Nikah/Keluarga

Hak dan Kewajiban Perempuan Selama Masa Iddah

Sab, 20 Juli 2019 | 02:00 WIB

Sebagaimana diketahui, talak bukanlah pemutus sekaligus ikatan perkawinan. Sejak talak dijatuhkan hingga tali perkawinan benar-benar terputus masih ada satu masa yang disebut “masa iddah”, yaitu masa tunggu bagi si istri untuk mengetahui kekosongan rahimnya, sekaligus masa di mana mantan pasutri bisa berpikir ulang dan rujuk kembali. Pada masa itu juga masih ada sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, baik suami maupun istri. 

Apa saja hak dan kewajiban tersebut? Syekh Abu Syuja dalam al-Ghâyah wa al-Taqrîb telah mengemukakannya kepada kita. 

ويجب للمعتدة الرجعية السكني والنفقة ويجب للبائن السكني دون النفقة إلا أن تكون حاملا ويجب على المتوفى عنها زوجها الإحداد وهو الامتناع من الزينة والطيب وعلى المتوفى عنها زوجها والمبتوتة ملازمة البيت إلا لحاجة

Artinya, “Perempuan yang beriddah dari talak raj‘i (bisa dirujuk) wajib diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah kecuali ia sedang hamil. Kemudian perempuan yang ditinggal wafat suaminya wajib ber-ihdad, dalam arti tidak berdandan dan tidak menggunakan wewangian. Selain itu, perempuan yang ditinggal wafat suaminya dan putus dari pernikahan wajib menetap di rumah kecuali karena kebutuhan,” (Syekh Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, terbitan Alam al-Kutub, hal. 35). 

Dengan memperhatikan petikan matan di atas dan juga penjelasannya dari Syekh Muhammad ibn Qasim dalam kitab Fathul Qarib (terbitan Pustaka al-‘Alawiyyah, Semarang, t.t, hal. 50) dan Hasyiyah al-Bajuri, (terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, t.t, jilid 2, hal. 174) dapat disampaikan beberapa kesimpulan tentang hak dan kewajiban perempuan beriddah, yakni sebagai berikut: 

1. Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‘i berhak mendapat tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami, kecuali jika ia nusyuz (durhaka) sebelum diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya. 

Hal itu berdasarkan firman Allah, Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. 

Dan juga sabda Rasulullah saw., “Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”

2. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in, baik karena khulu‘, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak dalam keadaan hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah kecuali jika ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa iddahnya. 

3. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja. Tidak berhak atas biaya lainnya. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah nafkah itu gugur karena nusyuz atau tidak. 

4. Perempuan yang sedang beriddah karena ditinggal wafat suaminya tidak berhak mendapat nafkah walaupun dalam keadaan hamil. 

5. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan, seperti mengenakan pakaian bewarna mencolok semisal kuning atau merah yang dimaksudkan untuk berdandan. Juga tidak diperkenankan mengenakan wewangian, baik pada badan atau pakaian.  

6. Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang telah putus dari pernikahan, baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh, berkewajiban untuk selalu berada di rumah. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk mengeluarkannya. Selain itu, ia juga tidak boleh keluar dari rumah itu walaupun diridai oleh mantan suaminya kecuali karena ada kebutuhan. Adapun kebutuhan keluar rumahnya di siang hari seperti untuk bekerja dan belanja kebutuhan. Bahkan untuk kebutuhan mendesak, pada malam hari pun ia boleh keluar, dengan catatan ia kembali pulang dan bermalam di rumah tersebut kecuali memang ada ketakutan yang menimpa diri, anak-anak, dan hartanya.   

7. Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj‘i tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain atau menerima lamaran baru walaupun berupa sindiran, sebagaimana dalam ayat, Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya, (Q.S. al-Baqarah [2]; 235). 

8. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat atau ditalak ba’in suaminya tidak boleh menerima lamaran terang-terangan, tetapi boleh menerima lamaran berupa sindiran atau penawaran, sebagaimana firman Allah, Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, (Q.S. al-Baqarah [2]: 235). 

Demikian hak dan kewajiban perempuan dalam masa iddah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. 


Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.