Ilmu Tauhid

Kapan Kita Dianggap Menyerupakan Allah dengan Makhluk?

Sel, 18 September 2018 | 13:30 WIB

Kapan Kita Dianggap Menyerupakan Allah dengan Makhluk?

Ilustrasi (sufism247.blog)

Hampir seluruh kajian aqidah salaf disertai dengan ungkapan “tanpa menyerupakan atau menyamakan Allah” (tanpa tasybîh atau tamtsîl). Namun, tak banyak orang yang paham apa sebenarnya yang dimaksud tanpa menyerupakan Allah itu. Ada yang berkata bahwa Allah mempunyai tangan, mata dan bentuk dalam arti sebenarnya tetapi tidak serupa dengan makhluk, apakah perkataan ini masuk dalam kategori tidak menyerupakan ataukah justru telah menyerupakan Allah?
 
Ada dua kaidah batasan penyerupaan (tasybîh) di kalangan ulama yang digunakan untuk memutuskan mana yang masuk kategori tasybih dan mana yang tidak. Berikut ini akan penulis sajikan keduanya lalu mengaplikasikannya pada golongan yang disepakati sebagai Mujassimah-Musyabbihah (kelompok yang percaya Allah berfisik atau menyerupai makhluk) untuk melihat kaidah mana yang valid.
 
Kaidah pertama adalah kaidah dari Imam Ahmad bin Hanbal. Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hamdan al-Hanbali, beliau berkata:
 
وقال أحمد: أحاديث الصفات تمر كما جاءت من غير بحث على معانيها، وتخالف ماخطر في الخاطر عند سماعها، وننفي التشبيه عن الله تعالی عند ذكرها مع تصديق النبي ، والإيمان بها، وكلما يعقل ويتصور فهو تكييف وتشبيه، وهو محال
 
“Imam Ahmad berkata: Hadits-hadits sifat harus dibaca ulang seperti sedia kala tanpa dibahas makna-maknanya. Ia berbeda dengan apa yang terbesit dalam hati seseorang ketika mendengarnya. Dan, kami menafikan penyerupaan dengan Allah ketika Allah menyebutkannya serta membenarnya [ucapan] Nabi dan mengimaninya. Setiap kali ia dipahami dan tergambar di benak, maka itulah membagaimanakan (takyîf) dan menyerupakan (tasybîh). Itu adalah mustahil.” (Ibnu Hamdan al-Hanbali, Nihâyat al-Mubtadi’în, halaman 33).
 
Dalam kaidah pertama ini, yang disebut penyerupaan adalah segala gambaran yang muncul di kepala dan dapat dipahami. Ketika misalnya membaca kata yadullah kemudian tergambar di benak kita adanya organ tubuh Allah yang dipakai untuk mengerjakan macam-macam hal, maka itulah tasybîh. Ketika membaca kata nuzûl lalu tergambar di benak bahwa Allah bergerak turun dari atas ke bawah, maka itulah tasybîh. Ketika membaca kata “istiwâ’” lalu tergambar dalam benak bahwa Allah bertempat di atas Arasy, maka itulah tasybîh. Dan demikian seterusnya untuk kata-kata lain, apabila kata yang dinisbatkan pada Allah tersebut dipahami seperti makna yang di kamus-kamus, maka itulah tasybîh. Mau diiringi dengan penjelasan “seperti makhluk” atau “tak seperti makhluk”, sama sekali tak berarti dalam kaidah ini sebab yang menjadi intinya adalah penetapan makna seperti yang dipahami manusia.
 
Kaidah kedua adalah kaidah dari Imam Ishaq bin Rahawaih, salah satu pakar hadits klasik yang semasa dengan Imam Ahmad. Beliau berkata:
 
وقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: " إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ، أَوْ مِثْلُ يَدٍ، أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ، أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ
 
Ishaq bin Ibrahim (Rahawaih) berkata: Sesungguhnya hanya terjadi tasybîh apabila berkata tangan [Allah] seperti tangan atau mirip tangan [makhluk], pendengaran [Allah] seperti atau mirip pendengaran [makhluk]. (At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz III, halaman 42)
 
Senada dengan beliau, Syekh Adz-Dzahabi juga berkata:
 
فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
 
"Tasybîh hanya terjadi apabila dikatakan ‘Tangan seperti tangan kita’ …. Apabila dikatakan: ‘tangan yang tak sama dengan tangan-tangan lain’, seperti halnya Dzat-Nya tak sama dengan Dzat lain, pendengaran-Nya tak sama dengan pendengaran yang lain, penglihatan-Nya tak sama dengan penglihatan yang lain, dan tak ada bedanya di antara semua, maka itu adalah menyucikan (tanzîh)". (Adz-Dhahabi, al-Arba’în min Shifât Rabb al-‘Âlamîn, halaman 104).
 
Menurut kaidah kedua ini, penyerupaan Tuhan (tasybîh) dengan makhluk hanya terjadi apabila mengatakan kata “seperti” atau “mirip” dengan makhluk atau yang dimiliki makhluk. Apabila tak mengatakan demikian, maka itu bukan tasybîh tetapi masih menyucikan Allah dari keserupaan.
 
Sekarang mari kita aplikasikan kedua kaidah di atas pada perkataan seorang Mujassimah (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jism) yang dikenal juga di antara umat islam sebagai kalangan Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Di antara mereka, ada Muqatil bin Sulaiman yang berkata:
 
أن الله جسم وأن له جمة وأنه على صورة الإنسان لحم ودم وشعر وعظم له جوارح وأعضاء من يد ورجل ورأس وعينين مصمت وهو مع هذا لا يشبه غيره ولا يشبهه.
 
“Sesungguhnya Allah adalah jism (bentuk yang bervolume) dan Ia mempunyai rambut menjuntai, berbentuk manusia, punya daging, darah, bulu, tulang, punya organ tubuh seperti tangan, kaki, kepala, dua mata, tak berongga, meski demikian Dia tak menyerupai selainnya dan selainnya tak menyerupainya.” (Abu Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn, halaman 153)
 
Semua golongan umat Islam sudah sepakat bahwa Muqatil bin Sulaiman dengan perkataannya itu adalah Mujassimah-Musyabbihah. Dia telah menganggap Allah seperti halnya manusia dan mempunyai organ-organ dan susunan tubuh seperti halnya manusia. Bila kita memakai kaidah pertama dari Imam Ahmad di atas, maka Muqatil ini jelas sudah melakukan tasybîh dan cocok dengan realitas yang diyakini kaum muslimin pada umumnya. Namun apabila kita memakai kaidah kedua di atas, maka Muqatil ini masih belum melakukan tasybîh sebab di akhir ucapannya itu dia memberi keterangan bahwa meski punya tubuh dan berbentuk manusia, Allah tak mirip dan tak menyerupai makhluk apapun. 
 
Dengan demikian kita bisa tahu bahwa kaidah kedua tadi tak akurat untuk membatasi pelaku tasybîh bahkan yang paling parah seperti Muqatil di atas. Pada dasarnya, seluruh kaum muslim di dunia, tak terkecuali kaum Mujassimah-Musyabbihah seluruhnya meyakini bahwa Allah tak seperti makhluk sehingga semua meyakini bahwa Dzat-Nya tak seperti makhluk. Apabila batasan tasybîh hanya bergantung pada pernyataan “seperti makhluk”, maka takkan ada satu pun orang di dunia ini yang bisa disebut Mujassimah – Musyabbihah. Ini tak realistis sebab mereka itu benar-benar ada dan dikenal luas sejak masa lalu.
 
Karena itulah, untuk memudahkah penilaian dan langsung fokus pada titik persoalan, maka Syaikh al-Bajuri al-Asy’ari menegaskan batas pembeda antara tasybîh dan bukan sebagai berikut:
 
وَالْمُمَاثَلَةُ لِلْحَوَادِثِ وَهُوَ ضِدُّ الْمُخَالَفَةِ لِلْحَوَادِثِ. وَالْمُمَاثَلَةُ مُصَوَّرَةٌ بِأَنْ يَكُوْنَ جِرْمًا سَوَاءٌ كَانَ مُرَكَّبًا وَيُسَمَّى حِيْنَئِذٍ جِسْمًا أَوْ غَيْرَ مُرَكَّبٍ وَيُسَمَّى حِيْنَئِذٍ جَوْهَرًا فَرْدًا
 
“Serupa dengan hal baru adalah lawan dari berbeda dengan hal baru. Keserupaan ini tergambarkan dengan terjadinya Allah dari materi fisikal, baik materi itu tersusun yang kemudian disebut jism atau tidak tersusun yang kemudian disebut partikel tunggal.” (Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiyat al-Imâm al-Baijûri ‘Alâ Jawharat al-Tawhîd, halaman 163)
 
Dengan penjelasan Imam al-Baijuri ini, maka pedomannya akan jauh lebih sederhana. Apabila meyakini Allah sebagai jism (punya jasad, badan, volume), maka itulah tasybîh yang terlarang itu. Seluruh makna yang ada di kamus hanya berlaku bagi jism ini. Demikian pula seluruh bayangan di benak manusia hanya berlaku bagi jism semata. Sebab itulah, maka keyakinan ini harus dibuang sejauh-jauhnya untuk menyucikan Tuhan (tanzîh). Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti Aswaja NU Center Jember