Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
NU Online · Senin, 21 Juli 2025 | 18:00 WIB
Syifaul Qulub Amin
Kolomnis
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb, Ustadz. Izin bertanya. Beberapa hari yang lalu saya membaca berita di salah website nasional (Kompas.com) mengenai kasus pemerasan dengan modus investasi bodong. Dalam kasus itu, pelaku sampai meraup 11 milyar lebih dari para korban, dan yang 8 milyar ditransfer ke rekening istrinya. Ada pernyataan yang menarik perhatian, dalam berita yang saya baca itu ada pernyataan, “Ketika ditanya asal usulnya, suaminya (pelaku) mengatakan itu rezeki.”
Membaca pernyataan pelaku yang disampaikan oleh hakim tersebut, sebenarnya, seperti apa konsep rezeki dalam perspektif Islam, khususnya dalam kasus perkara haram. Apakah harta yang diperoleh melalui proses haram termasuk rezeki juga? (Penanya: hamba Allah)
Jawaban:
Waalaikumsalam wr wb. Penanya dan para pembaca NU Online yang dirahmati Allah. Semoga kita senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan untuk memperoleh rezeki halal dan dijaga dari harta haram.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib [Beirut: Daru Ihya'it Turats Al-Arabi, 1420], jilid II, hal. 275-276, menjelaskan secara rinci bahwa rezeki berasal dari bahasa Arab ar-rizqu, yang berarti al-hadzh (bagian), sebagaimana tercermin dalam Surat Al-Waqi'ah ayat 82 berikut:
وَتَجْعَلُوْنَ رِزْقَكُمْ اَنَّكُمْ تُكَذِّبُوْنَ
wa taj‘alûna rizqakum annakum tukadzdzibûn
Artinya: “Kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan (Al-Qur’an)? (QS. Al-Waqi'ah [56]: 82)
Kata rezeki dalam ayat tersebut berarti “bagian”, sehingga maknanya dapat dipahami sebagai, “Apakah kamu menjadikan bagian yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan (Al-Qur'an)?”
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, ada beberapa kekeliruan dalam memahami konsep rezeki. Pertama, keliru jika rezeki diartikan sebagai segala sesuatu yang dikonsumsi atau digunakan, sebab Al-Qur’an sendiri memerintahkan manusia menginfakkan sebagian rezeki (QS. Ar-Ra'du: 22). Tentu saja perintah ini tidak masuk akal jika rezeki sudah dikonsumsi habis.
Kedua, keliru pula jika rezeki dimaknai sebagai segala sesuatu yang dimiliki. Sebab, kita biasa memohon “rezeki berupa anak saleh,” padahal anak bukanlah sesuatu yang dimiliki secara mutlak. Begitu pula hewan yang tidak memiliki apa pun, tetap mendapat rezeki dari Allah.
Lalu, apakah makna rezeki yang tepat? Secara bahasa, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Waqi’ah, rezeki berarti “bagian”. Sementara menurut pandangan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), rezeki lebih luas lagi, yaitu segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang, baik diperoleh dengan cara halal maupun haram. Dengan demikian, bahkan harta yang diperoleh melalui cara haram pun secara hakikat tetap dikategorikan sebagai rezeki.
وَالرِّزْقُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ مَا صَحَّ الِانْتِفَاعُ بِهِ حَلَالًا كَانَ أَوْ حَرَامًا
Artinya: “Menurut Aswaja, rezeki adalah sesuatu yang sah/bisa dimanfaatkan, baik dari perkara halal atau haram,” (Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsirul Qurthubi, [Mesir: Darul Kutub Al-Mishriyyan, 1964], jilid I, hal. 178).
Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa pengertian rezeki versi ulama Aswaja ini mengacu pada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits. Di antara adalah Surat Hud ayat 6. Allah SWT berfirman:
۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَاۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: “Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS. Hud [11]: 6)
Ayat inilah salah satu yang dijadikan acuan dalam pengertian rezeki di atas. Supaya lebih jelas, berikut uraian Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fathul Mubin bi Syarhil Arbain:
وقد تشير هذه الآية إلى أن الحرام رزقٌ، وهو ما عليه أهل السنة، خلافًا للمعتزلة، ودليلنا من الكتاب: {وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا}، ومن السُّنة: "إن نفسًا لن تموت حتى تستكمل رزقها" (2) فدل على أن جميع ما أكلته كلُّ نفسٍ رزقُها، حلالًا كان أو حرامًا.
Artinya: “Ayat ini (QS. Al-Baqarah [2]: 67) mengisyaratkan bahwa perkara haram termasuk rezeki, sebagaimana pendapat Ahlussunnah. Berbeda dengan pendapat sekte Muktazilah. Dalil (yang dipakai) Ahlussunnah adalah Al-Qur'an (QS. Hud [11]: 6), dan hadits: ‘setiap jiwa tidak akan mati sampai rezekinya sempurna’. Hadits ini menunjukkan bahwa semua yang dimakan setiap manusia merupakan rezekinya, baik halal atau haram,” (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fathul Mubin bi Syarhil Arbain, [Arab Saudi: Darul Minhaj, 2008], hal. 287).
Makna Rezeki dalam Pemahaman Masyarakat Indonesia
Dalam pemahaman masyarakat Indonesia, istilah rezeki biasanya hanya dikaitkan dengan sesuatu yang halal. Ketika seseorang mengatakan, "Walaupun rezeki sudah ditentukan Tuhan, tetap harus dijemput dengan ikhtiar," yang dimaksud umumnya adalah rezeki halal. Hal ini karena kata rezeki dalam kultur Indonesia memiliki nilai religius yang tinggi, sehingga secara budaya maknanya selalu mengacu pada sesuatu yang baik dan halal.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rezeki diartikan sebagai “segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan), seperti makanan sehari-hari atau nafkah.” Meskipun secara etimologis rezeki berasal dari bahasa Arab (ar-rizqu), definisi dalam KBBI tersebut tetap mengikuti makna yang sudah mapan dalam masyarakat, yakni merujuk pada harta halal.
Karena itu, tidak mengherankan jika pernyataan bahwa “harta haram juga termasuk rezeki” cenderung dianggap tidak etis dan menuai kontroversi di tengah masyarakat Indonesia. Namun, jika dilihat dari perspektif syariat, pernyataan tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya keliru, sebab menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah, rezeki secara umum mencakup segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan, baik halal maupun haram.
Meski demikian, pemahaman bahwa sesuatu yang haram termasuk rezeki tidak berarti bahwa Islam membolehkan mencari atau memberi nafkah dari harta haram. Penting digarisbawahi, pengertian rezeki ini tidak boleh dijadikan pembenaran untuk mengambil yang haram, karena status halal-haram tetaplah persoalan tersendiri yang wajib diperhatikan. Wallahu A’lam.
Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil, Sekarang Aktif Menjadi Perumus LBM PP Nurul Cholil dan Editor Website PCNU Bangkalan.
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
4
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
5
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua