Ilmu Tauhid

Keimanan Rasulullah SAW dan Tauhid Anti-Kekerasan

Rab, 31 Oktober 2018 | 23:00 WIB

Keimanan, keyakinan, dan tauhid kerap ditunjukkan oleh sebagian umat Islam dengan wajah kekerasan. Hal ini membuat persepsi di muka publik bahwa tingkat keimanan atau ketauhidan seseorang diukur dari kekerasan yang ditunjukkan di muka umum.

Imam Al-Bukhari dalam Kitab Adabul Mufrad meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang mengajak umatnya untuk menghormati manusia meski hanya seorang budak.

عن أبى هريرة قال لا تقولن قبح الله وجهك ووجه من أشبه وجهك فإن الله عز و جل خلق آدم صلى الله عليه و سلم على صورته

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian jangan berkata, ‘Semoga Allah membuat buruk wajahmu dan wajah orang yang mirip denganmu,’ karena Allah menciptakan Nabi Adam AS sesuai ‘bentuk-Nya,’’” (HR Bukhari).

Sementara pada riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW juga bersabda dengan ucapan serupa, yaitu menjauhi kekerasan terutama pada bagian wajah manusia.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - " إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَّقِ اَلْوَجْهَ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang kau memukul yang lain, hindari bagian wajah,’” (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW secara lebih eksplisit untuk menjauhi kekerasan terutama pada bagian wajah manusia karena wajah bukan sekadar organ mulia karena akal pikiran di sana tetapi karena bentuk manusia meniru model “bentuk” Allah sebagaimana penjelasan Syekh Ibrahim Al-Baijuri berikut ini.

ومما يوهم الصورة ما رواه أحمد والشيخان أن رجلا ضرب عبده فنهاه النبي صلى الله عليه وسلم وقال إن الله تعالى خلق آدم على صورته فالسلف يقولون صورة لا نعلمها والخلف يقولون المراد بالصورة الصفة من سمع وبصر وعلم وحياة 

Artinya, “Salah satu jenis waham adalah bentuk Allah sebagaimana Ahmad dan Bukhari-Muslim bahwa seorang sahabat memukul budaknya. Rasulullah lalu melarangnya, ‘Sungguh Allah menciptakan Nabi Adam AS sesuai bentuk-Nya.’ Ulama salaf memahaminya sebagai bentuk yang kita tidak mungkin mengerti. Sementara ulama khalaf memahaminya sebagai sifat sejenis pendengaran, penglihatan, pengetahuan, dan sifat hidup,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauhartit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihayil Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 55).

Menurut Al-Baijuri, pandangan ulama semacam itu tidak mengada-ada. Padangan mereka didasarkan riwayat hadits lain yang menyebut “Ar-Rahman” atau Allah secara eksplisit.

فهو على صفته في الجملة وإن كانت صفته تعالى قديمة وصفة الإنسان حادثة وهذا بناء على أن الضمير في صورته عائد على الله تعالى كما يقتضيه ما ورد في بعض الطرق فإن الله خلق آدم على صورة الرحمن

Artinya, “Sifat anak manusia secara umum sesuai dengan sifat Allah. Hanya saja sifat Allah qadim. Sifat manusia hadits/baru. Pandangan ini didasarkan pada kata ganti/dhamir pada lafal ‘shuratihī’ merujuk pada Allah SWT sebagaimana petunjuk melalui sebagian riwayat lain, ‘Sungguh Allah menciptakan Nabi Adam AS sesuai bentuk Zat maha rahman,’” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauhartit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihayil Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 55).

Sementara sebagian ulama memahami hadits tersebut secara berbeda. Mereka beranggapan bahwa manusia harus menjauhi kekerasan terhadap saudaranya karena alasan kesamaan jenis sebagai manusia.

وبعضهم جعل الضمير عائدا على الأخ المصرح به في الطريق التي رواها مسلم بلفظ فإذا قاتل أحدكم أخاه فليجتنب الوجه فإن الله خلق آدم على صورته أي وإذا كان كذالك فينبغي احترامه باتقاء الوجه

Artinya, “Sebagian ulama memahami rujukan dhamir itu pada kata ‘saudara’ yang disebut secara lugas pada riwayat Muslim, ‘Jika salah seorang kalian memusuhi saudaranya, maka hindarilah wajah karena sungguh Allah menciptakan Nabi Adam AS sesuai bentuknya.’ Jika demikian, maka seyogianya manusia itu menghindari wajah,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauhartit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihayil Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 55).

Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang beriman kepada Allah atau dan mereka yang memegang tauhid sesungguhnya perlu menjauhkan kekerasan karena manusia merupakan makhluk Allah yang mulia di mana sifat mereka dan sifat Allah serupa meski tak sama pada banyak sisi.

Keimanan dan tauhid kepada Allah mengajarkan umat Islam untuk mencintai sesama manusia, bukan mengajak umat Islam untuk saling menghancurkan sesamanya, dan umat manusia secara umum karena mereka yang mengagungkan Allah sudah seharusnya mencintai manusia sebagai makhluk-Nya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)