Ilmu Tauhid

Mengapa Tuhan Tidak Perlu Dibuktikan dengan Data Empiris?

NU Online  ·  Selasa, 15 Oktober 2024 | 20:30 WIB

Mengapa Tuhan Tidak Perlu Dibuktikan dengan Data Empiris?

Ilustrasi lafaz Allah. (Foto: NU Online)

Belakangan muncul diskusi yang cukup menarik mengenai status ilmu dalam akidah atau teologi Islam. Apakah akidah mengenai Tuhan bisa dibuktikan secara objektif? Perdebatan ini muncul karena terdapat pihak yang menyatakan bahwa suatu ilmu yang objektif membutuhkan bukti penemuan empiris atau indrawi. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa Tuhan tidak cukup dibuktikan dengan nalar belaka karena esensi Tuhan itu sendiri tidak bisa kita ketahui dan tidak bisa diindra.

 

Berlandaskan asumsi itu muncullah kesimpulan bahwa segala pengetahuan tentang Tuhan adalah hasil keyakinan subjektif belaka. Tulisan ini secara singkat akan memaparkan kekeliruan kesimpulan yang dibangun dari dua argumen tersebut.

 

Pertama, pandangan bahwa ilmu yang objektif hanya bisa dihasilkan melalui bukti empiris merupakan ketidaktahuan tentang bagaimana logika penalaran bekerja. Padahal, kesimpulan dari suatu argumen logis akan selalu menghasilkan ilmu yang valid dan objektif selama premis-premis di dalamnya juga valid dan disusun dengan tepat. Terkait hal tersebut Syekh Muhammad Abu Daqiqah menyatakan:

 

ينقسم النظر إلى صحيح وفاسد؛ فالصحيح هو الذي يؤدي إلى المطلوب، والفاسد هو الذي لا يؤدي إلى المطلوب. والتأدية إلى المطلوب تتحقق بصحة والمادة والصورة،  وعدم التأدية بفسادهما أو فساد أحدهما

 

 Artinya, “Penalaran terbagi menjadi penalaran yang valid dan cacat. Penalaran valid akan mendatangkan pada kesimpulan yang dicari, sedangkan penalaran cacat tidak akan bisa mendatangkan pada kesimpulan yang dicari. Adapun berhasilnya penalaran dalam mendatangkan pada kesimpulan yang dicari dapat dinyatakan dengan validnya materi (maddah) dan susunan (shurah) premis, dan kegagalan sampainya penalaran pada kesimpulan disebabkan oleh rusaknya materi dan susunan premis atau salah satunya.” (Syekh Muhammad Abu Daqiqah, Al-Qoul As-Sadid, [Kairo: Al-Hukama Publishing, 2024], Juz 1, Halaman 65)

 

Untuk membuktikan hal tersebut mari kita renungi contoh penalaran berikut:

 
  1. Premis minor: alam itu berubah-ubah.
  2. Premis mayor: semua yang berubah-ubah itu baru.
  3. Kesimpulan: alam itu baru
 

Kita bisa mengatakan bahwa penalaran di atas adalah upaya ilmiah yang objektif karena bisa dilakukan oleh siapa pun dan akan berujung pada kesimpulan yang sama. Bisakah semua orang menguji keabsahan premis minor bahwa alam itu berubah-ubah? Pasti, semua orang bisa mengamati alam dan perubahan yang terjadi di dalamnya.

 

Bisakah semua orang menguji keabsahan premis mayor bahwa semua yang berubah-ubah itu baru? Tentu, orang rasional manapun akan mengakui bahwa yang berubah itu pasti memiliki awal dan semua yang berawal itu baru, tidak mungkin qadim (ada tanpa awal).

 

Bisakah semua orang menguji keabsahan kesimpulan dari susunan premis tersebut? Tidak diragukan lagi, semua orang berakal akan sampai pada pernyataan “alam itu baru”, bukan kesimpulan yang lain.

 

Namun, sampai di sini barangkali masih muncul sangkalan bahwa bagaimana pun kebenaran premis-premis yang diajukan membutuhkan penelitian empiris yang indrawi. Misalnya, premis “alam itu berubah-ubah” bisa dibuktikan dengan pengamatan indrawi kita terhadap alam itu sendiri. Benarkah demikian?

 

Kenyataannya, meskipun ada premis-premis yang membutuhkan perantara indrawi untuk membuktikan kebenarannya, ada juga premis-premis yang tidak membutuhkan justifikasi empiris sama sekali.

 

Pada contoh premis “semua yang berubah itu memiliki awal” misalnya, apakah kita perlu melakukan penelitian empiris untuk membuktikan itu? Tentu saja tidak, akal kita akan secara otomatis mengakui kebenaran tersebut bahwa mustahil akan ada perubahan tanpa adanya awal bagi perubahan tersebut.

 

Premis dasar ini yang dikenal dengan nama ilmu dharuri atau muqaddimah dharuriyyah. Dalam ilmu logika Islam (manthiq), ilmu dharuri didefinisikan sebagaimana berikut:

 

ويقال له: الفطري سواء إفتقر إلى حدس أو تجربة أم لا، كتصور وجودك، وكإدراك مفهوم الوجود، والشيء بالنظر لمقابلهما، وكإدراك الواحد نصف الإثنين

 

Artinya, “Disebutkan mengenai ilmu dharuri: itu adalah ilmu yang fithriy (diketahui secara fitrah), baik membutuhkan pada intuisi, eksperimen, ataupun tidak sama sekali, seperti keberadaan dirimu, pemahaman terhadap konsep ‘ada’, dan sesuatu yang membandingi keduanya, dan seperti pemahaman bahwa satu itu setengah dari dua.” (Syihabuddin Ahmad Al-Malawi, Asy-Syarhul Kabir ‘alas Sulam Al-Munawraq, [Kuwait: Dar Ad-Dhiya’, 2019], Halaman 144)

 

Cakupan ilmu dharuri bahkan diperluas oleh salah satu teolog modern ternama, Alvin Plantinga. Dalam bukunya Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford University Press, 1993), Plantinga mengenalkan sebuah konsep yang hampir mirip dengan ilmu dharuri, yaitu properly basic beliefs (keyakinan dasar yang sewajarnya).

 

Menurut Plantinga, suatu keyakinan dasar mendapat jaminan kebenaran (warrant) tanpa perlu justifikasi dari sesuatu yang lain selama keyakinan dasar itu dihasilkan dari kemampuan kognitif yang berfungsi dengan wajar di dalam lingkungan yang sesuai.

 

Misalnya seperti keyakinan kita bahwa orang-orang selain diri kita sendiri juga memiliki kesadaran sebagaimana yang kita alami. Kemampuan kognitif kita secara otomatis meyakini hal itu secara mendasar dalam lingkungan interaksi sosial sehari-hari. Apakah keyakinan itu membutuhkan justifikasi empiris yang indrawi? Tentu saja tidak, karena selamanya kita tidak akan bisa melihat maupun mengalami secara langsung bentuk kesadaran dari manusia lainnya.

 

Namun demikian, pengetahuan kita bahwa manusia lain selain diri kita sendiri juga memiliki kesadaran adalah pengetahuan universal dan objekitf. Apakah ada manusia waras yang mengatakan bahwa pengetahuan kita terhadap adanya kesadaran orang lain itu subjektif dan tidak ilmiah? Pastinya tidak ada.

 

Sampai di sini dapat dipahami dengan terang kekeliruan pernyataan bahwa segala pengetahuan yang objektif itu membutuhkan bukti empiris yang indrawi. Sekarang, bagaimana mungkin kita membuktikan Tuhan dengan penalaran padahal hakikat Tuhan itu sendiri tidak bisa kita ketahui?

 

Sangkalan nakal semacam itu sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sudah disampaikan oleh para filsuf matematikawan dan teknisi klasik zaman dahulu (ahlul hisab wal muhandisun). Mereka mengatakan bahwa penalaran tidak bisa digunakan dalam wilayah ketuhanan karena ketidakmampuan manusia dalam memahami esensi Tuhan.

 

Sekilas argumen tersebut terkesan benar karena bagaimana pun bernalar mengenai sesuatu menyaratkan pemahaman penalar terhadap sesuatu tersebut. Namun yang luput dari perhatian para filsuf tersebut adalah pemahaman yang diperlukan dalam penalaran sebenarnya tidak menyaratkan pemahaman yang detail dan menyeluruh. Syekh Muhammad Abu Daqiqah menjelaskan:

 

إن التصديق اليقيني بالأمور المخصوصة بالذات والصفات فرع التصور بالكنه، بل هو منوط بتصور الطرفين على الوجه المناسب للحكم

 

Artinya, “(Memang benar) sesungguhnya konfirmasi logis yang meyakinkan pada perkara-perkara berupa zat ataupun sifat, adalah cabang dari pemahaman konseptual terhadap substansi perkara tersebut, tetapi lingkup pemahaman konseptual itu cukup pada sisi yang diperlukan untuk melakukan justifikasi.” (Syekh Muhammad Abu Daqiqah, Al-Qoul As-Sadid, [Kairo: Al-Hukama Publishing, 2024], Juz 1, Halaman 72-73)

 

Maksudnya untuk menalar sesuatu, kita cukup memahami sesuatu itu sesuai dengan kedalaman kesimpulan yang kita perlukan. Misalnya, kita ingin bernalar menggunakan konsep gravitasi. Sebagai non-fisikawan, pengetahuan kita mengenai gravitasi barangkali sekadar gaya tarik menarik antara dua benda seperti bagaimana bumi menarik benda-benda di permukaannya sehingga mereka jatuh ke tanah.

 

Lalu dengan pemahaman itu kita menyusun premis-premis logis sebagai berikut:

 
  1. Apel ketika dilempar jatuh ke tanah.
  2. Benda-benda di permukaan bumi jatuh ke tanah karena adanya gaya gravitasi.
  3. Kesimpulan: apel jatuh ke tanah karena adanya gaya gravitasi.
 

Kita bisa sadar bahwa penalaran tersebut sudah cukup dalam memberikan pemahaman dan ilmu yang meyakinkan meskipun pengetahuan kita mengenai apa itu gravitasi masih sangat mendasar. Kita tidak perlu untuk memahami konsep gravitasi dalam teori relativitas Enstein hanya demi melakukan penalaran sederhana tersebut.

 

Hal yang sama berlaku bagi penalaran ilmu kalam (teologi Islam) dalam membuktikan kebenaran akidah Islam. Penalaran tersebut tidak dilakukan untuk mencapai pemahaman yang utuh dan mendetail mengenai hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

 

Penalaran yang dilakukan dalam ilmu kalam dilakukan semata-mata hanya untuk membuktikan bahwa Tuhan itu pasti adanya, dan memiliki sifat-sifat maha sempurna yang wajib kita yakini kebenarannya. Dengan demikian, pemahaman yang wajar terhadap Tuhan sebagai pencipta segala makhluk, yang Ada tanpa awal, sudah cukup untuk melakukan penalaran logis nan objektif tentang-Nya. Wallahu a‘lam.

 

Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy dan Mahasiswa Pascasarjana SOAS University of London.