Ilmu Tauhid

Pernyataan Kontroversial Ibnu Khuwaizi Mandad tentang Asy’ariyah

NU Online  ·  Ahad, 12 Agustus 2018 | 09:00 WIB

Sebagaimana sudah maklum, manhaj teologi Asy’ariyah, bersama dengan Maturidiyah, diikuti oleh mayoritas ulama empat mazhab selama satu milenium terakhir. Namun, sejarah mencatat ada seorang tokoh bernama Ibnu Khuwaizi Mandad yang menyatakan bahwa dalam Mazhab Malikiyah, seorang Asy’ariyah tidak diterima persaksiannya, dikucilkan, dan dituntut untuk bertobat atas ajaran bid’ahnya. Pernyataan tersebut banyak dinukil oleh para pengkritik mazhab Asy’ariyah, misalnya Safar Hawali dalam bukunya yang berjudul Manhaj al-Asyâ’irah fî al-‘Aqîdah (halaman 70) dan juga dikutip di banyak artikel para pendaku Salafi yang bertebaran di internet saat ini. Bagaimanakah fakta sebenarnya?
 
Sebelum membahas pernyataannya tentang Asy’ariyah, perlu diketahui profil Ibnu Khuwaizi Mandad terlebih dahulu. Dalam Bahasa Arab, namanya ditulis sebagai ابن خُوَيْزِ مَنْدادُ. Al-Fairuzabadi dalam kamus al-Muhîth-nya menyebutkan ejaannya sebagai Ibnu Khuwaizi Mandad.
 
Dalam berbagai kitab profil tokoh, semisal Lisân al-Mîzan karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Wâfi bi al-Wafâyât karya as-Shafady, Tartîb al-Madârik karya Qadli Iyadl dan lain-lain, tak ditemukan data yang cukup mendetail tentang tokoh ini, namun yang menjadi kesepakatan bahwa dia merupakan salah satu tokoh bermazhab Malikiyah yang berguru pada tokoh Malikiyah terkemuka saat itu, yakni al-Imam Abu Bakr al-Abhari al-Maliky (375 H). Disebutkan bahwa Ibnu Khuwaizi Mandad mempunyai beberapa kitab dan wafat di akhir abad ke empat hijriah. 
 
Pernyataan kontroversialnya dinukil oleh Syekh Ibnu Abdil Barr al-Maliky (463 H) dalam kitabnya yang berjudul Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi Wafadlihi dengan sanad dari Ismail bin Abdirrahman dari Ibrahim bin Bakr. Disebutkan bahwa Ibnu Khuwaizi Mandad berkata:
 
أَهْلُ الْأَهْوَاءِ عِنْدَ مَالِكٍ وَسَائِرِ أَصْحَابِنَا هُمْ أَهْلُ الْكَلَامِ فَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ أَشْعَرِيًّا كَانَ أَوْ غَيْرَ أَشْعَرِيٍّ وَلَا تُقْبَلُ لَهُ شَهَادَةٌ فِي الْإِسْلَامِ وَيُهْجَرُ وَيُؤَدَّبُ عَلَى بِدْعَتِهِ، فَإِنْ تَمَادَى عَلَيْهَا اسْتُتِيبَ مِنْهَا
 
“Orang-orang yang tersesat (ahl al-ahwa’) menurut Imam Malik dan seluruh sahabat kami (Malikiyah) adalah ahli kalam. Maka seluruh ahli kalam adalah orang-orang yang tersesat dan Ahli Bid'ah, baik dia seorang Asy'ariyah atau bukan Asy'ariyah. Dan, tidak diterima persaksiannya dalam Islam, dikucilkan dan dibina atas bid'ahnya itu. Apabila ia meneruskan bid’ahnya tersebut maka dia dituntut untuk bertobat”. (Ibnu Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi Wafadlihi, Juz II, halaman 932)
 
Pernyataan di atas dikutip oleh Syekh Ibnu Taymiyah (728 H) dalam Fatâwâ al-Kubrâ dan juga disinggung oleh Imam al-Ghazali (504 H) dalam Ihya’ Ulumiddîn sewaktu menukil kalangan Malikiyah yang menolak ilmu kalam. Imam Ibnu Hajar al-Haitamy (973 H) juga menukil pernyataan Ibnu Khuwaizi Mandad tersebut dalam kitab al-Fatâwâ al-Hadîtsiyah tanpa sanad namun dengan redaksi yang lebih lengkap. 
 
Meskipun banyak yang menukilnya, namun pernyataan Ibnu Khuwaizi Mandad tersebut mempunyai beberapa masalah serius, yaitu: 
 
• Profil Ibnu Khuwaizi Mandad dikenal bermasalah.
 
Tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang mempunyai pendapat aneh, dikenal kurang menguasai fiqih dan bukan pemikir yang baik. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan profilnya sebagai berikut:
 
وعنده شواذ عن مالك واختيارات وتأويلات لم يعرج عليها حذاق المذهب كقوله: إن العبيد لا يدخلون في خطاب الأحرار وإن خبر الواحد يفيد العلم وإنه لا يعتق على الرجل سوى الآباء والأبناء. وقد تكلم فيه أبو الوليد الباجي ولم يكن بالجيد النظر، وَلا بالقوي في الفقه وكان يزعم أن مذهب مالك أنه لا يشهد جنازة متكلم، وَلا تجوز شهادتهم، وَلا مناكحتهم، وَلا أمانتهم. وطعن ابن عبد البر فيه أيضًا وكان في أواخر المِئَة الرابعة.
 
Dia punya beberapa riwayat aneh dari Imam Malik, pilihan pendapat serta tafsiran yang tidak dirujuk oleh tokoh mazhab yang cerdas; seperti pendapatnya bahwa seorang budak tidak termasuk dalam cakupan teks terhadap orang merdeka dan bahwa hadits Ahad bisa mendatangkan keyakinan dan bahwa yang bisa membebaskan seorang budak hanya Ayah atau anaknya. Syekh Abdul Walid al-Baji berkomentar tentangnya bahwa dia tidak mempunyai pemikiran yang baik dan juga tidak kuat dalam hal fiqih. Dia mengira bahwa dalam mazhab Malikiyah seorang ahli kalam tidak disaksikan jenazahnya, tidak boleh menyaksikannya, tidak boleh menikahkan mereka atau menerima titipan amanat mereka. Ibnu Abdul Barr juga mengkritiknya. Dia wafat pada akhir abad keempat hijriah. (Ibnu Hajar, Lisân al-Mîzân, V, halaman 359)
 
Karena itulah, maka setelah menukil pernyataan Ibnu Khuwaizi Mandad di atas, dengan redaksi yang lebih lengkap, Ibnu Hajar al-Haitamy kemudian berkomentar:
 
وَكَيف يرجع لِابْنِ خويز منداد وَيتْرك أقاويل أفاضل الْأمة وعلماء الْملَّة من الصَّحَابَة ومَنْ بعدهمْ كالأشعري والباهلي والقلانسي والمحاسبي وَابْن فورك والإسفرايني والباقلاني وَغَيرهم من أهل السّنة
 
“Bagaimana bisa merujuk pada Ibnu Khuwaizi Mindad dan meninggalkan pernyataan para pembesar umat dan ulama agama ini dari kalangan sahabat dan orang-orang semasanya semisal al-Asy’ari, al-Bahili, al-Qalanisi, al-Muhasiby, Ibnu Furak, al-Isfirayiny, al-Baqillany, dan lain-lain dari Ahlussunnah?”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyah, 147)
 
• Sanad riwayat yang bermasalah. 
Dalam sanad di atas ada Ibrahim bin Bakr yang tidak diketahui profilnya kecuali identitas dasar saja seperti nama, guru-guru, tempat tinggal dan tanggal wafatnya. Tak ada jarh dan ta’dîl yang bisa diperoleh dari tokoh ini yang menyebabkan kita tak bisa memastikan kredibilitasnya.
 
• Pernyataan tersebut bertentangan dengan kesaksian para ulama lain.
 
Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqât as-Syâfi’iyah menyatakan:
 
أئمة المالكية كانوا يناضلون عن مذهب الأشعرى ويبدعون من خالفه ولا حاجة إلى شرح ذلك فإن المالكية أخص الناس بالأشعرى إذ لا نحفظ مالكيا غير أشعري
 
“Sesungguhnya ulama malikiyah sangat membela mazhab Asy’ariyah dan membid’ahkan orang yang menentang mereka. Hal ini tidak perlu diterangkan lagi. Maka sesungguhnya Maliki adalah orang-orang yang paling khusus dengan mazhab asy’ariyah karena saya tidak mengingat ada seorang Maliki kecuali dia seorang Asy’ary”. (Tajuddin as-Subky, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz II, halaman 256) 
 
Kesaksian serupa juga dinukil oleh Imam Ibnu Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftary dan oleh tokoh-tokoh lain dalam berbagai kitab mereka. Namun terbatasnya ruang tak memungkinkan untuk menukil semuanya.
 
 
• Di masanya, ada Al-Baqillany (403) yang sangat terkenal dan terhormat di kalangan ulama Ahlussunnah. 
 
Beliau adalah pengikut mazhab fikih Malikiyah yang menjadi pejuang Asy’ariyah terhebat di masanya, bahkan dikenal sebagai pendiri kedua mazhab Asy’ariyah. Kehebatan al-Baqillany membuatnya dijuluki Saikh as-Sunnah (guru sunnah) dan Lisân al-Ummah (juru bicara umat). Ibnu Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftary (halaman 390) menceritakan bahwa Al-Baqillany bersama dengan Abu Bakr al-Abhary dan tokoh-tokoh terkemuka saat itu menghadiri majlis Syekh Abul Hasan Abdul Aziz at-Tamimy, seorang tokoh yang aqidahnya sama dengan Asy’ariyah. Qadli Iyadh dalam Tartîb al-Madârik (Juz VII, halaman 44) juga menukil pernyataan Abu Bakr al-Abhary yang menyatakan bahwa al-Baqillany seorang yang tsiqah (terpercaya). Bagaimana mungkin Ibnu Khuwaiz Mandad mengatakan bahwa Asy’ariyah ditolak dan dikucilkan, sedangkan gurunya sendiri, al-Abhary, ridha terhadap orang-orang Asy’ariyah dan bersama mereka?
 
Adz-Dhahaby dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’ (juz XIII, 204) juga menyebutkan bahwa al-Hafidz ad-Daraquthny (385 H) mencium kening al-Baqillany lalu memujinya sebagai Imamul muslimin. Hal itu membuat Abu Dzarr al-Harawi (434 H), murid al-Hafidz ad-Daraquthny berguru pada al-Baqillany dan menyatakan bahwa para ulama Ahlussunnah di Khurasan dan negara lain-lain di masa itu mengikuti jalan aqidah al-Baqillany. Bagaimana mungkin Ibnu Khuwaiz Mandad yang juga hidup di abad itu mengabaikan fakta ini?
 
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pernyataan Ibnu Khuwaizi Mandad yang dinisbatkan pada Imam Malik dan ulama Malikiyah di atas tertolak secara ilmiah dan tak layak dijadikan pedoman. Wallahu a’lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember