Mahar yang Ideal dalam Islam, Berapa Jumlahnya?
NU Online · Rabu, 28 Mei 2025 | 06:00 WIB
Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Mahar sering kali menjadi topik yang memicu beragam pandangan di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang, mahar dianggap harus memenuhi standar tertentu yang kerap dikaitkan dengan kondisi ekonomi, status sosial, atau bahkan citra keluarga. Tak jarang, pasangan yang berencana menikah justru terhambat karena mahar yang dianggap "belum layak". Standar "layak" ini pun sering kali dipengaruhi oleh tren, ekspektasi sosial, atau tekanan untuk memenuhi harapan keluarga.
Padahal, mahar yang sejatinya merupakan bagian kecil dari proses ikatan pernikahan tidak seharusnya menjadi beban berat. Banyak laki-laki merasa tertekan, bahkan minder, ketika tidak mampu memberikan mahar yang dianggap mewah, seperti mobil keluaran terbaru atau rumah bergaya modern.
Di sisi lain, sebagian keluarga mempelai wanita menjadikan nilai mahar sebagai "jaminan" atau bahkan tolok ukur keberhasilan pernikahan anak gadisnya. Kompleksitas pandangan tentang mahar, ditambah dengan tekanan untuk mengikuti tren, membuat persoalan ini perlu dilihat dengan sudut pandang yang lebih jernih.
Untuk itu, memahami definisi, esensi, dan prinsip mahar menjadi langkah penting menuju pernikahan yang penuh keberkahan. Dengan pemahaman yang tepat, mahar tidak lagi menjadi beban, melainkan simbol cinta dan tanggung jawab yang memperkuat ikatan suci.
Dalam Islam, mahar yang juga dikenal sebagai mas kawin, memiliki status hukum wajib. Istilah mahar dikenal dengan berbagai nama dalam literatur Islam, seperti shadaq, ajrun, faridhoh, a’laiq, atau u’qur. Mahar dapat dipahami sebagai berikut:
وَالصَّدَاقُ: هُوَ الْعِوَضُ الْمُسْتَحَقُّ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ
Artinya, “Shadaq (mahar) adalah imbalan yang wajib diberikan dalam akad pernikahan.” (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], juz IX, halaman 393).
Dalam ajaran Islam, syariat tidak menetapkan bahwa mahar harus berupa aset tertentu. Di Indonesia, mahar sering kali berbentuk uang tunai dengan jumlah tertentu, emas, seperangkat alat salat, atau benda lain yang disepakati. Meskipun praktik mahar di Indonesia memiliki corak budaya lokal, pelaksanaannya tetap diperbolehkan selama sesuai dengan prinsip syariat.
Kewajiban menunaikan mahar bersifat mutlak, namun fleksibel dalam pelaksanaannya. Jika mahar disebutkan secara spesifik saat akad nikah (dikenal sebagai mahar musamma), maka pihak mempelai pria wajib memenuhi sesuai kesepakatan tersebut. Sebaliknya, jika mahar tidak disebutkan saat akad, maka kewajiban mempelai pria adalah memberikan mahar mitsil, yaitu mahar yang lazim diberikan di lingkungan keluarga mempelai wanita.
Anggapan bahwa mahar merupakan beban berat bagi mempelai pria adalah pandangan keliru yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Ibnu Asyur, mahar bukanlah pembebanan, melainkan wujud pemuliaan terhadap wanita. Mahar bukan alat transaksi untuk melegalkan hubungan suami-istri, tetapi pemberian tulus (nihlah) yang diberikan dengan ikhlas tanpa negosiasi seperti transaksi dagang (mukayasah). Hal ini tersirat dalam Al-Qur’an, khususnya pada Surah An-Nisa’ ayat 4 dan 24 (Ibnu Asyur, Tafsir Al-Wasith, [Qatar: Kementerian Wakaf Qatar, 2004], Juz II, hlm. 244).
Prinsip Dasar Menunaikan Mahar
Menetapkan mahar dengan nominal tertentu, seperti ratusan juta sebagai “jaminan”, jelas menyimpang dari nilai-nilai dasar pemberian mahar Islam. Syariat Islam mengajarkan prinsip kemudahan dalam mahar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا
Artinya, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan) nilainya.” (HR Imam Ahmad)
Mahar sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan mempelai pria dan disepakati dengan penuh keikhlasan, tanpa membebani salah satu pihak. Prinsip ini mencerminkan esensi pernikahan sebagai ibadah yang mendatangkan keberkahan, bukan ajang pamer kemewahan atau status sosial. Dalam Islam, mahar bukanlah alat untuk mempersulit, melainkan simbol komitmen yang tulus untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Rasulullah SAW sendiri mencontohkan kemudahan dalam mahar. Beliau mendorong umatnya untuk memilih mahar yang ringan agar tidak memberatkan mempelai pria. Para ulama juga memberikan panduan yang jelas mengenai mahar agar sesuai dengan sunnah.
Mereka menekankan bahwa mahar tidak perlu bernilai fantastis, melainkan cukup disesuaikan dengan kemampuan mempelai pria dan nilai yang lazim di lingkungan mempelai wanita (mahar mitsil). Dengan demikian, mahar tetap menjadi wujud penghormatan kepada mempelai wanita tanpa mengesampingkan prinsip kesederhanaan dan keikhlasan.
يُسَنُّ عَدَمُ النُّقْصِ عَنْ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ، وَعَدَمُ الزِّيَادَةِ عَلَى خَمْسِمِائَةِ دِرْهَمٍ خَالِصَةٍ
Artinya, “Disunnahkan mahar tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni.” (Abu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qorib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 234).
Dalam Islam, mahar tidak terpaku pada nominal atau bentuk tertentu, melainkan menitikberatkan pada kemudahan dan keikhlasan. Sebagai gambaran, berdasarkan nilai saat ini (per 27 Mei 2025), satu gram perak (dirham) setara dengan Rp13.000. Dengan demikian, mahar yang disunnahkan berkisar antara 10 dirham (Rp386.750) hingga 500 dirham (Rp19.337.500). Namun, ini hanyalah panduan, bukan keharusan. Prinsip utama mahar adalah kesederhanaan.
Jika kadar mahar yang disarankan ulama masih terasa sulit, Islam tetap memperbolehkan mahar di bawah nilai tersebut. Fleksibilitas ini menegaskan bahwa mahar bukanlah beban, melainkan wujud penghormatan kepada mempelai wanita yang disesuaikan dengan kemampuan mempelai pria.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan Mahkamah Agung Indonesia juga menegaskan hal ini. Pada Pasal 31, disebutkan bahwa mahar pernikahan harus didasarkan pada prinsip kesederhanaan dan kemudahan sesuai ajaran Islam (Mahkamah Agung Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, [Jakarta: Perpustakaan RI, 2011], hlm. 70).
Mahar tidak harus berupa uang atau aset berharga. Salah satu contoh menarik adalah seorang pria yang menikahi calon istrinya dengan mahar berupa sandal jepit. Meski terdengar tidak biasa, praktik ini tetap sah dalam Islam. Menurut Imam Syafi’i, segala sesuatu yang memiliki nilai jual atau dapat diberikan sebagai upah dapat dijadikan mahar, selama mempelai wanita berhak atas dirinya sendiri. Contoh ini menunjukkan bahwa esensi mahar terletak pada keikhlasan dan kesepakatan, bukan pada nilai materialnya. (Al-Muzanni, Mukhtashar Al-Muzani, [Saudi: Dar Madarij, 2019], Juz II, hlm. 79).
Lantas, seperti apa mahar yang ideal di era sekarang? Tidak ada jawaban pasti. Dalam Islam, mahar yang ideal tidak ditentukan oleh nominal, jenis aset, atau zaman. Baik di masa lalu maupun kini, esensi mahar tetap pada kerelaan dan kesepakatan kedua mempelai. Ibnu Mundzir menegaskan bahwa mahar, baik besar maupun kecil, sah selama disepakati dengan tulus (Al-Isyraf ala Madzahibul Ulama, [Saudi: Dar Madarij, 2019], Juz V, hlm. 35).
Namun, jika seorang pria benar-benar tidak mampu memberikan mahar atau menafkahi istrinya, Islam menganjurkan untuk menunda pernikahan hingga kondisinya memungkinkan. Dalam masa menunggu, Nabi Muhammad SAW menyarankan untuk berpuasa guna menjaga diri dari godaan. Wallahu A’lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren.
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Gus Baha Ungkap Baca Lafadz Allah saat Takbiratul Ihram yang Bisa Jadikan Shalat Tak Sah
5
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
6
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
Terkini
Lihat Semua