Ilmu Hadits

Menyikapi Dua Hadits yang Tampak Bertentangan

Jum, 24 Februari 2023 | 16:00 WIB

Menyikapi Dua Hadits yang Tampak Bertentangan

Ilustrasi: Kitab hadits (Freepik).

Hadits merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, keabsahannya sebagai sumber hukum ditegaskan oleh banyak dalil. Salah satunya adalah firman Allah: 
 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
 

Artinya, “Apa yang Rasulullah berikan kepadamu sekalian, terimalah, dan apa yang ia larang, tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr: 7). 
 

Namun, kita terkadang menemukan kesulitan dalam memahami makna suatu hadits atau mengomparasikannya dengan hadits lain.
 

Salah satu dari kesulitan tersebut adalah adanya beberapa hadits yang maknanya tampak bertentangan satu sama lain. Bukti nyata dari hal ini adalah kitab Ta’wilu Mukhtalafil Ahadits karya Ibn Qutaibah Ad-Dinawari. Terlepas dari kualitas isi kitab yang mendapat kritikan seperti disampaikan Ibnus Shalah dalam Muqaddimah, dalam kitab tersebut Ibnu Qutaibah mengompromikan hadits-hadits yang tampak bertentangan antara satu dengan lainnya.

 

Lalu ​​​​​​sikap ilmiah seperti apa yang harus ditempuh dalam menghadapi hadits-hadits yang sekilas tampak bertentangan?

 


Pendapat Pertama

Abdul Hayyi Al-Laknawi (1848-1886 M), ulama hadits asal Lucknow, India menjelaskan permasalahan ini. Menurutnya para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Beberapa ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ketika ada hadits yang bertentangan satu sama lain, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari tahu latar belakang waktunya, dalam arti mencari tahu mana hadits yang lebih dahulu disabdakan Rasulullah saw dan mana yang lebih akhir.
 

Jika latar waktu tersebut berhasil diketahui, maka hadits yang diamalkan adalah hadits yang lebih akhir, dengan menggunakan teori naskh, hadits terakhir mengganti hadits pertama. Jika latar waktunya tidak diketahui, maka hadits-hadits yang bertentangan tersebut dikompromikan maknanya, sehingga bisa diamalkan sesuai konteks masing-masing. Teori ini biasa disebut jam’u. Jika tidak mungkin dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut harus ditinggalkan, dalam arti tidak boleh diamalkan.
 

Namun pendapat tersebut dikritik oleh Al-Laknawi sendiri. Menurutnya dengan mendahulukan teori naskh daripada teori jam’u, berarti membuka potensi menggugurkan sebuah hadits yang masih bisa diamalkan.
 

Misal ada dua hadits yang bertentangan, keduanya diketahui latar waktunya, namun juga dapat dikompromikan, sehingga keduanya bisa diamalkan sesuai konteks masing-masing. Jika menggunakan pendapat di atas, salah satu dari kedua hadits tersebut harus ditinggalkan. Al-Laknawi ​​​​​mengatakan:
 

إن إخراج نص شرعي عن العمل به مع إمكان العمل به غير لائق   

 

Artinya, “Menggugurkan sebuah dalil syar’i sehingga tidak bisa diamalkan, padahal ada kemungkinan mengamalkannya, adalah hal yang tidak patut.” (Abdul Hayyi Al-Laknawi, Al-Ajwibatul Fadhilah, [Kairo, Darussalam: 2016], halaman 183).
 

 

Pendapat Kedua

Ibnu Shalah dalam​ Muqaddimah-nya juga menjelaskan permasalahan ini, tepatnya pada bab Mengetahui Hadits yang Bertentangan. Ia mengatakan:
 

اعلم أن ما يُذكَر في هذا الباب ينقسم إلى قسمين. أحدهما: أن يمكنَ الجمعُ بين الحديثين، ولا يتعذر إبداءُ وجهٍ ينفي تنافِيهما. فيتعين حينئذ المصيرُ إلى ذلك، والقولُ بهما معًا. القسم الثاني: أن يتضادا بحيث لا يمكن الجمعُ بينهما، وذلك على ضربين. أحدهما: أن يظهر كونُ أحدهما ناسخًا والآخر منسوخًا، فيُعمَلُ بالناسخ ويُتْرك المنسوخ. الثاني: ألا تقوم دلالة على أن الناسخ أيهما والمنسوخ أيهما؛ فيُفزَع حينئذ إلى الترجيح ويُعْمَلُ بالأرجح منهما والأثبتِ 

 

“Ketahuilah, ada dua macam pembahasan dalam bab ini. 

  1. Ketika hadits yang bertentangan dapat dikompromikan (jam’u), maka harus dilakukan. Kedua hadits yang bertentangan harus diamalkan sesuai konteks masing-masing. 
  2. Ketika hadits yang bertentangan tidak dapat dijam’u, maka ada dua keadaan: (a) diketahui mana hadits yang lebih akhir dari segi latar waktu, maka hadits tersebut menaskh hadits yang lebih dahulu disabdakan Rasulullah saw; (b) tidak diketahui mana yang lebih akhir, maka harus dilakukan tarjih atau mengunggulkan salah satu dalil, dan hadits yang lebih unggul validitasnya itulah yang diamalkan.” (Ibnu Shalah, Ma’rifatu Anwa’i ‘Ulumil Hadits [Beirut: Darul Fikr, 1986], halaman 284-286).


 

Pendapat kedua ini juga diikuti oleh Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Nukhbatul Fikar, dan An-Nawawi dalam At-Taqrib.
 

Lalu bagaimana jika dua hadits yang bertentangan tidak dapat diunggulkan salah satunya?
 

Jalaluddin Al-Mahalli dalam Syarhul Waraqat ketika menjelaskan dua dalil yang bertentangan mengatakan:

 

وإن لم يمكن الجمع بينهما ولم يعلم التاريخ يتوقف إلى ظهور مرجح لأحدهما
 

Artinya, “Jika dua dalil yang bertentangan tidak dapat dijam’u dan tidak diketahui latar belakang waktunya, maka keduanya tidak dapat diamalkan sampai ada perkara yang dapat mengunggulkan salah satu dari kedua dalil tersebut.” (Jalaluddin Al-Mahalli, Syarhul Waraqat ma’a Hasyiyati Syaikh Amjad Rasyid, [Amman, Darul Fath: 2022], halaman 199).
 

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa jika metode tarjih tidak atau belum berhasil, maka kedua hadits yang bertentangan ditangguhkan dalam arti tidak dapat diamalkan sementara. Wallah a'lam.
 

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo