Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Berpuasalah, Maka Kamu Akan Sehat

Selasa, 4 Maret 2025 | 21:00 WIB

Kajian Hadits: Berpuasalah, Maka Kamu Akan Sehat

Ilustrasi puasa. (Foto: NU Online)

Puasa di bulan suci Ramadan tidak hanya menjadi ibadah wajib bagi umat Muslim, tetapi juga memiliki banyak manfaat, di antaranya pada kesehatan seseorang, sebagaimana sering didengar dari berbagai kultum Ramadhan, atau melalui konten media sosial.

 

Jika merujuk ke berbagai penelitian terkini, puasa memang berpengaruh kepada kesehatan, baik fisik maupun mental. Shahrul Rahman dalam artikelnya Ramadan Fasting and its Health Benefits: What’s New? menjelaskan bahwa puasa Ramadan menjadi pilihan pengobatan yang efektif untuk diabetes non-insulin ringan hingga sedang, obesitas, dan hipertensi esensial (Macedonian Journal of Medical Sciences, 2022 Jul 27, hlm. 1332).

 

Mengutip booklet dari The Muslim Council of Britain yang disusun oleh para ahli kesehatan, bahwa Puasa Ramadan juga berkaitan erat dengan proses penurunan berat badan melalui mekanisme fisiologis tertentu. (2022, hlm. 6).

 

Dalam Ramadan Health Guide tersebut, para ahli menjelaskan bahwa selama puasa, tubuh beralih dari penggunaan glukosa ke lemak sebagai sumber energi utama, yang mencegah pemecahan otot untuk protein dan membantu penurunan berat badan. Penggunaan lemak sebagai energi juga berkontribusi pada penurunan kadar kolesterol dan pengendalian diabetes.

 

Kajian lain oleh Dae-Kyu Song dan Yong-Woon Kim dalam Beneficial effects of intermittent fasting: a narrative review menyebutkan bahwa puasa intermiten (intermittent fasting) seperti puasa Ramadhan efektif dalam penurunan berat badan sebesar 4-10% pada individu obesitas selama 4–24 minggu. Penurunan berat badan ini berdampak langsung pada peningkatan sensitivitas insulin dan pengendalian glukosa darah. (2023, hlm. 4-11).

 

Proses detoksifikasi juga terjadi selama puasa, di mana racun yang tersimpan dalam lemak tubuh dilarutkan dan dikeluarkan dari tubuh. The Muslim Council of Britain menyebutkan bahwa setelah beberapa hari berpuasa, kadar endorfin dalam darah meningkat, sehingga menghasilkan kesadaran pikiran yang lebih baik dan kesejahteraan mental. (2022, hlm. 6)

 

Beberapa kajian ilmiah di atas menunjukkan bahwa puasa berkontribusi pada kesehatan, baik secara mental maupun fisik. Hanya saja, di balik penjelasan di atas, umat Muslim biasa mengaitkan manfaat kesehatan dalam puasa dengan otoritas dari Rasulullah, berupa hadits yang telah diriwayatkan salah satunya oleh Ath-Thabrani dengan kutipan singkatnya:

 

وَصُومُوا تَصِحُّوا

 

Artinya, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, [Kairo, Darul Haramain, 1415], jilid VIII, hlm. 174)

 

Al-Munawi menjelaskan, hadits di atas mengisyaratkan bahwa puasa tidak hanya berfungsi sebagai ibadah spiritual, tetapi juga memiliki manfaat kesehatan lahir dan batin. Secara fisik, puasa membantu menjaga kesehatan tubuh dengan memberikan waktu istirahat bagi organ pencernaan, membuang racun, dan memperkuat daya tahan tubuh.

 

Sedangkan secara batin, puasa melatih jiwa untuk menahan hawa nafsu, membersihkan hati, dan memperkuat kekuatan rohani. Kesehatan batin ini muncul dari kemampuan puasa dalam menundukkan nafsu, melatih kesabaran, dan meningkatkan ketakwaan.

 

Orang yang berpuasa dengan penuh keikhlasan akan merasakan ketenangan hati, kejernihan pikiran, dan kekuatan ruhani yang memancarkan cahaya iman. Dengan demikian, puasa tidak hanya menyehatkan tubuh secara lahiriah, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual dengan Allah, hingga menjadikan hati bersih dan jiwa semakin dekat kepada-Nya.

 

ففيهِ صحةٌ للبدنِ والعقلِ بالتهيئةِ للتدبرِ والفهمِ وانكسارُ النفسِ إلى رتبةِ المؤمنينَ، والترقي إلى رتبةِ المحسنينَ

 

Artinya, “Maka di dalam puasa memberikan kesehatan bagi jasmani dan akal, karena melatih diri untuk merenung, memahami, serta merendahkan nafsu hingga mencapai derajat orang-orang beriman, lalu naik ke tingkatan muhsinin (orang yang berbuat baik pada orang lain).” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid XV, hlm. 30)

 

Kemudian, para ulama juga menekankan bahwa kesehatan jasmani dan rohani saling berkaitan, di mana kesehatan tubuh menjadi sarana penting dalam menyempurnakan amal ibadah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam penjelasan hadits di atas:

 

وصحة الأبدان مطلوبة؛ لأن بها كمال الدين والدنيا، يقال مفتاح الهدى والصحة الجوع لأن الأعضاء إذا أدنيت لله نور الله القلب وصفى النفس وقوي الجسم

 

Artinya, “Kesehatan badan adalah sesuatu yang dituntut, karena dengan kondisi tubuh sehat, urusan agama dan dunia akan sempurna. Ada yang mengatakan, bahwa kunci petunjuk dan kesehatan adalah rasa lapar, karena jika anggota tubuh dilemahkan dengan niat karena Allah, maka Allah akan menerangi hati, menyucikan jiwa, dan memperkuat tubuh. (At-Tanwir Syarhul Jami’ ash-Shaghir, [Riyadh, Maktabah Darus Salam, 2011], jilid VII, hlm. 15).

 

Kendati demikian, hadits di atas statusnya bermasalah menurut banyak ulama kritikus hadits. Al-Munawi mengutip penilaian Zainuddin al-‘Iraqi, bahwa hadits tersebut dha’if. Ia menyadur riwayat milik Ibnus Sunni dan Abu Nu’aim yang keduanya menurut al-‘Iraqi dha’if. (Faydhul Qadir, jilid XV, hlm. 30 dan Al-Iraqi dalam Al-Mughni 'an Hamlil Asfar, jilid II, hlm. 754).

 

Lebih lengkap lagi, Al-Haitsami mengomentari riwayat Ath-Thabrani, bahwa jika perawi yang meriwayatkan dari Musa bin Zakariya dalam sanad hadits tersebut adalah Syabab bin Suwar, maka Ad-Daraquthni menganggap ada kecacatan padanya. Namun, jika perawi tersebut selain Syabab, maka Al-Haitsami tidak mengenalnya. Sementara itu, perawi lainnya dinilai terpercaya (tsiqah). (Al-Haitsami, Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawa`id, jilid XII, hlm. 166).

 

Dalam literatur lainnya, Musa bin Zakariya sendiri dinilai sebagai perawi yang sangat lemah. Ad-Daraquthni menyebutnya sebagai matruk (ditinggalkan karena kelemahan yang parah dalam periwayatan). Oleh karena itu, sanad hadits ini dianggap dha'if jiddan (sangat lemah). (Lihat komentar ‘Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, [Beirut, Muassasah Ar-Risalah, 1421 H/2001 M], jilid XIV, hlm. 507).

 

Hadits ini juga memiliki jalur periwayatan lain dari Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Ibn Adi dalam Al-Kamil fi Dhu'afa'ir Rijal, namun sanadnya juga dinilai lemah karena terdapat perawi bernama Nahsyal bin Sa'id yang ditinggalkan riwayatnya dan didustakan oleh Ishaq bin Rahawaih (Ibn Adi, Al-Kamil, jilid VII, hlm. 2521).

 

Selain itu, hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri melalui jalur Syarik bin Abdullah, namun sanadnya sangat lemah karena terdapat perawi bernama Suwar bin Mush’ab yang dikenal sebagai perawi yang ditinggalkan haditsnya (matruk). (Ibn Adi, Al-Kamil, jilid III, hlm. 1292).

 

Meskipun hadits ini dinilai dha’if dari segi sanad, para ulama menegaskan bahwa maknanya tetap benar secara medis dan empiris, sebagaimana didukung oleh para pakar kesehatan dan pengalaman umat Islam.

 

Namun, perlu dipahami bahwa Rasulullah tidak memberikan komentar tentang segala hal, termasuk aspek kesehatan dalam berpuasa. Setiap pesan yang disampaikan Rasulullah dan terbukti sahih pasti mengandung kebaikan, tetapi informasi positif juga dapat berasal dari selain Nabi. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta