Ilmu Hadits

Makna Lapang Rezeki dan Panjang Umur dalam Hadits Silaturahim

Sel, 11 Juni 2019 | 11:30 WIB

Makna Lapang Rezeki dan Panjang Umur dalam Hadits Silaturahim

Ilustrasi (Youtube)

Banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang keutamaan silaturahim. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahim.”

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud “dilapangkan rezekinya” adalah diluaskan dan dijadikan banyak hartanya, dan menurut pendapat yang lain, artinya adalah diberi keberkahan harta (meskipun secara lahiriah, harta tidak bertambah banyak).

Sedangkan penangguhan ajal seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut, apakah tidak bertentangan dengan ayat:

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ 

... Apabila ajal mereka telah tiba, maka mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesat pun” (Q.S. al-A’raf: 34 dan an-Nahl: 61)? Bukankah rezeki dan ajal telah ditakdirkan oleh Allah, sehingga tidak dapat dimajukan dan ditunda serta tidak dapat bertambah dan berkurang?. Bukankah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, tiada siapa pun yang dapat mengubahnya karena takdir Allah adalah kepastian dan tidak bisa berubah?.

Ada beberapa jawaban yang dikemukakan oleh para ulama untuk memadukan antara hadits dan ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Di antaranya:

Pertama, penambahan umur (penangguhan ajal) yang dimaksud dalam hadits adalah kinayah (kiasan) mengenai berkahnya usia. Artinya, dengan sebab silaturahim, seseorang akan diberi kemampuan berbuat ketaatan, dan diberi kemudahan untuk dapat melalui masa hidupnya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya kelak di akhirat, sekaligus ia dijaga dari tindakan menyianyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadi silaturahim menjadi sebab bagi seseorang untuk memperoleh taufiq (kemampuan berbuat taat) dan menjadi sebab terjaga dari maksiat. Dengan demikian, keharuman namanya akan tetap terjaga meski ia telah meninggal. Di antara yang ia peroleh dengan sebab taufiq yang Allah berikan kepadanya adalah ilmu yang bermanfaat sepeninggalnya, shadaqah jariyah dan keturunan yang shalih.

Kedua, penambahan usia seperti yang disebut dalam hadits di atas, maknanya adalah hakiki (arti sebenarnya), bukan kiasan. Namun yang dimaksud penambahan usia dalam maknanya yang hakiki itu adalah yang terkait dengan ilmu dan pengetahuan malaikat yang ditugasi oleh Allah mengurusi umur. Adapun yang dijelaskan ayat bahwa ajal tidak dapat dimajukan maupun ditunda, maksudnya adalah yang terkait dengan ilmu Allah. 

Dikatakan kepada malaikat, misalkan, bahwa usia Fulan seratus tahun jika ia bersilaturahim, dan jika memutus silaturahim usianya hanya enam puluh tahun. Sedangkan Allah telah mengetahui dan menentukan pada azal (keberadaan yang tidak bermula) bahwa Fulan itu akan bersilaturahim ataukah akan memutuskan silaturahim, dan usianya akan mencapai seratus tahun ataukah hanya enam puluh tahun. Semuanya telah diketahui dan ditakdirkan oleh Allah. Dan tentu saja, takdir dan ketentuan Allah tidak akan berubah sebagaimana dijelaskan dan disepakati oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Jadi apa yang dalam ilmu Allah tidak berubah. Sedangkan yang mungkin menerima penambahan maupun pengurangan adalah yang ada dalam ilmu malaikat. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:

يَمْحُوا اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan pada-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)” (ar-Ra’d: 39)

Penetapan dan penghapusan terkait dengan apa yang ada dalam ilmu malaikat. Inilah yg disebut Qadla’ Mu’allaq. Dan apa yang ada dalam Ummul Kitab, hal itulah yang ada dalam ilmu Allah dan tidak ada penghapusan sama sekali. Inilah yg disebut Qadla’ Mubram.

Semoga bermanfaat.


Ustadz Nur Rohmad, Peneliti Bidang Aqidah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur