Ilmu Tauhid

Menjawab Trilemma Epicurus, Tiga Pertanyaan Dilematis dari Ateis

Kam, 8 November 2018 | 08:30 WIB

Sejak dulu, para Ateis atau pengingkar keberadaan Tuhan selalu berusaha membuat kaum beragama kebingungan dan ragu akan keberadaan Tuhan. Mereka meminta bukti keberadaan Tuhan, meminta untuk memperlihatkan wujud Tuhan dan aneka permintaan lain yang memang dibuat supaya orang yang ditanya kesulitan menjawabnya sehingga dia ragu. Namun kebanyakan pertanyaan atau permintaan mereka mudah untuk dijawab. Bukti adanya Tuhan dapat dilihat dalam keberadaan alam semesta yang begitu luar biasa dan dalam sebuah sistem yang rumit. Tak mungkin hal seperti itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang merancang. Demikian juga ketidakmampuan manusia melihat Tuhan bukan berarti dapat disimpulkan bahwa Tuhan itu tak ada sebab banyak hal yang secara pasti dapat disebut ada meskipun kita tak bisa melihatnya.
 
Di antara pertanyaan yang barangkali agak sulit dijawab oleh kebanyakan orang adalah rangkaian pertanyaan yang dikenal sebagai Trilemma Epicurus. Trilemma Epicurus adalah tiga gugatan yang dirancang sedemikian rupa untuk membuat orang yang ditanya merasa serba salah atau berada dalam dilema. Tiga pertanyaan itu adalah :
 
  • Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan (evil)? Kalau ya, berarti Dia tidak Maha-Kuasa. 
  • Apakah Tuhan mampu, tapi tidak mau melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti Dia tidak Maha-Pengasih.
  • Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada keja-hatan sampai sekarang? Dan, jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyap-kan kejahatan, kenapa masih disebut Tuhan?
 
Itulah tiga dilema yang menjadi argumen para ateis untuk menyerang orang yang beragama. Mereka mengajukan pertanyaan semacam itu sebab tak memahami sifat kesempurnaan Tuhan.  Bila kita memahami sifat Kemahakuasaan (Qudrah) dan Kehendak Bebas (Irâdah) Allah, maka pertanyaan mereka itu mudah sekali dijawab. Sifat Kemahakuasaan Tuhan meniscayakan kekuasaan yang tak terbatas bagi Tuhan. Bila sosok yang dipertuhankan masih mempunyai batasan bagi kekuasaan/kemampuannya atau perlu kompromi dengan pihak lain atau merasa berat untuk melakukan sesuatu, maka pasti sosok itu bukan Tuhan sejati. Demikian juga dengan sifat Kehendak Bebas yang meniscayakan adanya kehendak yang tak terbatas oleh apa pun jua sehingga tak perlu melakukan kompromi atau penyesuaian dengan pihak maupun.
 
Dengan memahami konsep ini, maka jawaban Trilemma Epicurus di atas akan mudah terpecahkan, yakni sebagai berikut:
 
  • Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan (evil)? Tuhan sangat mampu melakukan hal itu sebab kemampuan Tuhan memang tak terbatas. Hanya saja memang Tuhan membiarkan kejahatan tetap ada untuk tujuan tertentu. Bahkan bukan hanya membiarkan, kejahatan atau segala musibah adalah justru ciptaan Tuhan itu sendiri.
     
  • Kalau mampu tapi tak mau melenyapkannya berarti Tuhan tidak Maha-Pengasih? Tuhan punya kehendak mutlak yang tak terbatas. Kehendak Tuhan tak bisa diatur-atur manusia. Terserah Tuhan mau mengasihi siapa dan mau mencelakakan siapa. Sifar Pengasih sendiri bukanlah sifat yang wajib bagi sosok Tuhan. Tuhan bebas sebebas-bebasnya untuk mengasihi siapa yang dikehendakinya dan menghukum siapa yang dikehendaki. Meski demikian, Dia tetaplah Tuhan. 
     
  • Bila Tuhan “wajib” untuk mengasihi semua orang, maka berarti kekuasaan dan kehendak-Nya tidaklah bebas sebab masih diatur-atur oleh pihak yang mewajibkan itu. Jadi, justru penanya yang berusaha mengesankan bahwa Tuhan wajib mengasihi seluruh manusia itulah yang mendegradasi kemuliaan Tuhan.
     
  • Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada keja-hatan sampai sekarang? Pertanyaan ini tidak relevan sebab mau tidaknya Tuhan melakukan hal itu adalah hak prerogatifnya sebagai Tuhan. Manusia tak bisa mengatur Tuhan harus melenyapkan kejahatan. Terserah Tuhan mau menciptakan Iblis, kejahatan, penyakit, kematian atau kecelakaan sebagai ujian bagi para hambanya. 
     
  • Keberadaan semua yang jahat dan tidak enak itu bukan karena Tuhan tak mampu menghilangkannya tetapi karena Dia menggunakan hak prerogatifnya untuk berbuat apa pun yang Ia mau. Pada akhirnya, yang sabar dan lulus ujian tetap akan mendapat balasan yang terbaik di Surga kelak. Kasih sayang Tuhan tak hanya bisa diukur di dunia tetapi juga nanti di akhirat. Boleh jadi Tuhan membuat seseorang sengsara di dunia, tetapi memuliakannya nanti di akhirat.
     
  • Jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, kenapa masih disebut Tuhan? Pertanyaan ini gugur dengan sendirinya sebab status ketuhanan tak bergantung pada adanya kejahatan. Tuhan bebas menciptakan kejahatan atau kebaikan dan meski begitu Ia tetap Tuhan. Demikian juga yang bukan Tuhan, tetap tak akan menjadi Tuhan hanya gara-gara dia melenyapkan kejahatan.
 
Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.