dan wajah orang yang mirip denganmu. Karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam sama dengan bentuknya" (HR Ahmad).
 

Kata ganti "nya" merujuk kepada orang yang dipukul dan dihina wajahnya. Maksudnya, bentuk wajah orang tersebut sama dengan bentuk wajah Nabi Adam, karena orang tersebut adalah keturunan Nabi Adam as.
 

Penulis pahami yang dimaksud sama di sini adalah sama secara umum, memiliki kedua mata yang di antara keduanya terdapat hidung, di atas mata ada alis, dan seterusnya. Artinya, semua manusia memiliki bentuk wajah yang sama dengan leluhur tertua mereka yaitu Nabi Adam, bukan sama dengan spesies makhluk lain. 
 

Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Khuzaimah. Ia mengatakan:
 

معنى قوله: «خلق آدم على صورته» ، الهاء في هذا الموضع كناية عن اسم المضروب، والمشتوم، أراد صلى الله عليه وسلم أن الله خلق آدم على صورة هذا المضروب، الذي أمر الضارب باجتناب وجهه بالضرب، والذي قبح وجهه، فزجر صلى الله عليه وسلم أن يقول: «ووجه من أشبه وجهك» ، لأن وجه آدم شبيه وجوه بنيه، فإذا قال الشاتم لبعض بني آدم: قبح الله وجهك ووجه من أشبه وجهك، كان مقبحا وجه آدم صلوات الله عليه وسلامه
 

Artinya, "Kata ganti 'nya' pada hadits merujuk pada orang yang dipukul dan dicaci. Rasulullah saw bermaksud memberi tahu bahwa Allah menciptakan Adam dengan bentuk yang sama dengan orang yang ia pukul dan ia caci.
 

Lalu beliau melarang untuk memukul wajahnya, dan tidak mengatakan, 'Semoga Allah memperburuk wajahmu dan wajah orang yang mirip denganmu.' Karena ucapan itu berarti menghina Nabi Adam. Karena wajah Adam sama dengan keturunannya." (Kitabut Tauhid, [Riyadh, Maktabatur Rusyd: 1994], juz I, halaman 84). 
 

Selain Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Al-Kalabadzi juga berpendapat sama. Pendapat ini juga dikutip banyak ulama di kitab-kitab ilmu kalam. (Bahrul Fawaid, [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyyah: 1999], halaman 77).
 

Pendapat Kedua 

Pendapat ini memandang hadits di atas meskipun diawali dengan kalimat lain, namun kalimat "Allah menciptakan Adam sesuai dengan shurahnya" adalah kalimat yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan kalimat sebelumnya.
 

Ulama yang berpendapat demikian memandang bahwa kata ganti "nya" di akhir hadits merujuk kepada Nabi Adam as, dan makna shurah adalah bentuk fisik. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Bakar Al-Kalabadzi. Ia mengatakan:
 

ومعنى قوله: خلق الله آدم على صورته التي كان عليها يوم قبض أي: لم يكن علقة، ثم مضغة، ثم عظما، ثم مكسوا لحما، ثم طفلا، ثم بالغا أشده، ثم شيخا، أي لم يخلق أطوارا، بل خلق على الصورة التي كان بها
 

Artinya, "Makna hadits adalah Allah menciptakan Adam dengan bentuk fisik yang sama seperti dia wafat. Maksudnya, Allah tidak menciptakan Adam bertahap mulai dari segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu menjadi kerangka tulang yang dibungkus daging, lalu menjadi seorang anak, lalu beranjak dewasa, lalu menua. Allah menciptakannya dengan bentuk fisik yang tetap mulai dari diciptakan hingga wafat." (Al-Kalabadzi, 77).
 

Pendapat Ketiga

Dalam memahami hadits, pendapat ini berangkat dari sudut pandang yang sama dengan pendapat kedua. Kalimat hadits adalah kalimat yang independen, memiliki maknanya sendiri dan tidak berkaitan dengan kalimat sebelumnya.
 

Namun pendapat ini berbeda dalam menentukan siapa yang dimaksud dengan kata ganti "nya" pada hadits. Para ulama pengusung pendapat ketiga mengatakan bahwa kata ganti tersebut merujuk pada Allah swt. Hal ini berdasarkan riwayat lain dari hadits ini yang berbunyi:
 

لا تقبحوا الوجه فإن ابن آدم خلق على صورة الرحمن
 

Artinya, "Jangan menghina wajah, karena keturunan Adam diciptakan sesuai dengan shuroh Allah yang maha belas kasih", (Ibnu Khuzaimah, I/85).
 

Para ulama yang meyakini kesahihan riwayat ini, mengategorikan hadits ini sebagai nushush mutasyabih (dalil yang memberi prasangka Allah menyerupai makhluk), yang mana ada dua cara dalam menyikapinya, yaitu tafwidh dan ta'wil. Ini Sebagaimana disampaikan oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-'Asqalani. An-Nawawi mengatakan:
 

فهو من أحاديث الصفات وقد سبق في كتاب الإيمان بيان حكمها واضحا ومبسوطا وأن من العلماء من يمسك عن تأويلها ويقول نؤمن بأنها حق وأن ظاهرها غير مراد ولها معنى يليق بها
 

Artinya, "Hadits ini termasuk hadits tentang sifat Allah. Dan telah dijelaskan secara luas pada bab Iman tentang hukum hadits semacam ini. Sebagian ulama ada yang enggan melakukan ta'wil pada nushush mutasyabihat, dan berkata: Kami mengimani hadits-hadits tersebut, dan kalimat-kalimat tersebut memiliki makna yang layak (yang hanya diketahui Allah), bukan makna dzahirnya yang dikehendaki." (Syarhu Shahih Muslim, [Beirut, Daru Ihya'it Turatsil 'Araby: 1972], juz XVI, halaman 166).
 

An-Nawawi menyampaikan sikap mayoritas ulama salaf, yakni tafwidh. Tafwidh dalam menyikapi hadits ini berarti meyakini bahwa Allah memiliki shurah, dan makna lahiriah dari lafal shurah yang berarti bentuk bukanlah makna yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. Hanya Allah yang mengetahui maknanya. Ibnu Hajar menjelaskan pendapat tafwidh dan ta'wil dengan sedikit lebih luas. Ia mengatakan:
 

قلت: الزيادة أخرجها ابن أبي عاصم في السنة والطبراني من حديث ابن عمر بإسناد رجاله ثقات وأخرجها ابن أبي عاصم أيضا من طريق أبي يونس، عن أبي هريرة بلفظ يرد التأويل الأول قال: من قاتل فليجتنب الوجه فإن صورة وجه الإنسان على صورة وجه الرحمن فتعين إجراء ما في ذلك على ما تقرر بين أهل السنة من إمراره كما جاء من غير اعتقاد تشبيه، أو من تأويله على ما يليق بالرحمن
 

Artinya, "Riwayat yang menyebut kata 'ar-rahman' disebutkan oleh Ibnu Abi 'Ashim dan At-Thabarani dengan sanad yang semua rawinya tsiqah. Ibnu Abi 'Ashim juga menyebut riwayat lain yang membantah kemungkinan ta'wil yang pertama (seperti pendapat pertama).
 

Riwayat tersebut berbunyi: 'Barangsiapa yang memukul, maka hindarilah wajah, karena bentuk wajah manusia sesuai dengan shurah Dzat Allah yang maha belas kasih. Maka hadits ini harus disikapi dengan kaidah yang diyakini ulama ahlussunnah, yaitu meyakininya tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk (tafwidh), atau dita'wil dengan makna yang patut bagi Allah." (Fathul Bari, [Mesir, As-Salafiyyah: 1970], juz V, halaman 183).
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa ada dua cara untuk memaknai hadits tersebut; tafwidh sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan ta'wil, yaitu menafsiri kalimat tersebut dengan tafsir yang patut.
 

Untuk hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menafsiri shurah sebagai sifat. Maka makna haditsnya menjadi Allah menciptakan Adam sesuai dengan sifat sebagaimana sifat Allah. Allah maha mendengar, Adam diciptakan dengan kemampuan mendengar; Allah maha melihat, Adam diciptakan dengan diberi penglihatan; dan seterusnya.
 

Namun, penglihatan dan pendengaran manusia berbeda dengan yang dimiliki Allah. Pendengaran manusia misalnya, adalah kemampuan yang diciptakan Allah yang hanya bisa mendengar suara, sedangkan pendengaran Allah adalah sebuah sifat yang hakikatnya hanya diketahui Allah, dan Allah bisa mendengar selain suara. (Ibnu Hajar, XI/3).
 

Namun, beberapa ulama seperti Ibnu Khuzaimah, Al-Kalabadzi, dan Al-Mazari berpendapat bahwa riwayat yang menyebutkan kata "ar-rahman" ini tidak shahih.
 

Berikut komentar beliau bertiga setelah menjelaskan 'illat (kecacatan) yang ada dalam riwayat tersebut.
 

Al-Kalabadzi mengatakan:
 

فإن كان محفوظا فيجوز أن يكون معناه: أي خلقه على الصورة التي ارتضاها الرحمن
 

Artinya, "Jika riwayat ini mahfudzh (shahih dan tidak syadz), maka maknanya: Allah menciptakan Adam dengan bentuk yang diridhai oleh-Nya", (Al-Kalabadzi, 78).
 

Ibnu Khuzaimah berkata:
 

فإن صح هذا الخبر مسندا بأن يكون الأعمش قد سمعه من حبيب بن أبي ثابت، وحبيب قد سمعه من عطاء بن أبي رباح، وصح أنه عن ابن عمر على ما رواه الأعمش فمعنى هذا الخبر عندنا أن إضافة الصورة إلى الرحمن في هذا الخبر إنما هو من إضافة الخلق إليه لأن الخلق يضاف إلى الرحمن، إذ الله خلقه، وكذلك الصورة تضاف إلى الرحمن، لأن الله صورها
 

Artinya, "Jika riwayat ini shahih, maka penisbatan "bentuk" kepada Allah dengan lafal shuratir rahman bermakna penisbatan makhluk pada penciptanya, karena bentuk Nabi Adam adalah ciptaan Allah." (Ibnu Khuzaimah, I/86).
 

Al-Mazari menjelaskan:
 

قال المازري -إلى أن قال- ورواه بعضهم إن الله خلق آدم على صورة الرحمن وليس بثابت عند أهل الحديث وكأن من نقله رواه بالمعنى الذي وقع له وغلط في ذلك
 

Artinya, "Al-Mazari mengatakan: sebagian rawi meriwayatkan hadits ini dengan lafal yang menyebut kata ar-rahman, riwayat ini tidak shahih. Sepertinya rawi yang meriwayatkan ini meriwayatkan hadits ini secara maknanya saja, tidak persis kalimatnya, lalu ia melakukan kesalahan dengan mengira kata ganti "nya" pada hadits tersebut merujuk pada Allah"
(An-Nawawi, XVI/166).
 

Selain menjelaskan kecacatan pada riwayat tersebut, Al-Kalabadzi dan Ibnu Khuzaimah memberikan opsi penafsiran yang mereka anggap benar andaikan riwayat tersebut shahih.
 

Dari berbagai pendapat ulama tentang hadits yang menjadi perdebatan ini, tidak ada satupun yang mengatakan Allah memiliki bentuk. Karena sesuatu yang memiliki bentuk adalah ciri-ciri makhluk, sedangkan Allah berbeda dengan makhluknya.

Adapun pendapat ulama salaf yang disampaikan An-Nawawi danu Ibn Hajar Al-'Asqalani, ulama salaf hanya mengatakan Allah memiliki shurah, yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah, dan shurah di sini bukan berarti bentuk. Wallahu a'lam.



Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah, Berjan, Purworejo dan Wakil Sekretaris LBM PWNU Jawa Tengah.