Ilmu Hadits

Makna Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah dalam Sabda Rasulullah

Rab, 6 November 2019 | 12:45 WIB

Makna Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah dalam Sabda Rasulullah

Sebagian kelompok secara keliru memaknai "sunnah" dalam sabda Nabi, salah satunya untuk menolak konsep bid'ah hasanah.

Banyak orang yang mengenal istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Istilah ini populer di empat mazhab fiqih yang ada dan dipopulerkan oleh para tokoh mazhab. Namun, kedua istilah ini tak pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad sehingga ada saja segelintir orang yang keberatan dengan istilah ini. Sejatinya, ada istilah lain yang mirip yang justru diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri, yakni istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Kali ini akan dibahas kedua istilah ini agar kaum Muslimin memahami istilah yang digunakan oleh Rasulullah dengan lebih baik.

 

Dalam hadits Nabi yang shahih disebutkan:

 

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

 

“Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).

 

Dalam hadits tersebut jelas sekali Nabi Muhammad membagi kata sunnah menjadi dua versi, yakni versi hasanah (baik) dan versi sayyi’ah (buruk). Tapi apa makna sunnah di sini?

 

Sebagian orang yang mengaku salaf mengartikan sunnah di sini sebagai hal yang memang sudah disyariatkan dengan tegas oleh Nabi Muhammad sebelumnya, tetapi tak dipraktikkan. Menghidupkan kembali sunnah yang terabaikan ini dianggap membuat sunnah hasanah (sanna sunnatan hasanah). Contoh yang diajukan kelompok ini adalah sedekah dan tarawih berjamaah. Keduanya diajarkan Nabi tetapi sempat ditinggalkan sehingga dianjurkan kembali belakangan.

 

Bila tak teliti, memang sepertinya tak ada masalah dengan makna ini, padahal makna ini salah besar dengan dua alasan sebagai berikut:

 

Pertama, sunnah dalam artian tersebut tidak bisa dibagi menjadi hasanah dan sayyi’ah. Pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh kelompok pendaku salaf ini adalah: Bila sunnah diartikan sebagai ajaran yang sudah ditegaskan oleh Nabi Muhammad, maka bagaimana bisa ada versi baik dan versi buruknya? Apakah pernah Nabi mengajarkan sunnah yang buruk yang kemudian tak dipraktikkan lalu ada yang menghidupkannya kembali sehingga berdosa?

 

Tampaknya tak ada kelompok pendaku salaf yang menjelaskan perihal sunnah sayyi’ah ini dengan penjelasan memadai sebab memang akan kontradiktif dengan definisinya sendiri. Bahkan, mengatakan ada sunnah sayyi’ah (dalam arti ajaran Nabi yang buruk) adalah penghinaan besar kepada Rasulullah sehingga tak mungkin ada Muslim yang berani mengatakan itu.

 

Lalu apa makna sunnah dalam konteks yang dibagi dua ini? Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan istilah “sanna sunnah hasanah” sebagai memulai kebaikan (al-ibtida’ bil-khairat) sedangkan “sanna sunnah sayyi’ah” sebagai memulai/membuat-buat berbagai kebatilan dan keburukan (ikhtira’ al-abathil wal-mustaqbahat). Hal ini berarti kata sunnah di situ bukanlah sunnah Rasulullah seperti yang disangka kelompok di atas, tetapi adalah hal baru secara umum yang memang adakalanya baik dan adakalanya buruk (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz VII, halaman 104).

 

Di bagian lain di kitab yang sama, An-Nawawi menjelaskan sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah ini dengan redaksi membuat bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Ia berkata:

 

أَنَّ كُلَّ مَنِ ابْتَدَعَ شَيْئًا مِنَ الشَّرِّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ كُلِّ مَنِ اقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَلِ مِثْلَ عَمَلِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمِثْلُهُ من ابتدع شيأ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ كُلِّ مَنْ يَعْمَلُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً

 

“Bahwasanya setiap orang yang membuat bid’ah (hal baru) yang buruk, maka ia mendapat semisal dosa orang yang mengikutinya dalam perbuatan itu hingga hari kiamat. Begitu juga orang yang membuat bid’ah (hal baru) yang baik, maka ia mendapat semisal pahala orang yang mengikutinya dalam perbuatan itu hingga hari kiamat. Ini sesuai dengan hadits sahih “siapa yang membuat sunnah hasanah...” (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz XI, halaman 166).

 

 

Dengan pengertian seperti ini, maka istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah dalam hadits di atas tidak kontradiktif dan bisa menjadi penjelasan mendetail bagi hadits tentang bid’ah. An-Nawawi mengatakan:

 

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَخْصِيصُ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُومَةُ

 

“Dalam hadits ini ada pembatasan makna sabda Rasulullah semua hal baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat dan bahwasanya yang dimaksud di sana adalah hal baru yang batil dan bid’ah yang buruk saja” (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz VII, halaman 104).

 

Kedua, hadits tersebut memakai redaksi “man sanna sunnatan” dalam arti “siapa pun yang membuat sunnah”. Sudah jelas kata sunnah di sini bukanlah dalam makna sunnah Rasulullah sebab sunnah Rasulullah hanya dibuat oleh Rasulullah saja, tak bisa dibuat oleh siapa pun. Sunnah yang bisa dibuat oleh siapa saja adalah sunnah dalam arti bahasa, yakni segala hal baru secara umum. Ini mencakup hal yang betul-betul baru pertama kali terjadi seperti di dalam kasus pembunuhan oleh Qabil dalam hadits berikut:

 

لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْلَ

 

“Tidaklah suatu jiwa dibunuh secara zalim kecuali putra Adam yang pertama (Qabil) mendapat bagian dosanya sebab dialah yang pertama membuat sunnah pembunuhan” (HR Bukhari).

 

Sunnah berupa pembunuhan di masa Qabil adalah peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya. Qabil-lah manusia pertama yang melakukannya sehingga ia dianggap membuat sunnah berupa pembunuhan. Pembunuhan adalah sebuah sunnah sayyi’ah yang dosanya terus mengalir bagi Qabil.

 

Dalam versi sunnah hasanah atau yang baik, contohnya adalah peringatan maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan setiap tahun. Peringatan semacam ini betul-betul baru sebab tak dikenal sebelumnya di masa salaf, tetapi ia tergolong baik sebab masuk kategori hal yang sesuai dengan kaidah syariat. Imam Abu Syamah al-Maqdisi berkata:

 

وَمن أحسن مَا ابتدع فِي زَمَاننَا من هَذَا الْقَبِيل مَا كَانَ يفعل بِمَدِينَة اربل جبرها الله تَعَالَى كل عَام فِي الْيَوْم الْمُوَافق ليَوْم مولد النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من الصَّدقَات وَالْمَعْرُوف واظهار الزِّينَة وَالسُّرُور

 

“Hal baru yang terbaik (ahsan) dalam kategori ini adalah apa yang dilakukan di kota Irbil, semoga Allah menambalnya dengan kebaikan, pada setiap tahun di hari yang bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang berupa sedekah, kebaikan, dan menampakkan perhiasan dan kebahagiaan” (Abu Syamah, al-Baits ‘ala inkar al-Bida’ wal-Hawadits, 23).

 

Bisa juga sunnah berupa hal yang tak sepenuhnya baru sebab sudah dikenal sebelumnya tetapi kemudian tak dilakukan. Contoh versi hasanahnya adalah memulai memberi contoh dalam sedekah sehingga diikuti orang banyak, melakukan tarawih berjamaah sebulan penuh, dan lain sebagainya yang secara khusus sudah dikenal di masa Nabi sebagai kebaikan. Adapun contoh versi sayyi’ahnya adalah mengawali praktik perjudian atau pesta miras di wilayah yang sebelumnya steril dari perbuatan itu. Ini tergolong menghidupkan kembali sunnah sayyi’ah yang telah dikenal sejak dulu.

 

Kesimpulannya, istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah adalah istilah yang merujuk pada hal baru yang dilakukan orang-orang secara umum. Bila hal baru tersebut masuk kategori baik, maka disebut sunnah hasanah. Bila masuk kategori buruk, maka disebut sunnah sayyi’ah.

 

Istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah ini lebih layak dipakai sehari-hari daripada istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, meskipun istilah terakhir ini juga benar. Namun istilah sunnah hasanah dan sayyi’ah adalah istilah yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW secara langsung, sedangkan istilah bid’ah hasanah dan sayyi’ah tak pernah diucapkan Nabi sehingga sebagian orang yang sangat awam kadang keberatan dengan istilah ini.

 

 

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Sekretaris PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center Jawa Timur