Ilmu Tauhid

Terlintas Pikiran Pindah Agama, Apakah Bisa Membatalkan Puasa?

Selasa, 4 Maret 2025 | 17:00 WIB

Terlintas Pikiran Pindah Agama, Apakah Bisa Membatalkan Puasa?

Ilustrasi puasa. Sumber: Canva/NU Online.

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb.

Kita semua memahami bahwa murtad dapat membatalkan puasa, baik melalui keyakinan dalam hati, ucapan, maupun tindakan. Namun, bagaimana jika tiba-tiba muncul pikiran tentang kekufuran (murtad) dalam hati kita secara otomatis? Apakah pikiran tersebut juga tergolong sebagai murtad? Terkadang, pikiran semacam ini membuat kita merasa khawatir apakah puasa kita batal atau tidak.

Terima kasih, Ustadz. Mohon penjelasannya.

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr wb. Kepada penanya dan seluruh pembaca NU Online di mana pun berada, semoga kita senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menjalani segala aktivitas sehari-hari. Aamiin.


Pikiran yang terlintas secara spontan dalam benak seseorang tidak serta-merta memiliki konsekuensi hukum, baik dalam ranah dosa maupun pahala. Hal ini disebabkan karena bisikan hati atau lintasan pikiran semacam itu adalah sesuatu yang terjadi secara alami, di luar kendali manusia, dan sering kali muncul tanpa disadari. 


Dalam Islam, seseorang tidak dibebani dosa atas sesuatu yang tidak disengaja atau tidak berada dalam kuasa kehendaknya. Rasulullah SAW bersabda:


إنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي ما حَدَّثَتْ بِهِ أنْفُسَها ما لَمْ تَتَكَلَّم بِهِ أوْ تَعْمَلْ


Artinya, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas dalam dirinya, selama ia tidak mengamalkannya atau mengatakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa pikiran kekufuran yang terlintas secara spontan di benak seseorang tidak menyebabkan kekufuran, selama ia tidak menetapkannya dalam hati atau meyakininya. Jika seseorang tanpa sengaja terbersit pikiran kufur dalam hatinya, lalu segera menyingkirkannya, maka ia tidak dianggap kafir atau murtad. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menjelaskan:


قال العلماء: المراد به الخواطر التي لا تستقرّ. قالوا: وسواءٌ كان ذلك الخاطِرُ غِيبة أو كفرًا أو غيرَه، فمن خطرَ له الكفرُ مجرّد خَطَرٍ من غير تعمّدٍ لتحصيله، ثم صَرفه في الحال، فليس بكافر، ولا شئ عليه.


Artinya, “Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam konteks ini adalah lintasan pikiran (bisikan hati) yang tidak menetap. Mereka juga menyatakan bahwa, baik lintasan tersebut berupa gibah, kekufuran, atau hal lainnya, jika seseorang terlintas dalam pikirannya suatu pemikiran kufur secara spontan, tanpa sengaja menghadirkannya, lalu segera menolaknya, maka ia tidak menjadi kafir dan tidak berdosa sama sekali.” (Al-Adzkar, [Beirut, Darul Fikr: 1993], jilid I, halaman 345).


Sebagai seorang Muslim, jika terlintas dalam pikiran hal-hal yang mengarah kepada kekufuran, maka sebaiknya segera menyingkirkan pikiran tersebut. Berusaha menghindari dan tidak menetapkannya dalam hati adalah bagian dari menjaga keimanan. Imam Nawawi menambahkan:


وسببُ العفو ما ذكرناه من تعذّرٍ اجتنابه، وإنما الممكن اجتناب الاستمرار عليه فلهذا كان الاستمرار وعقد القلب حراما


Artinya, “Alasan diampuninya lintasan pikiran tersebut adalah karena, sebagaimana telah disebutkan, seseorang tidak mungkin sepenuhnya menghindarinya. Yang bisa dilakukan hanyalah menghindari untuk terus-menerus memikirkannya. Oleh karena itu, jika seseorang menetapkan hatinya pada pikiran tersebut dan terus berpegang padanya, maka hal itu menjadi haram.” (Adzkar, I/345).


Dengan demikian, pikiran kekufuran yang muncul secara spontan tidak membatalkan ibadah puasa. Sebab, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, lintasan hati yang tidak disengaja dan tidak diyakini sebagai kebenaran tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun.


Dalam Islam, batalnya ibadah puasa berkaitan dengan hal-hal yang secara jelas membatalkan, seperti makan, minum, berhubungan suami istri, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan esensi puasa, seperti murtad dengan keyakinan dan perkataan yang jelas.

 

Namun bisikan hati yang sekadar melintas, selama tidak diyakini, diucapkan, atau diamalkan dan dipraktikkan, maka tidak berdampak pada sah atau tidaknya ibadah seseorang, termasuk ibadah puasa. Wallahu A’lam


Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura