Ilmu Tauhid

Sidratul Muntaha: Tempat Istimewa untuk Nabi Muhammad saw

Sab, 11 Februari 2023 | 12:00 WIB

Sidratul Muntaha: Tempat Istimewa untuk Nabi Muhammad saw

Sidratul Muntaha (Ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Mendengar istilah Sidratul Muntaha, benak pikiran kita mungkin langsung tertuju pada kisah perjalanan Isra’-Mi’raj Rasulullah saw. Pasalnya, Sidratul Muntaha memang termasuk salah satu keagungan Allah yang diperlihatkan kepadanya.


Istimewanya, hanya Rasulullah saw yang mampu memasuki Sidratul Muntaha. Malaikat Jibril sendiri selaku pendamping Rasulullah saw tidak diperkenankan memasukinya.


Dalam Al-Qur’an istilah sidr atau sidrah disebutkan dalam empat ayat, yakni surat Saba’ [34] ayat 16 dengan makna pohon bidara; surat al-Waqi’ah [56] ayat 28 dengan makna pohon bidara yang tidak berduri; serta surat an-Najm [53] ayat 14 dan 16, yang juga bermakna pohon namun hanya Allah yang mengetahui hakikatnya.


Namun, dalam surat an-Najm ayat 14 istilah Sidratul Muntaha disebutkan secara eksplisit, “Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (Jibril dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha,” (QS. an-Najm [53]: 13-14).


Lantas seperti apa gambaran jelasnya Sidratul Muntaha yang disaksikan Rasulullah saw sewaktu Isra’-Mi’raj?


Seperti digambarkan dalam ayat di atas, Sidratul Muntaha merupakan tempat dimana Rasulullah saw melihat malaikat Jibril dalam rupa aslinya. Dijelaskan dalam salah satu hadits, saat di Sidratul Muntaha, rupa asli malaikat Jibril memiliki enam sayap. Dari bulu-bulunya, ia mengibaskan butiran-butiran yaqut dan permata.


Kemudian, keberadaan Sidratul Muntaha sendiri berada di dekat surga, sebagaimana ayat, “Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya.” (QS. an-Najm [53]: 13-14).


Dijelaskan para ulama, maksud sesuatu yang melingkupi di atas adalah cahaya. Demikian sebagaimana yang digambarkan hadits berikut:


لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ رُفِعْتُ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، فَرَأَيْتُ عِنْدَهَا نُورًا عَظِيمًا، وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلُ آذَانِ الْفُيُولِ، وَإِذَا نَبْقُهَا مِثْلُ قِلَالِ هَجَرَ، وَإِذَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ يَخْرُجُ مِنْ أَصْلِهَا نَهَرَانِ ظَاهِرَانِ وَنَهْرَانِ بَاطِنَانِ فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: أَمَا الْبَاطِنَانِ فَنَهَرَانِ فِي الْجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ فَالنِّيلُ وَالْفُرَاتُ


Artinya, “Ketika dimi’rajkan ke langit, aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Kemudian, aku melihat cahaya yang agung. Daun-daun Sidratul Muntaha itu seperti kuping-kuping gajah dan buah-buahnya seperti kendi besar. Di sana ada empat sungai yang dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Saat itu, aku bertanya, ‘Apa ini, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Dua sungai dalam adalah dua sungai di surga, sedangkan dua sungai luar adalah sungai Nil dan Eufrat,’” (HR Ahmad).


Dinamakan Sidratul Muntaha karena tempat pohon merupakan puncak segala sesuatu yang naik dari bumi dan yang turun dari langit. Pangkalnya yang turun dan naik tersebut berada di Sidratul Muntaha.


Dinamakan Sidratul Muntaha juga karena menjadi pohon tempat terakhirnya arwah para syuhada yang senantiasa mendapat karunia rezeki Allah. Pohon tersebut berada di atas langit ketujuh, di sebelah kanan ‘Arasy, dengan daun-daun seperti kuping-kuping gajah, buah-buahnya seperti kendi besar, dahan-dahannya berupa mutiara, yaqut, dan, zabarjad. (Lihat: Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz IV/160).


Setiap daunnya ditempati malaikat yang selalu berzikir pada Allah sehingga Sidratul muntaha layak disebut puncak ketinggian yang diketahui makhluk. Itu pun hanya Rasulullah saw yang mengetahuinya. Sampai-sampai malaikat Jibril pun tidak bisa memasukinya. Demikian seperti yang diakui Jibril sendiri:


إني لم أجاوز هذا الموضع، ولم يؤمر أحد بالمجاوزة عن هذا الموضع غيرك


Artinya, “Aku tidak bisa melewati tempat ini. Tidak ada satu pun yang diperintah melewati tempat ini kecuali engkau.”


Setibanya di Sidratul Muntaha, salam yang terucap dari lisan Rasulullah saw. adalah, “At-tahayiyyatul mubarakatus shalawatu lillah." Dijawab oleh Allah, “Assalamu alaika ayyuhan-nabiyy warahmatullahi wabarakatuh.” Dijawab lagi oleh Rasulullah saw, “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahis shalihin.” Bacaan inilah yang hingga sekarang menjadi bacaan tahiyat shalat kita selaku umat Rasulullah saw. (Lihat: Tafsir az-Zamarqandi, juz I/189).


Dikisahkan pula oleh Rasulullah saw, “Di sana aku disuguhi dua gelas minuman. Yang satu berisi susu, yang satu berisi khamr. Keduanya ditawarkan kepadaku. Dan aku memilih susu. Disampaikan kepadaku, ‘Engkau sudah benar! Melaluimu, Allah telah menempatkan umatmu sesuai fitrah.’”


Di sana pula Rasulullah saw mendapat perintah shalat lima puluh waktu yang diusulkan Nabi Musa as. untuk dikurangi hingga akhirnya ditetapkan 5 waktu. Meski hanya lima waktu, tetapi keutamaan dan keunggulannya menandingi 50 waktu. (Lihat: Tafsir Yahya bin Salam, juz I/104).


Maha Besar Allah yang telah memperlihatkan sebagian kekuasaan kepada hamba-Nya. Betapa mulia hamba yang telah menyaksikannya. Sungguh dia (Muhammad) benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar. (QS. an-Najm [53]: 18). Wallahu a'lam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.