Kajian Hadits: Rasulullah Tak Rekomendasikan Calon Pasangan yang Kasar dan Emosional
NU Online · Kamis, 25 Juli 2024 | 18:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Kriteria pasangan setiap orang berbeda-beda. Ada yang memasang standar dari segi finansial, rupawan, hingga karakter pribadinya. Ada juga yang mematok untuk tidak menikahi seseorang yang memiliki sifat-sifat negatif tertentu.
Dalam Islam juga tidak ada kewajiban untuk menghindari memilih calon pasangan dengan karakter tertentu. Hanya saja dalam hadits, terdapat rekomendasi agar pria memilih wanita dengan kriteria yang empat sebagaimana disebut dalam hadits:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya, “Perempuan itu dinikahi karena empat kriteria, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Maka pilihlah yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR Al-Bukhari).
Selain itu, beberapa hadits juga berbicara mengenai karakter dan sifat yang direkomendasikan oleh Rasulullah untuk dinikahi, atau bahkan untuk dihindari agar jangan diterima lamarannya karena alasan tertentu.
Misalnya ketika Fatimah binti Qais meminta rekomendasi calon suami yang tepat untuk dipilih antara Abu Jahm dan Mu’awiyah, sebagaimana dalam beberapa hadits yang cukup panjang, akan tetapi penulis ambil kutipan inti yang sesuai dengan tema yang sedang dibahas di bawah ini:
أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ وَلَكِنْ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Artinya, “Bahwa Mu'awiyah bin Sufyan dan Abu Jahm telah melamar Fatimah binti Qais. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Adapun Abu Jahm maka ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundak, adapun Mu'awiyah maka ia adalah orang yang miskin tidak memiliki harta. Akan tetapi menikahlah dengan Usamah bin Zaid’.” (HR An-Nasa’i)
Kemudian dengan riwayat yang serupa, Muslim bin al-Hajjaj menyebutkan dalam Shahih Muslim:
عَنۡ فَاطِمَةَ بِنۡتِ قَيۡسٍ، أَنَّ أَبَا عَمۡرِو بۡنَ حَفۡصٍ طَلَّقَهَا الۡبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرۡسَلَ إِلَيۡهَا وَكِيلَهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتۡهُ. فَقَالَ: وَاللهِ، مَا لَكِ عَلَيۡنَا مِنۡ شَيۡءٍ، فَجَاءَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَذَكَرَتۡ ذٰلِكَ لَهُ. فَقَالَ: (لَيۡسَ لَكِ عَلَيۡهِ نَفَقَةٌ). فَأَمَرَهَا أَنۡ تَعۡتَدَّ فِي بَيۡتِ أُمِّ شَرِيكٍ. ثُمَّ قَالَ: (تِلۡكَ امۡرَأَةٌ يَغۡشَاهَا أَصۡحَابِي، اعۡتَدِّي عِنۡدَ ابۡنِ أُمِّ مَكۡتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعۡمَىٰ تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلۡتِ فَآذِنِينِي) قَالَتۡ: فَلَمَّا حَلَلۡتُ ذَكَرۡتُ لَهُ، أَنَّ مُعَاوِيَةَ بۡنَ أَبِي سُفۡيَانَ وَأَبَا جَهۡمٍ خَطَبَانِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَمَّا أَبُو جَهۡمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنۡ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعۡلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ. انۡكِحِي أُسَامَةَ بۡنَ زَيۡدٍ) فَكَرِهۡتُهُ ثُمَّ قَالَ: (انۡكِحِي أُسَامَةَ) فَنَكَحۡتُهُ. فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيۡرًا، وَاغۡتَبَطۡتُ بِهِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa Abu ‘Amr bin Hafsh menceraikannya dengan talak terakhir sementara Abu ‘Amr tidak hadir. Dia mengutus wakilnya kepada Fatimah dengan membawa jelai, lalu Fathimah marah karenanya. Utusan itu berkata, Demi Allah, engkau tidak memiliki hak atas kami sedikit pun. Lalu Fatimah datang kepada Rasulullah saw dan menyebutkan kejadian itu. Beliau bersabda, Engkau tidak memiliki hak nafkah apa-apa atas mantan suamimu. Lalu beliau memerintahkan Fatimah agar melalui masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Kemudian beliau bersabda, Tetapi dia adalah seorang wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku. Beriddahlah di tempat Ibnu Ummu Maktum karena dia adalah seorang lelaki yang buta sehingga engkau bisa melepas kerudungmu. Apabila engkau telah selesai iddah, beri tahu aku. Fatimah berkata, Ketika aku telah selesai iddah, aku menyebutkan kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Rasulullah saw bersabda, Adapun Abu Jahm, maka ia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah orang yang sangat fakir, tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid. Aku tidak menyukainya, namun beliau bersabda, Menikahlah dengan Usamah. Aku pun menikahinya. Lalu Allah menjadikan padanya kebaikan sehingga kondisi yang kualami menjadi idaman (para wanita).” (HR Muslim).
Adapun Al-Hakim an-Naisaburi meriwayatkan dalam al-Mustadrak:
أن فاطمة بنت قيس أخت الضحاك بن قيس أخبرته، وكانت عند رجل من بني مخزوم، وذكر الحديث بطوله، وقال في آخره: فلما انقضت عدتها خطبها أبو جهم ومعاوية بن أبي سفيان ، فاستأمرت النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال: أما معاوية فصعلوك لا مال له، وأما أبو جهم فإني أخاف عليك شقاشقه. فأمرني بأسامة بن زيد، فتزوجت أسامة بن زيد
Artinya, “Fatimah binti Qais, saudari dari Dhahhak bin Qais, menceritakan bahwa ia pernah menjadi istri seorang pria dari Bani Makhzum. Dalam ceritanya yang panjang, ia berkata pada bagian akhirnya: ‘Setelah masa iddahnya berakhir, ia dilamar oleh Abu Jahm dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ia pun meminta pendapat Nabi saw.’ Nabi bersabda: ‘Adapun Mu'awiyah adalah seorang miskin yang tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm, aku khawatir ia akan sering memukulmu.’ Lalu Nabi menyarankan agar ia menikah dengan Usamah bin Zaid, maka Fatimah pun menikah dengan Usamah bin Zaid.” (HR Al-Hakim)
Abu Jahm dan tongkat di pundaknya
Artikel ini ingin menggarisbawahi Abu Jahm sebagai salah seorang yang melamar Fatimah binti Qais, Rasulullah saw meminta Fatimah untuk tidak menerima lamarannya. Alasannya diungkapkan dengan kalimat yang dipandang oleh para ulama antara hakikat atau metaforis, sehingga tafsirannya perlu dilihat dalam beberapa kitab syarah.
Sebagian ulama seperti Ibnu Ruslan memandang label yang ingin dikemukakan oleh Rasulullah saw untuk Abu Jahm pada kalimat tersebut adalah ‘ringan tangan’, sehingga khawatir ketika Fatimah binti Qais menjadi istrinya akan terjadi KDRT. (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid X, hal. 157).
‘Ringan tangan’ sendiri dalam ungkapan bahasa Indonesia memiliki makna yang positif dan negatif. dalam makna yang positif maknanya adalah suka menolong, sedang dalam arti yang negatif ‘ringan tangan’ identik melekat pada seseorang yang mudah memukul.
Interpretasi yang diyakini Ibnu Ruslan paling mendekati kebenaran sebagaimana di atas didasari pada riwayat Muslim secara eksplisit, bahwa Abu Jahm sering memukul wanita. Ulama lainnya yang sependapat dengan ini adalah Zakariya al-Anshari sebagaimana ia sebut dalam Asnal Mathalib:
الْمُرَادُ كَثْرَةُ الضَّرْبِ بِدَلِيلِ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
Artinya, “Maksud ungkapan Nabi dalam hadits tersebut adalah Abu Jahm banyak memukul. Landasan makna ini adalah riwayat dalam Shahih Muslim, ‘Adapun Abu Jahm adalah laki-laki yang mudah memukul perempuan’.” (Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid III, hal. 117).
Selain interpretasi di atas, Ibnu Ruslan juga mengakomodasi makna lainnya yang diungkapkan oleh para ulama sebagai makna dari komentar Nabi saw tentang Abu Jahm. Di antara adalah Abu Jahm banyak bepergian sebagaimana disebut al-Qurthubi.
Ada juga yang berpendapat Abu Jahm merupakan sosok yang sering berhubungan seksual sebagaimana disebut oleh ar-Rafi’i dan al-Mundziri. Hanya saja pendapat satu ini tampaknya bertentangan dengan akhlak kenabian karena dinilai keluar dari nilai-nilai yang etis.
Selain itu, ada juga yang memaknai bahwa tingkat kecemburuan Abu Jahm terhadap istrinya sangat tinggi, sehingga Nabi saw mengungkapkannya dengan kalimat tersebut. Kiasan semacam ini disebutkan oleh al-Azhariy. (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, jilid X, hal. 157).
Sabda Nabi saw di atas dengan interpretasi bahwa Abu Jahm mudah memukul dan bersikap keras terhadap wanita dapat menjadi pertimbangan bagi perempuan dalam memilih calon suami. Ibnu Batthal menjelaskan sikap keras Abu Jahm terhadap wanita tidak untuk ditiru, sebab Nabi saw sendiri melarang para suami memukul istri mereka. Di sisi lain, Rasulullah memerintahkan para suami untuk memperlakukan istri dengan penuh keramahan (Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, [Riyadh: Maktabah ar-Rusy, 1423], jilid VII, hal. 312).
Urgensi kematangan emosi pasangan
Kita tidak mengetahui bagaimana tingkat kematangan emosional para sahabat Nabi saw, terkhusus Abu Jahm dalam hal ini. Bukan justifikasi terhadap Abu Jahm yang perlu dikemukakan pada artikel ini, akan tetapi nilai-nilai dan pesan Rasulullah saw agar hendaknya melakukan ‘screening’ terlebih dahulu saat akan memilih pasangan.
Salah satu hal penting yang harus dicek kembali adalah tingkat kedewasaan dan kestabilan emosi calon pasangan. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa keharmonisan keluarga yang bertahan langgeng salah satunya didasari oleh kematangan emosional dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri.
Dengan tingkat kedewasaan yang cukup, pasangan suami istri dapat mendiskusikan dan mendialogkan problematika yang terjadi di rumah tangga dengan akal pikiran yang jernih.
Pada akhirnya, masalah yang muncul terpecahkan tanpa ada pihak yang merasa diberatkan karena keputusan didahului dengan diskusi dan pertimbangan yang matang. (Ega Riana Putri & Lisda Sofia, Kematangan Emosi dan Religiusitas terhadap Keharmonisan Keluarga pada Dewasa Awal, [Psikoboreno: Jurnal Ilmiah Psikologi, 2021], hal. 431).
Risiko dari ketidakmatangan emosi adalah retaknya keharmonisan dalam rumah tangga. Kondisi ini muncul karena salah satu atau kedua pasangan saling menunjukkan egonya masing-masing, sehingga tidak muncul solusi atas problem yang dihadapi. (Julia Eva Putri & Taufik, Kematangan Emosi Pasangan yang Menikah di Usia Muda, [JRTI: Jurnal Riset Tindakan Indonesia, 2017], hal. 3).
Kesimpulan
Memilih pasangan yang matang secara emosional dan tidak pemarah sangatlah penting. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi KDRT di masa yang akan datang. Rasulullah saw melarang para suami berlaku kasar, sekaligus memerintahkan mereka supaya memperlakukan istri dengan penuh kasih sayang. Wallahu a’lam
Amien Nurhakim, Penulis Keislaman dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
2
Paus Fransiskus, Ia yang Mengurai Simpul Kehidupan dan Menyembuhkan Luka-luka Dunia
3
Perkuat Peran Sosial-Ekonomi, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banuroja dan LPPNU Gorontalo Gelar Halaqah Pertanian
4
Cara Cegah Pelecehan Seksual di Institusi Pelayanan Kesehatan
5
Khutbah Nikah: Menjaga Kelanggengan Pernikahan
6
Keteladanan Paus dan Duka Gaza
Terkini
Lihat Semua