Menimbang Ulang Makna Resepsi Pernikahan dalam Islam
NU Online · Rabu, 2 Juli 2025 | 11:00 WIB
Alief Hafidzt Aulia
Kolomnis
Resepsi pernikahan mestinya menjadi momentum sakral dan penuh keberkahan. Namun, realita yang terjadi di lapangan malah bertolak belakang. Ruang publik, belakangan ini dihebohkan dengan kisah mengharukan, seorang mempelai Perempuan di Serang, Banten, pingsan pada saat acara pernikahan lantaran dekorasi yang disediakan oleh vendor jauh dari nota kesepakatan.
Sayangnya, kasus ini bukan insiden biasa, melainkan mencerminkan krisis makna dalam penyelenggaraan walimatul ‘urs atau resepsi pernikahan yang kian bergeser dari bentuk ibadah menjadi komoditas visual dan gengsi sosial.
Dalam tradisi Islam, pernikahan bukan hanya kontrak sosial, tetapi ikatan sakral yang membawa keberkahan dan tanggung jawab ruhani. Maka setelah ijab kabul diikrarkan, umat Islam dianjurkan untuk merayakannya dalam bentuk walimatul ‘urs (resepsi pernikahan).
Baca Juga
Resepsi Perkawinan Menurut Rasulullah
Tradisi semacam ini bukan sekadar budaya Arab yang diwariskan turun-menurun, melainkan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw melalui sabdanya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه (أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى عَلَى عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ، قَالَ : مَا هَذَا، قَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ اِمْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. فَقَالَ : فَبَارَكَ اَللَّهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa ini?". Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." Muttafaq Alaihi dan lafaznya menurut Muslim.” (HR. Bukhari & Muslim, No. 1067)
Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim, beliau menjelaskan bahwa walimah merupakan sunnah yang sangat dianjurkan. Hal itu mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah, bentuk pengumuman pernikahan, dan wujud menyebarkan kegembiraan di tengah kaum muslimin. (Syarh Shahih Muslim, [Dar al-Minhaj, 2007], Jilid 9, halaman 210).
Lebih lanjut, Syekh Muhammad Muhajirin, dalam kitab Misbâhu al-Dzulâm menjelaskan kalimat (أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ) menurut sebagian ulama Syafi’iyyah:
وقال بعض الشافعية: إنها واجبة لأن النبي ﷺ أمر عبد الرحمن بن عوف ولأن الإجابة واجبة، فكانت واجبة
Artinya: “Sebagian ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa walimah itu wajib, karena Nabi ﷺ memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk mengadakan walimah. Dan karena memenuhi undangan walimah adalah wajib, maka menyelenggarakannya juga dianggap wajib.” (Misbâhu al-Dzulâm Syarah Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkâm, [Yogyakarta: Maktabah Iskandariyah, 2022], Jilid 3, halaman 221).
Lebih jauh, kasus vendor pada resepsi pernikahan di Banten yang menimbulkan ketidakpuasan terhadap customer (mempelai perempuan), hal ini ternyata menyentuh persoalan muamalah. Dalam Islam, kesepakatan antar penjual dan pembeli, pada konteks ini adalah vendor dan klien merupakan bentuk akad ijarah (sewa jasa). Jika akad telah diikrarkan, maka mengingkarinya adalah pelanggaran yang memiliki konsekuensi moral dan hukum. Allah berfirman dalam Surat Al-Ma’idah [5] ayat 1:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Ulama besar Nusantara, Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, menjelaskan kalimat “al-Uqud” mencakup dua hal, yakni [1] kewajiban agama, seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya, [2] perjanjian sosial, seperti jual beli, sewa menyewa, amanah, dan akad lainnya.
(أوفوا بالعقود) وهي جميع ما ألزمه الله تعالى عباده من التكاليف والأحكام البيّنة، وما يعقدونه فيما بينهم من عقود الأمانات والمعاملات وغيرها مما يجب الوفاء به أو يحسن دينا
Artinya: “(Penuhilah akad-akad itu), maksudnya semua hal yang telah diwajibkan Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, baik berupa kewajiban-kewajiban syariat dan hukum-hukum yang jelas atau perjanjian-perjanjian yang mereka buat di antara sesama mereka, seperti akad amanah, muamalah (transaksi), dan lainnya, dari hal-hal yang wajib dipenuhi atau dianjurkan secara agama,” (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, Tafsir Marah Labid, Juz I, halaman 189).
Dalam konteks ini, vendor yang mengingkari janji dan menyebabkan kerugian, baik materi maupun psikologis, jelas telah melakukan kezaliman dan wajib bertanggung jawab. Bahkan, dalam kitab Al-Majmu, Imam an-Nawawi menerangkan:
إِذَا أَخَلَّ الْمُؤَجِّرُ بِالشُّرُوطِ، وَوَقَعَ الضَّرَرُ، فَعَلَيْهِ التَّعْوِيضُ
Artinya: “Apabila penyewa jasa melanggar kesepakatan dan menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti rugi,” (Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi, Al Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Dar al-Fikr, 1997], Jilid XV, halaman 143).
Artinya, vendor yang tidak menepati janji bukan sekadar lalai secara profesional, tetapi telah melakukan tindakan zalim yang menodai nilai amanah dan mencederai perjanjian syar'i.
Tidak Berlebihan dalam Resepsi
Realitas hari ini, walimah seringkali menjadi ajang kompetisi status sosial sehingga semua persiapan resepsi pernikahan seolah harus terlihat mewah dan elegan. Akibatnya, tak sedikit pasangan yang harus berutang demi mempersembahkan kemegahan, bahkan mengorbankan stabilitas awal kehidupan rumah tangga.
Fenomena seperti ini, jelas bertentangan dari spirit Islam yang menganjurkan wasathiyyah (keseimbangan). Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 141:
وَلَا تُسْرِفُوْا اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Artinya: “… Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam tafsir Qurthubi, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa “israf” atau berlebih-lebihan dalam pernikahan termasuk bentuk kebid’ahan, bahkan bisa menyeret kepada kesulitan dan dosa. (Tafsir Qurthubi, [Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], Jilid 7, halaman 150).
Lebih dalam dari itu, Rasulullah bersabda:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
Artinya: “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (biayanya),” (HR. Ibn Hibban, no. 4057).
Kesederhanaan bukan sekadar hemat biaya, tapi juga jujur dalam niat, dan Ikhlas dalam pelaksanaan. Pernikahan bukan ajang pamer, tapi awal perjalanan menuju Ridha Allah. Jika pesta menyisakan utang dan aib, maka hal itu bukan walimah, melainkan bencana batin yang dibungkus bunga pernikahan.
Ungkapan hadits di atas, sesuai dengan ucapan Imam Al-Munawi dalam kitab Fayd al-Qadir sebagai berikut:
السُّهُولَةُ فِي النِّكَاحِ تُؤَدِّي إِلَى الْبَرَكَةِ، وَمَا شَقَّ فِي بَدْئِهِ شَقَّ فِي عَاقِبَتِهِ
Artinya: “Pernikahan yang dimulai dengan kemudahan itu membawa keberkahan. Jika dimulai dengan kesulitan, niscaya akan sulit pula di akhirnya,” (Syekh Muhammad Abdurrauf al-Manawi, Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shagir, [Dar al-Ma’rifah, 1994], Jilid 3, halaman 398).
Sudah saatnya kita refleksi ulang, untuk apa kita menikah? Jika jawabannya adalah karena Allah, maka segala bentuk pamer dan adu gengsi seyogyanya disingkirkan. Walimah adalah bentuk rasa syukur atas pernikahan yang sudah dilaksanakan. Jika dilaksanakan sesuai ketentuan Islam, maka hal itu dinilai ibadah.
Oleh karena itu, marilah kembali kepada walimah yang sesuai dengan ketentuan syariat. Laksanakan dengan jujur, sederhana, amanah, dan niat suci membangun keluarga Sakinah yang bermula dari keberkahan, bukan dari hutan dan kesedihan. Wallahu a’lam.
Alief Hafidzt Aulia, Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi.
Terpopuler
1
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
4
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
5
Mahfud MD Ungkap Ketimpangan Struktural Indonesia
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua