Nikah/Keluarga

Korelasi Makna Sakinah dengan Maraknya Kasus Perceraian

Sel, 21 Mei 2024 | 11:00 WIB

Korelasi Makna Sakinah dengan Maraknya Kasus Perceraian

Ilustrasi perceraian. (Foto: NU Online/Freepik)

Salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan adalah agar dua insan bisa hidup sakinah, yang diartikan dengan tenang dan tenteram dan tidak selalu dirundung kegelisahan, kerisauan maupun kebingungan dalam menjalani roda kehidupan. Allah berfirman dalam Surat Ar-Rum [30] ayat 21:

 

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ 

 

wa min âyâtihî an khalaqa lakum min anfusikum azwâjal litaskunû ilaihâ wa ja‘ala bainakum mawaddataw wa raḫmah, inna fî dzâlika la'âyâtil liqaumiy yatafakkarûn

 

Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

 

Berangkat dari ayat tersebut, Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khatib menjelaskan makna sakinah sebagaimana berikut:

 

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا,ْ لتطمئنوا إِلَيْهَا وترتاحوا

 

Artinya: “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt adalah menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis-jenis kalian agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Artinya agar kalian menjadi tenang dan tenteram.” (Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khatib, Audhahut Tafasir, [Mesir, Mathbaatul Mishriyah: 1964], halaman 493).

 

Sakinah dapat diraih oleh kedua pasangan karena Allah swt menciptakan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Dua unsur ini dapat diwujudkan oleh mereka yang sudah berstatus suami-istri melebihi orang lain yang belum menikah.

 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, sakinah diliputi dua hal, yaitu mawaddah dan rahmah. Mawaddah itu terjadi pada proses awal, kemudian melahirkan rahmah. Karena suami-istri dapat menemukan sikap saling kasih yang tidak bisa ditemukan dengan ikatan famili yang lain. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa Asy-Syariah wa Al-Manhaj, (Damaskus, Darul Fikr: 1418 H) jilid XXI, halaman 75).

 

Bahkan Ibnu Katsir menegaskan, tidak ada kasih sayang yang lebih tinggi dari pada kasih sayang di antara suami-istri, ia mengatakan sebagaimana berikut:

 

فلا ألفة بين روحين أعظم مما بين الزوجين

 

Artinya: “Tidak ada kasih sayang antara dua jiwa yang lebih besar daripada kasih sayang antara suami-istri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Karim, [Riyadh, Dar Thayyibah: 1997], Jilid VI, halaman 525).

 

Selama berstatus suami-istri, maka sisi sakinah pasti ada dan dirasakan oleh kedua pasangan. Adapun terkait kasus penceraian yang marak terjadi penyebabnya dilatarbelakangi oleh faktor lain di luar eksistensi pernikahan, yaitu faktor lemahnya moral, rusaknya lingkungan, dan minimnya pendidikan. Abdul Lathif menjelaskan sebagaimana berikut:

 

ولا يخفى ما بثه الله تعالى بين الأزواج: من الشفقة والحنان؛ وما أوجبه على كلا الزوجين من المودة، والتفاني في الإخلاص والمحبة وهذا لا يتنافى مع ما يحدث من الشقاق بين الطبقة الدنيا، وذوي النفوس الوضيعة، مما ينشأ من ضعف الأخلاق، وفساد البيئة، ونقص التربية

 

Artinya: “Sangat jelas bahwa Allah swt menumbuhkan rasa kasih dan cinta di antara suami-istri. Juga lahir perasaan cinta kasih serta saling mendedikasikan diri dengan ikhlas dan cinta. Hal ini tidak bisa dinafikan dengan perahara rumah tangga yang terjadi dalam lapisan dunia dan nafsu-nafsu yang kotor, di mana munculnya problematika ini antara lain karena lemahnya moral, rusaknya lingkungan, dan minimnya pendidikan.” (Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khatib, Audhahut Tafasir..., halaman 493).

 

Selain itu, perceraian juga bisa terjadi karena adanya pengaruh dari penyihir yang berkolaborasi dengan setan dan punya misi untuk memisahkan hubungan suami-istri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir sebagaimana berikut:

 

فلا ألفة بين روحين أعظم مما بين الزوجين؛ ولهذا ذكر تعالى أن الساحر ربما توصل بكيده إلى التفرقة بين المرء وزوجه

 

Artinya: “Tidak ada kasih sayang antara dua jiwa yang lebih besar daripada kasih sayang antara suami-istri. Karena itu Allah swt menyebutkan bahwa tukang sihir dengan tipu dayanya kadang menyebabkan penceraian antara suami-istri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Karim..., halaman 479).

 

Cara yang dilakukan setan agar terjadi penceraian suami-istri adalah dengan sihirnya membuat mereka membayangkan pasangan dengan bentuk rupa yang berbeda dengan sebenarnya, baik dari sisi kebaikan dan kecantikan, sehingga dianggap jelek dan kemudian memalingkan muka dan menghindarinya. (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, [Bairut, Muassasah Ar-Risalah: 2000], halaman 448).

 

Dikutip oleh Imam Ath-Thabrani, Abdullah mengatakan setan selalu menginginkan suami membenci istri dan istri membenci suami.

 

إِنَّ الْإِلْفَ مِنَ اللَّهِ وَأَنَّ الْفَرْكَ مِنَ الشَّيْطَانِ ليُكَرِّهَ إِلَيْهِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُ

 

Artinya: “Kesenangan dari Allah swt dan kebencian dari setan agar dia membenci apa yang dihalalkan oleh Allah swt. kepadanya.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, [tt, Muktabatul Ulum wal Hikam: 1983], halaman 204).

 

Dengan demikian, sisi harmonis sebagai manifestasi dari makna sakinah selalu hadir dalam diri suami istri. Adapun prahara rumah tangga yang berujung pada penceraian bisa terjadi karena empat faktor, yaitu lemahnya moral, rusaknya lingkungan, minimnya pendidikan, dan pengaruh dari setan penyihir. Wallaha a‘lam.

 

Ustadz Muqoffi, Guru di Pesantren Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura.