Khutbah

Khutbah Idul Fitri: Prinsip Memaafkan dan Perdamaian

Kam, 16 Juli 2015 | 04:57 WIB

Khutbah I

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر. الحمد لله الذى عاد علينا نعمه فى كل نفس ولمحات وأسبغ علينا ظاهرة وباطنة فى الجلوات والخلوات. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الذى امتن علينا لنشكره بأنواع الذكر والطاعات. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله سيد الأنبياء والمرسلين وسائر البريات. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه أهل الفضل والكمالات

الله أكبر أما بعد : أيها الحاضرون ! هذا يوم العيد. هذا يوم الفرح. فرح المسلمون لتوفيق الله إياهم باستكمال بلاء ربهم بفرض الصيام مع الترويحات فرح المسلمون بوعد ربهم بغفران ما اجترحوا من السيئات واستحلال بعضهم من بعض فى الحقوق والواجبات.

إخوانى الكرام ! فى هذا اليوم حرم الله علينا الصيام بعد أن فرضه علينا جميع الشهر وأخبر أنه فرضه لنكون من المتقين. فمن هذا اليوم ينبغى لنا أن نبعث فى أنفسنا بارتقائها على مراتب التقوى ونهتم بدين ربنا حتى ننال ما وعدنا ربنا حقا.

الله أكبر ! إخوانى الكرام ! إن الله شرع لنا هذا العيد لنعود الى السمع والطاعة. ونعمل بكتابه بالجد والإجتهاد والقوة. ونبتعد عن التقصير والأعمال كما وقع فى أعوامنا الماضية.

الله أكبر. وقال تعالى : ومن أظلم ممن ذكر بأيات ربه فأعرض عنها ونسى ما قدمت يداه. إنا جعلنا على قلوبهم أكنة أن يفقهوه وفى أذانهم وقرا وإن تدعهم إلى الهدى فلن يهتدوا إذن أبدا.

الله أكبر, إخوانى الكرام ! إعلموا أن الله تعالى قد طالبنا فى إقرارنا أن نطيع ونسمع. فقال تعالى ألم ياءن للذين أمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله وما نزل من الحق ولا يكونوا كالذين أوتوا الكتاب من قبل فطال عليهم الأمد فقست قلوبهم وكثير منهم فاسقون.

الله أكبر. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. بادروا بالأعمال قبل ان تظهر فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسى كافرا ويمسى مؤمنا ويصبح كافرا. يبيع أحدهم دينه بعرض قليل من الدنيا. رواه مسلم عن أبى هريرة

Bagi umat Islam, momentum Idul Fitri adalah saat-saat penting untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan. Seluruh kesalahan yang pernah dilakukan selama satu tahun, seolah ingin dilebur di hari Lebaran ini, minal a’idin wal-faizin. Meskipun secara bahasa tidak sesuai, tetapi ungkapan itu dalam masyarakat kita sering dimaknai "mohon maaf lahir dan batin". Meski secara kontekstual pemaknaan itu tidak terlalu menyimpang, namun keluasan dan kedalaman makna ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya terwakili perkataan "mohon maaf lahir dan batin".

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat ied yang dirahmati Allah

Dalam istilah agama, ada yang disebut haqqullah atau hak Allah dan ada yang disebut haqqul adami atau hak manusia. Dosa atau kesalahan manusia kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Kita menjalankan puasa Ramadhan adalah upaya menebus dosa dan memohon ampun kepada Allah. Puncaknya adalah Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrah kita, kepada kesucian.

 

Namun kembali kepada kesucian itu yang disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah, lalu disempurnakan dengan maaf dari manusia. Dalam kehidupan keseharian atau bermasyarakat, kita pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama. Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama jika kita tidak mau minta maaf kepada yang bersangkutan. Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan minal a’idin wal-faizin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horizontal.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Hadirin jamaah shalat Id yang semoga dimuliakan Allah,

Hidup pada dasarnya suatu gerak, suatu aktivitas dalam waktu. Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka hidup telah dimulai. Meminjam istilah Dante Alighieri, hidup manusia dimulai di alam paradiso, yakni alam kebahagiaan. Karena pada saat itu, fitrah atau kejadian asal manusia bersentuhan secara fisik maupun mental dengan alam materi yang membuatnya tidak lagi bersih atau suci. Ditambah lagi, manusia itu makhluk yang lemah sehingga mudah terjerembab ke dalam kenikmatan materi yang semu. Semakin lama ia tenggelam dalam kemeriahan alam materi, semakin kotor pula alam rohaninya. Akhirnya, terjatuhlah manusia itu ke alam inferno, yaitu alam kesengsaraan.

Untuk bisa kembali ke alam paradiso atau alam kebahagiaan, manusia harus melalui proses pembersihan diri di alam purgatorio. Bagi umat Islam, alam purgatorio tidak lain adalah bulan Ramadhan, yakni bulan yang didatangkan rahmat, ampunan sekaligus sebagai pencegah agar manusia tidak jatuh ke alam inferno. Dengan demikian, umat Islam dapat masuk kembali ke alam paradiso, alam kesucian yang dilambangkan dengan Idul Fitri.

Sebenarnya, lambang-lambang dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiannya tidak sulit juga ditemukan dalam aktivitas di hari Idul Fitri. Kita melihat misalnya orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejal di kereta atau bus, saling sikut, saling dorong dan sebagainya. Bahkan banyak yang menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak kebagian tempat. Besoknya dia berjuang lagi. Kita lihat ribuan TKI yang mengais rezeki di negeri-negeri jiran, betapa mereka tampak berbondong pulang merindukan kampung halamannya. Inilah mudik lebaran yang sebenarnya "kembali ke asal" (ke kampung halaman) atau "kembali ke fitrah" dalam aktualisasi antropologis.

Apa yang akan mereka lakukan di kampung halaman sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan. Tak jarang di antara mereka hidup di rantau dengan sengsara dalam arti sebenarnya. Dengan mudah kita bisa menebak rata-rata penghasilan para pendatang yang mengadu nasib di Jakarta atau kawasan industri di Jabotabek sebagai pekerja pabrik atau pedagang di sektor informal. Itu pun jika mereka belum kena PHK akibat pabrik gulung tikar. Jadi, tujuan mereka mudik itu sama sekali jauh di atas kepentingan material, tetapi didorong kecenderungan spiritual, yaitu hasrat berkumpul dengan sanak saudara sekaligus untuk saling memaafkan.

Jamaaah shalat Id hafidhakumullah,

Memaafkan adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika dia menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan itu. Kata memaafkan sendiri dalam surat Ali Imran Ayat 134 didahului dengan kata menahan amarah. Karena orang yang tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain, biasanya memendam amarah atau menyimpan dendam.

Dalam Al-Qur'an, kata dendam yang terkait gejala kemanusiaan paling sedikit disebutkan dua kali, yaitu dalam surat Al-Hijr Ayat 45-50 dan surat Al-A’raf Ayat 43. Kedua redaksi ayat itu persis sama: "Dan kami lenyapkan segala macam dendam yang ada dalam dada mereka". Keduanya dirangkai dengan keterangan mengenai keadaan surga. Kesimpulan ringkas yang diurai petunjuk Al-Qur'an adalah sifat dendam-yang salah satu bentuknya adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain-bukanlah sifat orang yang beriman. Sebab, Allah sendiri Maha Pemaaf. Allah juga mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang yang apabila marah mau memberi maaf.

Jelas, memaafkan adalah suatu kualitas dan tingkatan moral tersendiri. Kalau kita memaafkan kesalahan orang lain berarti kita menutupi kesalahan orang itu dan rasa marah kita sendiri. Sebab, keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan memberi maaf. Kini pertanyaannya, mampukah kita meletakkan makna ungkapan "mohon maaf lahir dan batin" di suasana Lebaran ini dalam kerangka seperti itu? Sungguh tidak mudah. Sebab, bentuk- bentuk lahiriah dari pernyataan itu tampak lebih dominan ketimbang makna esensial yang ingin dituju. Lihat para politisi kita di depan kamera TV saling berpelukan, tetapi di belakang mereka saling berusaha menjegal dan menikam.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Memang manusiawi dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam berpolitik terjadi aneka pertentangan, perebutan kepentingan, dan konflik. Tetapi, umat Islam diingatkan ajaran agamanya, sehebat apa pun konflik hendaknya segera dicarikan penyelesaian dengan mengedepankan semanat ukhuwah (persaudaraan) guna membangun ishlah (perdamaian) di antara sesama umat manusia yang hingga kini masih tampak sering terganggu, bahkan terbelah dalam perseteruan.

Bagi kalangan tertentu yang menginginkan dakwah secara radikal dan menimbulkan permusuhan, maka di hari Idul Fitri, kini adalah saatnya untuk merenungkan kembali sikap dakwah yang lebih arif (bi al-hikmah). Pesan nabi Muhammad, "Jangan sampai perselisihan itu berlanjut lebih dari tiga hari". Mudah-mudahan melalui hari Idul Fitri ini kita bisa memetik hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata, agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai kita di mana pun dan kapan pun.

 بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى وإياكم بفهمه إنه هو البر الرحيم.

Khutbah II

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر

الحمد لله أفاض نعمه علينا وأعظم. وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. أسبغ نعمه علينا ظاهرها وباطنها وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. رسول اصطفاه على جميع البريات. ملكهاوإنسها وجنّها. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه أهل الكمال فى بقاع الأرض بدوها وقراها, بلدانها وهدنها.

الله أكبر أما بعد : إخوانى الكرام ! استعدوا لجواب ربكم متى تخشع لذكر الله متى نعمل بكتاب الله ؟ قال تعالى ياأيها الذين أمنوا استجيبوا لله ولرسوله إذا دعاكم لما يحييكم واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه وأنه إليه تخشرون.

الله أكبر. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد. كما صليت على إبراهيم وعلى أل إبراهيم, وبارك على محمد وعلى أل محمد, كماباركت على إبراهيم وعلى أل إبراهيم فى العالمين إنك حميد مجيد.

الله أكبر. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات. إنك سميع قريب مجيب الدعوات وقاضى الحاجات. اللهم وفقنا لعمل صالح يبقى نفعه على ممر الدهور. وجنبنا من النواهى وأعمال هى تبور. اللهم أصلح ولاة أمورنا. وبارك لنا فى علومنا وأعمالنا. اللهم ألف بين قلوبنا وأصلح ذات بيننا. اللهم اجعلنا نعظم شكرك. ونتبع ذكرك ووصيتك. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار. ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب.

الله أكبر. عباد الله ! إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر. يعذكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله يذكركم واشكروا على نعمه يشكركم. ولذكر الله أكبر.  

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ.



(KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU)