Ilmu Tauhid

Benarkah Iblis Lebih Pintar dari Manusia?

Ahad, 16 Februari 2025 | 18:00 WIB

Benarkah Iblis Lebih Pintar dari Manusia?

Ilustrasi iblis. (Foto: NU Online)

Sebuah akun di media sosial menampilkan konten bahwa iblis merupakan seorang alim yang ahli Al-Qur’an, ahli fiqih, ahli hadits, dan keilmuan lainnya yang melebihi manusia. Isi konten tersebut pada dasarnya merupakan sebuah refleksi supaya seseorang tidak angkuh dan sombong.

 

Beberapa di antara kita tentu pernah mendengar bahwa iblis merupakan sosok yang lebih alim, cerdas, pintar dan pandai dari manusia. Hanya saja, iblis dikenal dengan keangkuhannya, sehingga di tengah masyarakat, terdapat semacam norma atau moral yang memandang negatif seseorang yang unggul secara intelektual, namun tampak terlihat cuek dan tinggi hati.

 

Tentu saja, stereotipe semacam itu muncul dari pemahaman masyarakat terhadap sosok iblis yang digambarkan dalam kitab suci, salah satunya Al-Qur’an. Kisah yang terkenal adalah ketika Adam, manusia pertama diciptakan, dan Allah menyuruh malaikat dan iblis untuk ‘sujud’, namun iblis menolak karena merasa bahwa derajat dirinya lebih tinggi dibanding Adam dari segi asal-muasal bahan penciptaan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 34 disebutkan:

 

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ ۝٣٤

 

wa idz qulnâ lil-malâ'ikatisjudû li'âdama fa sajadû illâ iblîs, abâ wastakbara wa kâna minal-kâfirîn

 

Artinya, “(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.”

 

Jika kita baca sekilas ayat-ayat tentang peristiwa pembangkangan iblis terhadap perintah Allah dalam surat Al-Baqarah, niscaya tidak ada keterangan jelas apakah iblis merupakan sosok yang cerdas nan pandai, sebagaimana dalam stereotipe yang berkembang dalam interpretasi sebagian orang.

 

Namun, dalam keterangan Ibnu ‘Abbas terdapat riwayat yang disandarkan padanya, tentang siapa sosok iblis yang cukup detail. Riwayatnya sebagai berikut:

 

كان إبليس من حي من أحياء الملائكة يقال لهم الجن، خلقوا من نار السموم، وخلقت الملائكة من نور غير هذا الحي وكان اسمه عزازيل بالسريانية وبالعربية الحارث وكان من خزان الجنَّة وكان رئيس ملائكة السماء الدُّنيا، وكان له سلطان سماء الدُّنيا وسلطان الأرض، وكان من أشد الملائكة اجتهادًا وأكثرهم علمًا، وكان يسوس ما بين السماء والأرض، فرأى بذلك لنفسه شرفًا وعظمة، فذلك الذي دعاه إلى الكبر فعصى، فمسخه الله تعالى شيطانًا رجيمًا ملعونًا، فإذا كانت خطيئة الرجل في كبرٍ فلا ترجه، وإن كانت خطيئته معصية فارجه، وكانت خطيئة آدم عليه السَّلام معصية، وخطيئة إبليس كبرًا 

 

Artinya, “Iblis termasuk sekelompok malaikat yang disebut ‘jin’, yang diciptakan dari api yang amat panas, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya, bukan dari kelompok ini. Nama Iblis dalam bahasa Suryani adalah Azazil, dan dalam bahasa Arab adalah Al-Harits. Dia adalah penjaga surga dan pemimpin malaikat di langit dunia. Dia memiliki kekuasaan di langit dunia dan kekuasaan di bumi, dan dia adalah salah satu malaikat yang paling giat [beribadah] dan paling berilmu [alias pandai, cerdas, alim, dan lain sebagainya]. Dia mengatur antara langit dan bumi, dan dengan itu dia melihat kehormatan dan kebesaran untuk dirinya sendiri. Itulah yang mendorongnya kepada kesombongan, sehingga dia durhaka. Maka Allah SWT mengubahnya menjadi setan yang terkutuk. Jika kesalahan seseorang adalah karena kesombongan, maka jangan harap dia akan bertobat. Namun, jika kesalahannya adalah karena pelanggaran, maka harapkanlah dia akan bertaubat. Kesalahan Adam AS adalah pelanggaran, sedangkan kesalahan Iblis adalah kesombongan.” (Ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an, [Jeddah, Darut Tafsir, 1436 H - 2015 M], Jilid XVII, hlm. 170)

 

Dalam riwayat di atas, Iblis digambarkan sebagai golongan malaikat yang sangat cerdas dan berilmu. Seperti yang dipaparkan Imam An-Nawawi, bahwa sebelum proses pembangkangan, iblis merupakan bagian dari malaikat (Ad-Damiri, Hayatul Hayawanat al-Kubra, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1424 H - 2003 M], Jilid I, hlm. 302).

 

Sayangnya, kecerdasan iblis ini menjadi salah satu faktor yang membuatnya merasa lebih unggul dan mendorongnya untuk bersikap sombong. Kesombongan Iblis menjadi penyebab utama kejatuhannya. Meskipun dia memiliki kecerdasan yang tinggi, kesombongannya menghalanginya untuk taat kepada perintah Allah. Dari sinilah stereotipe negatif tentang kecerdasan tanpa kerendahan hati dapat berujung pada kehancuran.

 

Penulis belum menemukan status validitas riwayat di atas, apakah benar atau tidak. Lantas, jikalau benar iblis merupakan sosok yang alim, sejauh mana kecerdasan dan kepintaran iblis?

 

Tentu saja kita tidak dapat menakarnya. Namun, dalam beberapa kisah yang tertera dalam Al-Qur’an maupun hadits, kepintaran iblis dimaknai negatif. Mengapa? Karena iblis ‘pinter ngibul’ alias jika berbohong maka korbannya kena tipu. Contoh yang tertulis dalam Al-Qur’an soal ini adalah kisah Adam yang tertipu oleh iblis agar memakan buah terlarang di surga.

 

Contoh lainnya adalah kisah pertemuan Abu Hurairah dengan iblis yang termaktub dalam Shahih Bukhari. Di suatu malam yang tenang, Abu Hurairah mendapatkan tugas penting dari Rasulullah untuk menjaga dan mengawasi zakat Ramadhan. Tugas ini bukanlah hal yang mudah, tetapi Abu Hurairah melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

 

Suatu ketika, saat ia sedang menjalankan tugasnya, datanglah seorang lelaki yang tampak sangat membutuhkan sesuatu. Lelaki itu mulai mengambil makanan dengan cepat, seolah-olah tidak ada yang mengawasinya. Abu Hurairah, yang melihat tindakan tersebut, segera menghentikannya, “Demi Allah, aku akan membawamu kepada Rasulullah,” katanya tegas.

 

Lelaki itu pun memohon, “Tolonglah, aku sangat membutuhkan ini. Aku memiliki keluarga dan dalam keadaan yang sangat sulit.” Melihat kesedihan dan kebutuhan lelaki itu, Abu Hurairah merasa iba dan akhirnya membiarkannya pergi. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

 

Keesokan harinya, ketika bertemu dengan Rasulullah, Nabi bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang terjadi dengan tawananmu semalam?

 

Abu Hurairah menjawab, “Ya Rasulullah, dia mengeluh tentang kebutuhan dan keluarganya, jadi aku merasa kasihan dan membiarkannya pergi.”

 

Nabi Muhammad SAW kemudian berkata, “Dia telah berbohong padamu dan dia pasti akan kembali.”

 

Merasa penasaran, Abu Hurairah memutuskan untuk mengawasi lelaki itu. Tak lama kemudian, lelaki itu kembali lagi, mengambil makanan dengan cepat. Abu Hurairah pun menangkapnya lagi, “Demi Allah, aku akan membawamu kepada Rasulullah,” katanya sekali lagi.

 

Lelaki itu kembali memohon, “Tolonglah, aku sangat membutuhkan ini. Aku tidak akan kembali lagi.” Namun, sekali lagi, Abu Hurairah merasa iba dan membiarkannya pergi.

 

Keesokan harinya, Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, “Wahai Abu Hurairah, apa yang terjadi dengan tawananmu?

 

Abu Hurairah menjawab, “Dia mengeluh tentang kebutuhan dan keluarganya, jadi aku membiarkannya pergi.”

 

Nabi kembali berkata, “Dia telah berbohong padamu dan dia pasti akan kembali.”

 

Abu Hurairah semakin penasaran dan memutuskan untuk mengawasi lelaki itu untuk ketiga kalinya. Ketika lelaki itu kembali dan mengambil makanan, Abu Hurairah menangkapnya lagi, “Ini sudah yang ketiga kalinya! Kamu selalu berjanji tidak akan kembali, tetapi kamu kembali lagi,” katanya.

 

Lelaki itu kemudian berkata, “Tolonglah, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang akan bermanfaat bagimu.”

 

Abu Hurairah pun bertanya, “Apa itu?

 

Lelaki itu menjelaskan, “Ketika kamu pergi tidur, bacalah Ayat Kursi hingga selesai. Dengan begitu, Allah akan menjagamu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Abu Hurairah merasa terkesan dan membiarkannya pergi.

 

Keesokan harinya, ketika bertemu dengan Rasulullah, Abu Hurairah menceritakan apa yang terjadi. “Ya Rasulullah, dia mengaku akan mengajarkan saya kalimat yang bermanfaat, dan saya membiarkannya pergi,” katanya.

 

Nabi Muhammad SAW bertanya, “Apa yang dia ajarkan?

 

Abu Hurairah menjawab, “Dia mengatakan bahwa jika saya tidur, saya harus membaca Ayat Kursi hingga selesai, dan setan tidak akan mendekat.”

 

Nabi Muhammad SAW tersenyum dan berkata, “Dia telah berkata benar, tetapi dia adalah pendusta. Apakah kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara selama tiga malam ini, wahai Abu Hurairah?

 

Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” 

 

Nabi menjelaskan, “Itu adalah setan.” (Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Beritu: Daruth Thawqin Najah, 1422], jilid III, hlm. 101).

 

Kisah di atas menunjukkan bagaimana setan atau iblis menipu manusia berulang kali. Meskipun ada amalan baik dalam tipuan yang dialami Abu Hurairah, kebenaran hanya terdapat pada satu poin tersebut. Sisanya hanyalah bualan belaka.

 

Secara keseluruhan, pemahaman kita tentang iblis sebagai sosok yang cerdas dan pandai, namun diwarnai oleh keangkuhan bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadits. Watak semacam itu memberikan kita pelajaran, bahwa kepandaian harus diiringi dengan kebijaksanaan dan kerendahan hati. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta