Ilmu Hadits

Kasus Pengoplosan Pertamax: Kajian Hadits tentang Korupsi BBM

NU Online  ยท  Rabu, 26 Februari 2025 | 20:00 WIB

Kasus Pengoplosan Pertamax: Kajian Hadits tentang Korupsi BBM

Ilustrasi BBM di SPBU. (Foto: NU Online/Suwitno)

Baru-baru ini, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkap dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) antara Pertamax dan Pertalite yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga. Tindakan ini, yang dilakukan dengan cara membeli Pertalite dan mencampurnya menjadi Pertamax, jelas melanggar hak-hak konsumen dan prinsip transparansi dalam perdagangan.

 

Dugaan korupsi yang melibatkan pengoplosan BBM ini tidak hanya berdampak pada kerugian finansial negara yang diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun, tetapi juga berpotensi merusak kendaraan konsumen yang menggunakan jenis BBM yang tidak sesuai.

 

Lebih jauh lagi, tindakan pengoplosan ini mencerminkan kurangnya integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya energi yang seharusnya dikelola dengan baik oleh pemerintah. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas dan transparan mengenai produk yang mereka konsumsi, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

 

Hal ini mengingatkan kita pada ancaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW mengenai praktik curang dalam jual beli, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pelaku usaha. Beliau pernah bersabda:

 

ุนู† ุงู”ุจูŠ ู‡ุฑูŠุฑุฉูŽุŒ ุงู”ู†ูŽู‘ ุฑุณูˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู ๏ทบ ู‚ุงู„ูŽ: ู…ูŽู†ู’ ุญูŽู…ูŽู„ูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู†ูŽุง ุงู„ุณูู‘ู„ุงุญูŽ ูู„ูŠุณูŽ ู…ู†ูŽู‘ุงุŒ ูˆู…ู†ู’ ุบูŽุดูŽู‘ู†ุง ูู„ูŠุณูŽ ู…ู†ูŽู‘ุง

 

Artinya, โ€œDiriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, โ€˜Siapa pun yang mengangkat senjata kepada kami, maka ia bukan bagian dari kami. Dan siapa pun yang menipu kami, maka ia bukan bagian dari kamiโ€™.โ€ (HR Muslim)

 

Kemudian hadits yang sama dan lebih spesifik soal unsur penipuan dalam jual beli dengan cara mengelabui pembeli atau tidak menampakkan kondisi barang seutuhnya, Abu Hurairah meriwayatkan:

 

ุงู”ู†ูŽู‘ ุฑุณูˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู ู…ุฑูŽู‘ ุนู„ู‰ ุตูุจู’ุฑูŽุฉู ุทุนุงู…ูุŒ ูุงู”ุฏุฎู„ูŽ ูŠุฏูŽู‡ู ููŠู‡ุงุŒ ูู†ุงู„ุชู’ ุงู”ุตุงุจุนูู‡ู ุจู„ู„ู‹ุงุŒ ูู‚ุงู„ูŽ: ู…ุง ู‡ุฐุง ูŠุง ุตุงุญุจูŽ ุงู„ุทุนุงู…ูุŸ ู‚ุงู„: "ุงู”ุตุงุจุชู‡ู ุงู„ุณูŽู‘ู…ุงุกู ูŠุง ุฑุณูˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู. ู‚ุงู„ูŽ: ุงู”ูู„ุง ุฌุนู„ุชูŽู‡ู ููˆู‚ูŽ ุงู„ุทุนุงู…ู ูƒูŠ ูŠุฑุงู‡ู ุงู„ู†ุงุณูุŸ ู…ู† ุบุดูŽู‘ ูู„ูŠุณูŽ ู…ู†ูู‘ูŠ

 

Artinya, โ€œBahwa Rasulullah SAW melewati tumpukan makanan (di pasar), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Ternyata jari-jarinya menyentuh bagian yang basah. Beliau bertanya, โ€˜Apa ini, wahai pemilik makanan?โ€™ Ia menjawab, โ€˜Makanan ini terkena hujan, wahai Rasulullah.โ€™ย Maka beliau bersabda, โ€˜Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar dapat dilihat oleh orang-orang? Siapa saja yang menipu, maka ia bukan termasuk golongankuโ€™.โ€ (HR Muslim)

 

Dalam riwayat Ibnu Majah, terdapat sedikit perbedaan redaksi, namun substansinya tetap sama, yaitu:

 

ุนูŽู†ู’ ุงูŽู”ุจููŠ ุงู„ู’ุญูŽู…ู’ุฑูŽุงุกุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุฑูŽุงูŽู”ูŠู’ุชู ุฑูŽุณููˆู’ู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู ู…ูŽุฑูŽู‘ ุจูุฌูŽู†ูŽุจูŽุงุชู ุฑูŽุฌูู„ู ุนูู†ู’ุฏูŽู‡ู ุทูŽุนูŽุงู…ูŒ ูููŠ ูˆูุนูŽุงุกูุŒ ููŽุงูŽู”ุฏู’ุฎูŽู„ูŽ ูŠุฏูŽู‡ู ูููŠู’ู‡ูุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ู„ูŽุนูŽู„ูŽู‘ูƒูŽ ุบูŽุดูŽุดู’ุชูŽุŒ ู…ูŽู†ู’ ุบูŽุดูŽู‘ู†ูŽุง ููŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ู…ู†ูŽู‘ุง (ุงุจู† ู…ุงุฌู‡)

 

Artinya, Diriwayatkan dari Abu al-Hamraโ€™, ia berkata, โ€œAku melihat Rasulullah melewati seorang lelaki yang memiliki makanan di dalam wadah. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan bersabda, โ€˜Mungkin engkau telah menipu. Barang siapa menipu kami, maka ia bukan bagian dari kami.โ€™โ€ (HR Ibnu Majah).

 

Al-Qurthubi dalam al-Jamiโ€™ li Ahkamil Qurโ€™an menafsirkan โ€˜bukan termasuk golongankuโ€™ sebagai bentuk teguran, bahwa perilaku mengoplos, menipu, memanipulasi, bukan merupakan karakter orang-orang di sekeliling Rasulullah, bukan juga sifat orang yang berpegang teguh pada petunjuk agama (Al-Qurthubi, al-Jamiโ€™ li Ahkamil Qurโ€™an [Riyadh, Dar โ€˜Alamil Kutub, 2003], jilid III halaman 252).

 

Senada dengan Al-Qurthubi, Al-Munawi dalam Faydhul Qadir menjelaskan, bahwa orang-orang yang curang dan menipu bukan bagian orang yang mengamalkan manhaj kami, karena sifat dan jalan hidup Rasulullah adalah zuhud dan tidak rakus terhadap dunia, serta tidak memiliki sifat tamak yang mendorong seseorang untuk menipu (Al-Munawi, Faydhul Qadir [Mesir, al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356], jilid VI, hlm. 186).

 

Perilaku menipu dan mencampur barang dagangan secara diam-diam sangatlah merugikan pembeli, tindakan ini dapat mengundang pelakunya ke dalam api neraka, sebagaimana sabda Nabi:

 

ู…ูŽู†ู’ ุบูŽุดูŽู‘ู†ูŽุง ููŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ู…ูู†ูŽู‘ุง ูˆูŽุงู„ู’ู…ูŽูƒู’ุฑู ูˆูŽุงู„ู’ุฎูุฏูŽุงุนู ูููŠ ุงู„ู†ูŽู‘ุงุฑู

 

Artinya, โ€œSiapa saja yang menipu kami, maka ia bukan bagian dari kami. Dan makar serta tipu daya berada dalam neraka.โ€ (HR Ibnu Hibban)

 

Hadits di atas mengecam pelaku penipuan dengan api neraka. Alasannya menurut Al-Munawi, dorongan utama melakukan penipuan adalah ketamakan dan kerakusan terhadap dunia. Sifat tersebut dapat menyeret seseorang ke dalam neraka (Al-Munawi, Faydhul Qadir..., jilid VI, hlm. 185).

 

Adz-Dzahabi bahkan memahami ancaman keras dalam hadits ini sebagai bukti bahwa tiga perbuatan tersebut termasuk dalam dosa besar, sehingga ia memasukkannya ke dalam daftar dosa besar, sebagai dikutip dari Faydhul Qadir. Terkait penipuan yang digolongkan kepada dosa besar, Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal mengutip kitab az-Zawajir, bahwa penipuan dalam jual beli termasuk ke dalam dosa besar ke-193 (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal [Beirut, Darul Fikr, t.t], jilid V, hlm. 619).

 

Pemaparan ulama di atas terkait alasan penipuan dalam jual beli tergolong dosa besar adalah karena kerugian yang disebabkannya. Penipuan, pemalsuan, pengoplosan, pembajakan, dan tindakan serupa dapat berimplikasi pada kerugian yang besar, apalagi hingga merugikan negara sampai ratusan triliun.

 

Kasus korupsi di tubuh Pertamina hari ini seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum. Tanpa tindakan tegas dan akuntabilitas yang jelas, kejahatan seperti ini akan terus berulang. Korupsi yang terjadi hari ini semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap badan usaha milik negara serta pemerintah. Para pengguna Pertamax yang merasa dirugikan akibat skandal ini adalah pihak yang terzalimi.

 

Entah apakah mereka akan mengadu kepada Tuhan agar ketidakadilan ini dibalas atau memilih untuk bersabar, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Namun, satu hal yang pasti, kezaliman dalam bentuk apa pun tidak akan luput dari pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu aโ€˜lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta