Ilmu Hadits

Tinjauan Status Hadits 'Man Arafa Nafsahu Arafa Rabbahu'

Rab, 17 Januari 2018 | 03:05 WIB

Salah satu ungkapan yang sangat masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam dari dahulu hingga sekarang adalah man arafa nafsahu arafa rabbahu.

ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Banyak yang mempertanyakan otentisitas ungkapan tersebut sebagai hadits Nabi. Benarkah ia sebuah petuah yang langsung disampaikan oleh Nabi SAW atau sebatas kata-kata hikmah seorang ulama yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW?

Lalu bagaimana pula dengan pemaknaannya, apa relasi antara mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan? Sejauh mana pengenalan seseorang terhadap dirinya bisa mengantarkannya untuk mengenal Tuhannya? Beberapa pertanyaan ini akan dijabarkan dalam tulisan sederhana ini.

Sejumlah sarjana seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Az-Zarkasyi, Ibnu Athaillah, dan lain-lain telah melakukan penelitian serius terkait ungkapan tersebut. Pendapat mereka diracik secara apik oleh Imam As-Suyuthi dalam karyanya Al-Hawi lil Fatawa pada sub bahasan Al-Qaulul Asybah fi Haditsi Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu. Terkait persoalan otentisitas, An-Nawawi menegaskan bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas yang kuat sebagai hadits Nabi. Imam As-Suyuthi mengutip pendapat An-Nawawi sebagai berikut:

وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ.

Artinya, “Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab, ‘Ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadits Nabi,’” (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Darul Fikr, 2004, juz II, halaman 288).

Ibnu Taimiyah menilainya sebagai hadits maudhu’. Sedangkan Az-Zarkasyi dalam hadits-hadits masyhurnya mengutip perkataan Imam As-Sam’ani yang menyebutkan bahwa ungkapan itu merupakan perkataan dari seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi.

Adapun Imam As-Suyuthi tidak memberikan komentar apapun terkait kutipan yang ia tuliskan di atas. Kita tidak mengetahui alasan As-Suyuthi tidak menarjih beberapa pendapat tersebut. Tetapi besar kemungkinan pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat ketiga ulama di atas sebelumnya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan di atas berkemungkinan besar bukanlah hadits nabi, melainkan hanya perkataan salah seorang ulama yang bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi yang terlanjur dianggap sebagai hadits oleh sebagian kalangan. Walaupun maknanya benar, tapi setidaknya pembacaan dua orang ulama hadits di atas, yaitu An-Nawawi dan As-Suyuthi cukup menjadi landasan bagi kita untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah hadits, walaupun dari segi makna ia mempunyai cakupan dan kandungan yang sangat dalam dan detail.

Kalau persoalan ini sudah terjawab, lantas bagaimana cara kita menyikapi sebagian kalangan yang sudah terlanjur menganggapnya sebagai hadits? Perlukah kita melarang mereka untuk menyampaikan ungkapan tersebut dalam kajian-kajian mereka? Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pada sikap guru kami almarhum Kiai Ali Mustafa Ya’qub dalam menjawab problem-problem seperti ini, yaitu dengan memberitahukan kepada mereka bahwa ungkapan itu bukanlah hadits nabi, tetapi hanya ucapan seorang ulama sufi semata.

Dengan kejelasan ini, bukan berarti kita melarang mereka untuk menyampaikan isi kandungan dari ungkapan tersebut, tetapi hanya sebagai langkah antisipatif terhadap ancaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sahihnya yang menyebutkan, “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki singgasananya di dalam neraka.” Kita boleh menyampaikan apapun terkait jabaran ungkapan tersebut asalkan tidak menganggapnya sebagai hadits nabi. Apabila hal ini sudah dipahami, maka selesailah masalah terkait ungkapan tersebut.

Selanjutnya, terkait dengan kandungan makna Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya. Wallahu a’lam. (Yunal Isra)